Oleh: Soleman Montori
Masa depan Sulawesi Utara dan bangsa Indonesia yang damai, rukun dan sejahtera hanya dapat dicapai jika semua elemen masyarakat mengakui bahwa Torang Samua Basudara, menghargai perbedaan, dan memberi ruang untuk keberagaman berakar kuat.
Provinsi Sulawesi Utara dibawa kepemimpinan Dr. S.H. Sarundajang dan kota Manado sebagai ibu kotanya dibawa kepemimpinan pasangan walikota-wakil walikota, Dr. G S. Vicky Lumentut-Harley A B. Mangindaan, SE; MSM, kini kian populer di tanah air bahkan sampai tingkat dunia, karena ketenangan dan kerukunannya. Daerah lain saat terjadi krisis kerukunan intern dan antarumat beragama maupun krisis kepercayaan umat beragama terhadap pemerintah, kerukunan umat beragama di Manado sebagai kota model ekowisata dan kerukunan masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Perorangan, organisasi sosial dan kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan tokoh agama; semuanya berperanserta, berpartisipasi aktif dan bersatu memelihara dan menjaga kerukunan, persaudaraan dan kebersamaan dengan kredo kearifan lokal Torang Samua Basudara.
Masyarakat Sulawesi Utara umumnya dan secara khusus kota Manado sangat menyadari dan memahami bahwa perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan, dan berbagai perbedaan lainnya bukan ancaman untuk hidup bersama. Masyarakat Sulut dan Manado sebagai ibukotanya memandang tidak ada untungnya jika mengancam dan merasa terancam dengan perbedaan. Di dunia mana pun, tidak ada manusia yang sama, bahkan yang kembar sekali pun tetap berbeda, karena manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sejumlah perbedaan di dalam dirinya. Kredo Torang Samua Basudara bukan untuk menyatukan perbedaan atau untuk menyamakan keberagaman, tetapi untuk mengakui dan memahami bahwa perbedaan adalah hal yang indah dan mengandung nilai kehidupan.
Sejarah telah mencatat bahwa bangsa yang maju dalam berbagai bidang kehidupan adalah bangsa yang menghargai perbedaan. Abad 20 yang telah kita lalui mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki nasib yang sama. Abad 21 mengungkapkan kepada kita bahwa antara dunia yang satu dengan dunia yang lainnya saling berhubungan. Ini mengandung arti bahwa tidak seorang pun atau tidak ada kelompok atau golongan mana pun dalam masyarakat yang heterogen menjadi besar dan kuat, dan mampu mengatasi tantangan sendirian. Tapi terkadang kebenaran ini mudah dilupakan, akhirnya beberapa daerah dalam wilayah NKRI melupakan nasib bersama bahwa Tosang Samua Basudara.
Torang Samua Basudara adalah kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara. Ciri yang paling menonjol di dalamnya adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan moral yang sangat mulia untuk hidup rukun dan damai.
Keterbukaan masyarakat Sulawesi Utara tercermin dalam sikap hidup suka bekerja sama dalam bidang apa saja, namun yang paling menonjol adalah kerja sama dalam bidang pertanian. Dalam kerja sama ini, tiap etnis memiliki nama yang berbeda, namun tujuannya sama, yaitu saling membantu atau tolong-menolong secara bergiliran untuk membuka lahan baru misalnya. Di Minahasa, bentuk kerja sama ini disebut Mapalus; di Sangihe disebut Mapaluse; di Bolaang Mongondow disebut Mopasad.
