MANADO – Menanggapi apa yang disampaikan Kepala Dinas Perindag Provinsi Sulut Sanny Parengkuan terhadap pihak Pertamina bahwa Pertamina tidak bisa menjamin stabilitas BBM (Bahan Bakar Minyak) khususnya minyak tanah di Sulut mendapat tanggapan dari pihak Pertamina melalui Kristanto dalam rapat Koordinasi antara pihak Pertamina sendiri dengan Pemprov Sulut di ruang ex WOC Kantor Gubernur, Rabu, (14/12).
Kristanto mengatakan bahwa “pemerintah (pusat) seperti kita ketahui bersama telah mengadakan program konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg dan Sulawesi Utara merupakan provinsi yang kesekian untuk dikonversi. Jadi ada pertanyaan juga dari rekan-rekan wartawan kenapa kok cuma Sulawesi Utara yang antri minyak tanah, provinsi lain nyanda, Jakarta nyanda, Makasar juga tidak?”
Ia menjelaskan “Jakarta sudah tidak ada minyak tanah subsidi, Makasar juga sudah tidak ada minyak tanah bersubsidi, semua sudah dikonversi menjadi LPG 3 Kg. Kedua dari pertanyaan ini masih ada subsidi namun kenapa beredar non subsidi sehingga ada variasi harga? Yang kami sampaikan demikian dalam program pemerintah versi LPG 3 Kg merupakan satu paket dengan penarikan subsidi minyak tanah, apabilah paket (LPG) sudah didata sudah didistribusi kepada yang berwenang maka tahapan selanjutnya protokolernya adalah penarikan subsidi minyak tanah. Artinya yang ditarik bukan barangnya (minyak tanah) namun anggarannya, APBN. Jadi untuk anggaran ini bukan kewenangan Pertamina yang mengatur APBN, karena dalam tahapan ini protokoler satu dua tiga empat harus terlaksana,” tutur Kristanto.
Kristanto mengatakan dalam hal kebijakan penambahan kuota serta itu bukan wewenang Pertamina. Pertamina hanya merupakan pelaksana dari kebijakan yang ditentukan pemerintah pusat dalam hal ini BPH Migas.
“Pada langkah sekarang ini bulan Oktober kemarin adalah memasuki tahap penarikan subsidi minyak tanah untuk dikembalikan kepada APBN negara, dan dengan pertimbangan tertentu, dengan hasil rapat dan koordinasi yang baik dengan Pemprov , Pak Gubernur juga sudah menyurat kepada BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi), karena BPH Migas dan kementrian Migas beliaulah yang berwenang untuk mengatur kuota subsidi bukan Pertamina. Kenapa? Karena Pertamina sesuai dengan Undang-Undang Migas (No) 22 (Tahun) 2001 kami (Pertamina) sebagai operator pelaksana. Kebijakan dan regulasi ada di pemerintah pusat dalam hal ini BPH Migas mereka yang berotoritas untuk APBN untuk kuota dan penyaluran,” kata Kristanto.
“Langkah yang dilakukan oleh Pemprov (Sulut) kemarin adalah kalau minyak tanah tidak ditangguhkan penarikannya dalam tahap protokoler program konversi ini, maka tanggal 5 terhitung Desember sudah tidak ada lagi minyak tanah bersubsidi di Sulawesi Utara, namun karena pertimbangan masyarakat masih memerlukan minyak tanah, ada kebijakan dari pusat untuk ditangguhkan sampai dengan perayaan Natal dan Tahun Baru (2012).” (jrp)
MANADO – Menanggapi apa yang disampaikan Kepala Dinas Perindag Provinsi Sulut Sanny Parengkuan terhadap pihak Pertamina bahwa Pertamina tidak bisa menjamin stabilitas BBM (Bahan Bakar Minyak) khususnya minyak tanah di Sulut mendapat tanggapan dari pihak Pertamina melalui Kristanto dalam rapat Koordinasi antara pihak Pertamina sendiri dengan Pemprov Sulut di ruang ex WOC Kantor Gubernur, Rabu, (14/12).
Kristanto mengatakan bahwa “pemerintah (pusat) seperti kita ketahui bersama telah mengadakan program konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg dan Sulawesi Utara merupakan provinsi yang kesekian untuk dikonversi. Jadi ada pertanyaan juga dari rekan-rekan wartawan kenapa kok cuma Sulawesi Utara yang antri minyak tanah, provinsi lain nyanda, Jakarta nyanda, Makasar juga tidak?”
Ia menjelaskan “Jakarta sudah tidak ada minyak tanah subsidi, Makasar juga sudah tidak ada minyak tanah bersubsidi, semua sudah dikonversi menjadi LPG 3 Kg. Kedua dari pertanyaan ini masih ada subsidi namun kenapa beredar non subsidi sehingga ada variasi harga? Yang kami sampaikan demikian dalam program pemerintah versi LPG 3 Kg merupakan satu paket dengan penarikan subsidi minyak tanah, apabilah paket (LPG) sudah didata sudah didistribusi kepada yang berwenang maka tahapan selanjutnya protokolernya adalah penarikan subsidi minyak tanah. Artinya yang ditarik bukan barangnya (minyak tanah) namun anggarannya, APBN. Jadi untuk anggaran ini bukan kewenangan Pertamina yang mengatur APBN, karena dalam tahapan ini protokoler satu dua tiga empat harus terlaksana,” tutur Kristanto.
Kristanto mengatakan dalam hal kebijakan penambahan kuota serta itu bukan wewenang Pertamina. Pertamina hanya merupakan pelaksana dari kebijakan yang ditentukan pemerintah pusat dalam hal ini BPH Migas.
“Pada langkah sekarang ini bulan Oktober kemarin adalah memasuki tahap penarikan subsidi minyak tanah untuk dikembalikan kepada APBN negara, dan dengan pertimbangan tertentu, dengan hasil rapat dan koordinasi yang baik dengan Pemprov , Pak Gubernur juga sudah menyurat kepada BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi), karena BPH Migas dan kementrian Migas beliaulah yang berwenang untuk mengatur kuota subsidi bukan Pertamina. Kenapa? Karena Pertamina sesuai dengan Undang-Undang Migas (No) 22 (Tahun) 2001 kami (Pertamina) sebagai operator pelaksana. Kebijakan dan regulasi ada di pemerintah pusat dalam hal ini BPH Migas mereka yang berotoritas untuk APBN untuk kuota dan penyaluran,” kata Kristanto.
“Langkah yang dilakukan oleh Pemprov (Sulut) kemarin adalah kalau minyak tanah tidak ditangguhkan penarikannya dalam tahap protokoler program konversi ini, maka tanggal 5 terhitung Desember sudah tidak ada lagi minyak tanah bersubsidi di Sulawesi Utara, namun karena pertimbangan masyarakat masih memerlukan minyak tanah, ada kebijakan dari pusat untuk ditangguhkan sampai dengan perayaan Natal dan Tahun Baru (2012).” (jrp)