Jakarta, BeritaManado.com – Komitmen pendanaan transisi energi senilai 20 miliar Dollar Amerika dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk Indonesia yang diluncurkan di G20 di Bali baru-baru ini hadir di tengah kebuntuan Indonesia dalam melakukan transisi energi.
Komitmen itu juga muncul di tengah krisis iklim dan krisis energi serta kebijakan yang memperlihatkan keengganan Indonesia untuk meninggalkan sumber fosil batubara.
Hal itu mencuat dalam diskusi Green Editor Forum yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan (SIEJ), Sabtu (26/11/2022) secara online.
Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Regional Iklim dan Energi, Greenpeace Asia Tenggara dalam pemaparannya mengatakan, ada ironi dalam transisi energi pada pemerintahan Jokowi.
Di satu sisi ingin transisi namun tidak ingin mengurangi penggunaan sumberdaya energi fosil seperti batubara.
“JETP lahir di tengah kebuntuan Indonesia dalam transisi energi. Jika selama ini baru sekadar pembicaraan soal komitmen transisi, nah, JETP ini transisi energinya lebih konkret. Ada sinyal supply untuk mengkonkretkan transisi energi. Jadi prinsipnya, pemerintah bilang show the money dulu,” ujar Tata.
“Tantangan transisi energi di Indonesia adalah, ternyata Indonesia satu-satunya negara yang minus pertumbuhan energi terbarukannya dibandingkan negara-gara G20. Indonesia lagi-lagi merupakan negara yang paling tertinggal dalam akselerasi energi terbarukan. Rasio Kapasitas energi terbarukan terhadap total kapasitas energi menurun,” lanjut Tata.
Selain itu, dari data bagaimana kondisi penggunaan energi fosil di negara-negara G20, menurut Tata, sepertinya Indonesia tidak ingin mengurangi batubara yang mungkin pada tahun 2040 batubara tidak ada lagi reserve dengan level eksploitasi seperti saat ini.
Jika dilihat dari data, secara umum, negara-negara G20 sudah mengalami pertumbuhan kapasitas PLTU yang negatif.
Namun Indonesia salah satu negara yang kapasitas PLTU-nya masih tumbuh dan tertinggi.
Meski demikian, ia melihat JETP adalah suatu kemajuan dalam mendorong transformasi energi di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir, desakan publik cukup kuat untuk mendorong pentingnya transisi energi.
Hal itu bukan saja lantaran krisis iklim semakin tinggi frekuensi kejadiannya maupun semakin buruknya dampak yang dirasakan publik, tapi juga dorongan dari komunitas global.
“Di Indonesia, saat ini detail bagaimana rencana pemerintah soal JETP belum disampaikan ke publik. Maka penting untuk mendesakkan keterbukaan, keterlibatan publik dan mekanisme konsultasi publik (di tahap rencana) harus real bukan formalitas,” kata Tata.
Greenpeace menyerukan bahwa percepatan transisi energi harus menjadi agenda utama kebijakan publik dan ekonomi.
Sebab, transisi harus dilihat dalam kepentingan untuk menghentikan krisis iklim, menjamin ketahanan energi dan akses kepada energi yang inklusif. Apalagi dana yang nanti akan dikucurkan dalam bentuk utang.
“Penting untuk mendorong isu ini menjadi isu publik. Pemerintah harus mengadopsi nilai-nilai prinsip di antaranya program yang akuntabel, transparan serta partisipatif. Bukan itu saja, transisi energi harus menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia dan keadilan ekologis,” tutupnya.
Saat diluncurkan di G20, JETP dirancang untuk memperkuat komitmen global dalam mencegah kenaikan suhu tidak melampaui 1,5 derajat celcius.
Indonesia juga didorong untuk mencapai net zero emission di sektor energi pada tahun 2050, atau sepuluh tahun lebih awal dari komitmen sebelumnya.
Skema ini juga meminta komitmen percepatan pemensiunan dini PLTU batubara serta akselerasi bauran energi terbarukan setidaknya 34% di semua pembangkit listrik pada 2030.
“Seharusnya dalam JETP, pemerintah Indonesia mendetailkan komitmen untuk menghentikan pembangunan PLTU baru baik yang biasa maupun yang captive. Tentu akan ada kategori pembangkit yang akan dipensiunkan, di antaranya bisa dari yang paling berpolusi,” tutup Tata.
(***/Finda Muhtar)