Tomohon, BeritaManado.com — Banyaknya penyelenggara adhoc, baik PPK, PPS maupun KPPS, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 di Sulawesi Utara, yang tersandung kode etik.
Data yang dihimpun oleh Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sulut, sejak dibentuknya PPK, PPS dan KPPS sampai H-2, tanggal 6 Desember 2020 KPU kabupaten/Kota telah menangani 74 dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pilkada khususnya badan adhoc.
Kepada BeritaManado.com, Ferry Liando mengatakan, ini sebagai konsekuensi dari dipaksakannya pilakda di tengah pandemi COVID-19.
“Pada saat penerimaan lamaran untuk menjadi adhoc penyelenggara pilakda, tidaklah banyak masyarakat yang mendaftarkan diri. Mereka beralasan takut tertular virus Corona,” ujar Ferry Liando, Senin (7/12/2020).
Menurut Liando, Baik KPU maupun Bawaslu di tingkat kecamatan berusaha memperpanjang masa pendaftran agar terget pelamar memenuhi kuota.
“Namun meski sudah diperpanjang sebagaian daerah tetap tidak memenuhi jumlah pelamar sebagaimana ketentuan aturan. Karena jabatan adhoc tak banyak diminati maka sebagain daerah hanya langsung menetapkan saja siapa yg mendaftar,” katanya.
Liando menjelaskan, Proses seleksi termasuk memilih dari mereka yang independen dan profesional tidak diakukan secara optimal.
“Sebab belum tentu pihak yang mendaftar adalah pihak yang netral. Namun tak ada pilihan lain selain menetapkan mereka karena yang mendaftar tidak banyak,” ujarnya.
Maka, menurut Liando, jika ada sebagian pnyelenggara adhoc yang diduga melakukan keberpihakan tentu harus dimaklumi pula.
“Sebab mereka bukan orang-orang pilihan tapi direkrut agar ada penyelenggara yang bisa membantu kegiatan dilapangan,” ungkapnya.
Namun, Liando mengatakan bagi penyelngara adhoc yang telah dipilih dan diambil sumpah diharapkan tetap bekerja profesional.
“Ada ancaman hukum bagi penyelngara yang tidak netral,” ujar Liando
Baca: Pilkada 2020: 74 Badan Adhoc diproses, 26 Diberhentikan Tetap
(Dedy Dagomes)