Walaupun Mapalus, Mapaluse dan mopasad, merupakan tiga nama dengan sebutan berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Semula bentuk kerja sama (Mapalus, Mapaluse dan Mopasad) hanya terbatas di kalangan masyarakat tani, di antaranya kerja sama dalam membuka lahan pertanian baru, menanam padi dan atau memanem padi, atau bentuk pekerjaan lainnya; tetapi kemudian berkembang sampai arisan uang, perkumpulan dalam bentuk rukun keluarga, rukun marga, atau rukun dalam satu sub etnis, perkumpulan atau arisan membawa makanan ke rumah duka secara bergiliran, dan bentuk kerja sama lainnya seperti menjaga tempat ibadah secara bergantian antara pemeluk agama yang yang berbeda. Dari bentuk kerja sama inilah mulai tercipta rasa saling menghargai, menyayangi dan saling mencitai dalam wujud hidup rukun intern kelompok. Selanjutnya dari hidup rukun intern kelompok berkembang sebagai cikal bakal hidup rukun antarkelompok, baik dengan kelompok masyarakat penduduk asli, atau yang sudah berasimilasi maupun dengan kelompok masyarakat pendatang baru.
Suatu komunitas masyarakat yang sikap hidupnya tertutup, eksklusif, atau ingin lain dari yang lain, pasti hidup rukun yang dikehendaki bersama tidak mungkin tercapai, dan hal ini telah disadari oleh masyarakat Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibukotanya bahwa hidup rukun hanya bisa hidup jika antara satu dengan yang lainnya memiliki keterbukaan hidup dan mengakui bahwa semua manusia setara dan semua layak memperoleh kesempatan untuk mengejar kebahagiaan.
Masyarakat Sulawesi Utara menyadari bahwa tanpa keterbukaan hidup tidak mungkin ada kebersamaan. Kebersamaan adalah salah satu kerarifan lokal di Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibu kotanya yang sampai saat tetap terpelihara dengan baik. Antara lain saling mengunjungi antara sahabat, atau kerabat, atau saudara yang berbeda keyakinan pada saat hari-hari besar keagamaan, misalnya hari raya ketupat dan pengucapan syukur (thanksgiving). Umat atau jemaat yang berbeda agama menjaga tempat ibadah umat beragama lainnya saat perayaan hari keagamaan; misalnya saat Natal, keamanan gereja dijaga oleh umat Muslim; demikian pun sebaliknya, saat idul fitri, Mesjid dijaga oleh umat Kristiani, semuanya ini merupakan wujud nyata kebersamaan dalam kredo “Torang Samua Basudara.”
Masyarakat Sulut dan Manado sebagai ibukotanya menyadari bahwa aku, dia, kita dan mereka memang berbeda; dan harus diakui memang berbeda; berbeda agama, berbeda etnis, berbeda budaya; bahkan berbeda apa yang dimakan, ada yang makan nasi, ada yang makan ubi, dan ada yang makan sagu; namun semua perbedaan ini dalam kredo Torang Samua Basudara dipahami dan diakui sebagai karunia Sang Pencipta yang harus disyukuri.
Torang Samua Basudara, dimaknai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan religius tidak hanya hidup sendiri, dan tidak mungkin hanya hidup sendiri; dengan kata lain, Torang Samua Basudara walaupun berbeda-beda dalam banyak hal , namun masing-masing diberi kebebasan untuk melakukan apa yang dikehendaki serta memiliki kewajiban untuk memperlakukan orang lain yang berbeda dengan penuh rasa hormat. Matahari, bulan dan bintang, adalah contoh tiga benda langit basudara yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda, namun ketiganya tidak saling mengganggu. Matahari menjalankan fungsinya pada siang hari. Bulan dan bintang menjalankan fungsinya untuk menerangi malam hari.
Tujuh warna pelangi yang melengkung bagai busur; yang terlukis indah di langit dan tampak mengagumkan antara warna yang satu dengan warna yang lainnya dan tidak saling mengganggu juga merupakan contoh yang baik untuk hidup basudara, damai dan rukun. Pasti bukan pelangi namanya jika salah satu warnanya ditiadakan; dan siapa pun tak mungkin meniadakannya, karena tujuh warna yang indah dan tersusun apik tersebut adalah karya Sang Maha Pencipta.
