LINGKUNGAN – Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 2010 yang diukur berdasarkan tiga (3) kriteria hanya mencapai 48.25. Angka itu masih jauh-jauh di bawah rata-rata IKLH tingkat
nasional yakni sebesar 59.79.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup Bidang Kerja Sama Eksternal dan Program Khusus, Gusti Nurpansyah menjelaskan, IKLH yang diukur oleh Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan tiga (3) kriteria yakni
kualitas air, kualitas udara, dan luas tutupan hutan di setiap provinsi.
“Pada 2010, kita mengukur indeks kualitas lingkungan hidup seluruh provinsi, dan untuk Kalimantan Selatan masih jauh di bawah rata-rata nasional. Ini memprihatinkan,” katanya saat menghadiri Rapat Kordinasi
Regional (Rakoreg) di Hotel Banjarmasin Internasional, Kalimantan Selatan Rabu (30/03).
Dilanjutkan mahasiswa program doktoral di Universitas Negeri Jakarta itu, berdasarkan UU Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 dalam Pasal 17 ayat (5) dinyatakan, dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Dalam Pasal 29 ayat (2) dikatakan, proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
“Kalimantan Selatan untuk tutupan lahan nilai indeksnya sebesar 39.24. Untuk kategori ini, Kalimantan Selatan menjadi juru kunci dari keempat provinsi di Pulau Kalimantan,” tuturnya.
Begitu pula untuk kualitas air, sambung Gusti, Kalimantan Selatan hanya berada di posisi ketiga dengan nilai indeks 8.40. Jebloknya nilai indeks kualitas air di Kalimantan Selatan menurutnya disebabkan oleh air sungai
yang sudah tercemar.
Pencemaran air sungai tersebut diakibatkan karena aktivitas industri maupun sampah-sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Ditambahkannya, secara umum kualitas air di Indonesia rendah akibat aktivitas pertambangan salah satunya adalah pencemaran air raksa.
Ia mencontohkan, pencemaran air raksa karena banyaknya perusahaan tambang yang beroperasi skala besar maupun kecil yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional.
“Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas air tersebut dari hulu, aktivitas pertambangan masyarakat maupun industri yang secara langsung
membuang air raksa ke sungai harus dicegah. Selain itu tutupan hutan yang masih ada harus dipertahankan sehingga dapat menyimpan air yang akan menetralisirkan air sungai yang sudah tercemar,” jelasnya.
Untunglah, tambah Gusti, dalam hal kualitas udara, indeks kualitas udara di Kalimantan Selatan lebih baik dari keempat provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. “Dalam kategori ini, kita boleh berbanggalah sedikit lantaran poin kualitas udara di Kalimantan Selatan paling tinggi di antara keempat provinsi se Kalimantan,” pungkas Gusti.
LINGKUNGAN – Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 2010 yang diukur berdasarkan tiga (3) kriteria hanya mencapai 48.25. Angka itu masih jauh-jauh di bawah rata-rata IKLH tingkat
nasional yakni sebesar 59.79.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup Bidang Kerja Sama Eksternal dan Program Khusus, Gusti Nurpansyah menjelaskan, IKLH yang diukur oleh Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan tiga (3) kriteria yakni
kualitas air, kualitas udara, dan luas tutupan hutan di setiap provinsi.
“Pada 2010, kita mengukur indeks kualitas lingkungan hidup seluruh provinsi, dan untuk Kalimantan Selatan masih jauh di bawah rata-rata nasional. Ini memprihatinkan,” katanya saat menghadiri Rapat Kordinasi
Regional (Rakoreg) di Hotel Banjarmasin Internasional, Kalimantan Selatan Rabu (30/03).
Dilanjutkan mahasiswa program doktoral di Universitas Negeri Jakarta itu, berdasarkan UU Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 dalam Pasal 17 ayat (5) dinyatakan, dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Dalam Pasal 29 ayat (2) dikatakan, proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
“Kalimantan Selatan untuk tutupan lahan nilai indeksnya sebesar 39.24. Untuk kategori ini, Kalimantan Selatan menjadi juru kunci dari keempat provinsi di Pulau Kalimantan,” tuturnya.
Begitu pula untuk kualitas air, sambung Gusti, Kalimantan Selatan hanya berada di posisi ketiga dengan nilai indeks 8.40. Jebloknya nilai indeks kualitas air di Kalimantan Selatan menurutnya disebabkan oleh air sungai
yang sudah tercemar.
Pencemaran air sungai tersebut diakibatkan karena aktivitas industri maupun sampah-sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Ditambahkannya, secara umum kualitas air di Indonesia rendah akibat aktivitas pertambangan salah satunya adalah pencemaran air raksa.
Ia mencontohkan, pencemaran air raksa karena banyaknya perusahaan tambang yang beroperasi skala besar maupun kecil yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional.
“Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas air tersebut dari hulu, aktivitas pertambangan masyarakat maupun industri yang secara langsung
membuang air raksa ke sungai harus dicegah. Selain itu tutupan hutan yang masih ada harus dipertahankan sehingga dapat menyimpan air yang akan menetralisirkan air sungai yang sudah tercemar,” jelasnya.
Untunglah, tambah Gusti, dalam hal kualitas udara, indeks kualitas udara di Kalimantan Selatan lebih baik dari keempat provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. “Dalam kategori ini, kita boleh berbanggalah sedikit lantaran poin kualitas udara di Kalimantan Selatan paling tinggi di antara keempat provinsi se Kalimantan,” pungkas Gusti.