Langowan, BeritaManado.com — Peristiwa iman bagi Gereja Katolik di Minahasa khususnya Langowan yang terjadi pada 19 September 1868 silam di satu sisi menjadi tonggak sejarah kembalinya misi Katolik ke wilayah yang saat ini dikenal dengan Keuskupan Manado.
Akan tetapi siapa sangka, pembaptisan yang dilakukan Pater Johanes de Vries SJ saat itu menjadi sesuatu yang tergolong kontroversial, karena menurut catatan sejarah yang ada diduga kuat dilakukan di rumah seorang misionaris Nederlandshe Zendeling Genoostschap (NZG) Pendeta Obaraham Obezs Schaafma.
Sebagaimana catatan yang ditulis tangan oleh Daniel Mandagi, disana dijelaskan bahwa Pater Johanes de Vreis SJ menumpang di rumahnya Pendeta Schaafma saat tiba pada 18 September 1868 silam.
Dalam catatan selanjutnya, tidak disebutkan ada tempat lain yang digunakan oleh Pater Johanes de Vries SJ untuk menggelar Misa dan upacara pemberian Sakramen Permandian/Pembaptisan.
Pada bagian tengah tulisan Daniel Mandagi tersebut diungkapkan “Di Langoan toean Pastoor itu menoempang diroemahnja toean Pendeta Schaafma. Pada hari itu djoega Toean Pastoor mengoesahakan diri akan bertemoe dengan kepala district jaitoe Toean Majoor Thomas Sigar. Dan pada hari itu djuga saja (Daniel Mandagi) dipanggil oleh Toean Pastoor ke roemah toempangannya akan ketemoe, ….. Besok djam 7 akan diboeat Koerban Missa dan sesoedah Missa anak boleh terima S. Permandian, …..Djadi pada hari 19 September 1868 itoe, jaitoe hari jang pertama diboeat Missa ditanah Minahasa dinegeri Langoan, moelai pada jam 11 tengah hari. Sesoedah Missa diberi Sacr. Permandian kepada anakkoe Daniel Agustinus Mandagi dan kepada beberapa orang, …..”
Bahkan, kemungkinan besar dari sekian orang yang dibaptis Pater Johanes de Vries SJ juga adalah yang sudah menganut Protestan karena kawin campur dengan penganut alifuru.
Kalau demikian kenyataannya waktu itu, lalu kira-kira apakah yang melatarbelakangi kontroversial baptisan misionaris Katolik dari Ordo Serikat Jesus itu?
Dalam Buku “Bangkitnya Kembali Umat Katolik Tomohon – Sejarah Kristianisasi Minahasa)” oleh sejarahwan H. B. Palar dan Tim, dituliskan bahwa pada tahun 1861 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah regulasi Peraturan Nomor 38 Tahun 1861 yang dikenal dengan Peraturan tt. Tulis nama atau Catatan Sipil.
Dalam peraturan tersebut dituangkan bahwa semua pernikahan antara orang Kristen, alifuru maupun campuran harus melalui Pencatatan Sipil supaya mempunyai dasar hukum, karena anak-anak dari keluarga kumpul kebo, kawin adat tidak bisa mempunyai hak-hak sipil.
Dengan adanya aturan itu, maka para misionaris Katolik maupun Protestan dilarang untuk membaptis anak-anak seperti itu, sebelum keluarga orangtuanya disahkan menurut Hukum Sipil.
Rupanya hal ini jugalah yang mendorong Daniel Mandagi menulis sepucuk surat kepada Uskup Batavia waktu itu yang dijabat oleh Mgr. Petrus Maria Vrancken Pr untuk meminta seorang imam agar dapat datang ke Langoan untuk membaptis anaknya.
Sektiar bulan Mei 1868, pemerintah mengeluarkan surat jalan baru bagi seorang Pastor untuk ke Minahasa dan ditunjuklah Pater Johanes de Vries SJ oleh Uskup Vrancken dengan tugas utama pelayanan kerohanian umat yang telah ada, mengadakan sensus dan mneyiapkan lokasi untuk mendirikan sebuah pos kerja pastoral.
Singkat cerita, Pater Johanes de Vries SJ tetap melakukan pembaptisan sehingga di kalangan misionaris Zending dianggap melakukan sebuah pelanggaran terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan apa yang dilakukannya itu diekspos di media massa.
Dari kasus ini, muncul sebuah pertanyaan, kalau begitu bagaimana dengan kinerja para misionaris Zending pada waktu itu, sehingga mengkambinghitamkan misionaris Katolik.
Dengan kata lain, para misionaris Zending itulah yang tidak menjalankan tugas dengan baik.
Akan tetapi, aturan pemerintah harus ditegakkan dan akhirnya Pater Johanes de Vries SJ tidak lagi diijinkan masuk ke Minahasa, karena pada masa itu daerah ini dipandang sebagai daerah misi katolik yang sukar dan berat, namun menjadi idaman dan dipuja karena keindahannya.
Dari keterangan-keterangan yang diperoleh dari berbagai sumber termasuk dari kalangan Protestan saat ini, rupanya hal itu memunculkan rivalias antara kedua kubu gereja saat itu dan bahkan masih bisa dirasakan hingga saat ini di berbagai sendi kehidupan.
Melihat kisah ini, ada hal menarik yang patut ditindaklanjuti dan bukan untuk membuka lembaran lama, akan tetapi bisa menjadi rujukan untuk meluruskan sejarah yang terjadi pada zaman para misionaris mula-mula.
Atas inisiatif pihak Seksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki St. Petrus Langowan dengan Pdt. Hani Londah STh yang melayani di Jemaat GMIM Schwarz Sentrum Langowan berbesar hati membuka kesempatan dan ruang dialog untuk menelusuri kisah-kisah sejarah yang tampaknya tidak sempat tercatat atau memang sengaja tidak dicatat.
“Saya menyambut baik upaya dari sahabat pelayanan dari Gereja Katolik St. Petrus Langowan untuk bersama-sama mencari apa yang seharusnya tercatat pada masa itu. Tidak masalah bagi saya meski nanti akan berpindah tugas pelayanan nantinya. Demi kemuliaan nama Tuhan, saya siap bekerja sama menelusuri data-data sejarah yang boleh dikatakan hilang sementara waktu. Saya percaya, niat yang tulus dan dengan hati yang terbuka, kita akan menemukan satu demi satu apa yang dicari slama ini,” harap Pdt. Hani Londah.
(Frangki Wullur)