Hal yang sama juga terdapat di dalam diri manusia, siapapun dia, terdapat banyak perbedaan yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Ada lidah untuk membedakan rasa; ada mata untuk melihat; ada telinga untuk mendengar; ada hidung untuk mencium bau-bauan; ada mulut untuk memasukan makanan dan minuman; ada dubur untuk mengeluarkan kotoran; dan sejumlah perbedaan lainnya. Bagian tubuh yang paling hina dalam diri manusia adalah dubur; kalau demikian dubur sebagai bagian tubuh yang paling hina harus ditiadakan? Tentu tidak! Sebab sia-sia makanan yang enak dimasukan melalui mulut jika dubur tidak ada. Semua anggota tubuh yang berbeda basudara. Sama halnya dengan manusia yang berbeda-beda adalah basudara.
Torang Samua Basudara adalah tindakan dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama, yang terujud dalam tindakan dan harapan yang nyata. Penduduk kota Manado dan Sulawesi Utara yang heterogen, yang beragam suku, agama, ras dan antargolongan dengan kredo Torang Samua Basudara mampu menahan dan menghalau arus-arus pemikiran sempit yang kecepatannya kadangkala melebihi upaya kita untuk mengatasinya; kredo Torang Samua Basudara mampu menumbuhkembangkan sikap saling percaya dan tidak saling meniadakan peran antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi saling menyayangi dan membantu.
Torang Samua Basudara bukan upaya untuk menyembunyikan ketakutan karena adanya bahaya, tapi merupakan wujud pengungkapan kebenaran bahwa keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan bukan hantu yang harus ditakuti, atau hama yang harus dibasmi, atau predator berbahaya yang harus diburu. Sangat berlebihan jika ada yang merasa tak nyaman dengan perbedaan. Bagi masyarakat provinsi Sulawesi Utara dan Manado sebagai ibukotanya, perbedaan dalam keberagaman bukan ancaman, juga bukan tantangan, juga bukan sebagai hambatan atau gangguan untuk bersatu, hidup rukun dan damai, tetapi sebagai kesatuan pengharapan dan kesejahteraan lahir dan batin.
Torang Samua Basudara adalah suatu kesadaran holistik yang menyatu dengan degup jantung perbedaan. Torang Samua Basudara bukan hanya sekedar gagasan atau cita-cita besar yang tidak bisa dilakukan, tetapi suatu kenyataan yang telah membawa perubahan untuk perbaikan hidup bersama. Pembangunan berkembang, pertumbuhan ekonomi meningkat, adalah bukti bahwa Torang Samua Basudara memiliki nilai jual dan nilai ekonomi lebih laris daripada “bisnis kebencian” yang dilakukan oleh orang-orang berpikiran kerdil, yang akhir-akhir ini makin menguat pada beberapa daerah.
“Bisnis kebencian” yang makin menguat saat ini adalah problem bagi bangsa Indonesia. Gema kebaikan kadang terdengar sayup. Mengapa? Karena ada kelompok yang tidak termasuk elemen yang mendirikan bangsa Indonesia, dan mereka tidak mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang diciptakan beragam adalah karena rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Juga mereka tidak mengetahui bahwa prestasi terbaik dalam hidup manusia adalah menghargai keberagaman. Diri sendiri memang lebih penting, tapi jauh lebih penting jika kita mampu menghargai orang lain yang berbeda; berbeda suku, agama, ras dan antargolongan, bahkan berbeda cara berpakaian dan apa yang di makan. Di Papua misalnya, khususnya yang masih primitif berbaju koteka. Demikian halnya dengan apa yang dimakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia, sangat-sangat beragam. Dalam filosofi Torang Samua Basudara, perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi masalah, tetapi dihargai dan dihormati sebagai kekayaan dan disyukuri sebagai anugerah Sang Pencipta.
Sulut tidak mudah disulut karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan agama, hukum, ketentraman dan kenyamanan. Sejak berdirinya Sulawesi Utara dan secara khusus kota Manado sebagai ibu kotanya, semua elemen masyarakatanya telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan nyata bahwa hidup rukun dan damai adalah hal yang indah. Torang Samua Basudara merupakan kekuatan moral bagi generasi penerus agar tidak mengurangi harapannya untuk memberi pencerahan dan kebaikan hidup kepada orang-orang atau kelompok yang memiliki jaringan kekerasan dan kebencian.
Torang Samua Basudara didasarkan pada ide bahwa semua orang diciptakan sama dan setara; dengan keyakinan bahwa kepentingan bersama jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang menghancurkan dan memisahkan. Dalam filosofi Torang Samua Basudara, pintu kesempatan terbuka untuk semua, dan tidak memandang perbedaan sebagai alat pemisah untuk memecah belah. Masyarakat Sulut dan kota Manado sebagai ibu kotanya menyadari, menghayati dan meyakini bahwa hak untuk hidup, memeluk agama, kebebasan dan kebahagiaan adalah angerah Sang Pencipta yang tidak bisa diambil oleh siapa pun.
Sulut memiliki sumber daya alam yang kaya, tapi bukan itu yang membuat Sulut kaya. Sulut memiliki sumber daya manusia yang cerdas, tapi bukan itu yang membuat Sulut cerdas. Sulut kaya akan seni tradisional dan budaya warisan leluhur, tapi bukan itu yang membuat daerah lain datang mengaguminya; SULUT terkenal dan sulit disulut karena adanya semangat Torang Samua Basudara. Dengan semangat Torang Samua Basudara, Sulut dan kota Manado sebagai ibukotanya menjadi tempat untuk semua hal yang baik dapat terjadi.
Menghargai perbedaan walaupun ditantang dengan berbagai cara jauh lebih penting ketimbang mempertentangkannya. Kita semua menghuni dunia ini hanya untuk waktu yang singkat. Apakah kita melewatkan waktu yang singkat itu hanya dengan terus mempertentangkan perbedaan? Ataukah kita mendedikasikan diri pada usaha-usaha yang menghargai perbedaan? Menghargai perbedaan bagi sebagian orang adalah pekerjaan yang tidak mudah; lebih mudah mencurigai orang lain daripada melakukan introspeksi diri; lebih mudah melihat apa yang berbeda pada diri orang lain daripada menemukan kesamaan orang lain di dalam diri kita. Namun, ada sebuah aturan yang merupakan inti dari masing-masing agama yang kita yakini bahwa kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka. Kebenaran ini berlaku lintas benua dan lintas masyarakat yang mendiaminya. Keyakinan yang tidak baru ini, tidak biru, tidak kuning, tidak merah, tidak hijau, dan tidak ungu; sampai kini masih tetap berdetak dalam jantung miliaran manusia di dunia. Keyakinan ini merupakan rasa percaya pada orang lain, dan keyakinan inilah yang membuat masyarakat Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibukotanya saling mendengar, saling belajar dan saling percaya dalam kredo Torang Samua Basudara.
Torang Samua Basudara, walaupun berbeda-beda, tetapi satu dalam persaudaraan tidak hanya ekspektasi masyarakat kota Manado atau masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya, tetapi merupakan ekspektasi para the founding fathers pendiri bangsa Indonesia yang diformulasikan dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Beda suku, agama, golongan, budaya dan berbagai perbedaan lainnya tidak hanya ada di Sulawesi Utara, tetapi ada di seluruh wilayah nusantara. Dengan kata lain, Torang Samua Basudara tidak hanya ada di Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibukotanya, tetapi seharusnya ada di seluruh wilayah NKRI. Warisan bangsa yang berharga adalah menghargai perbedaan. Bangsa kita akan menjadi kuat seiring dengan bertambahnya kemampuan kita menghargai perbedaan. Sangat tidak beradab jika ada yang menyangkal adanya perbedaan, dan yang melakukannya merupakan musuh HAM.
Menghargai perbedaan bukan karena pilihan, tapi karena perlu; orang yang tidak mau menghargainya dibutakan dari kebenaran. Pandangan anti perbedaan yang terus didorong oleh kekuatan yang membantu membenarkannya akan kehilangan kebenaran palsunya di daerah yang menghargai perbedaan dan berkorban demi kebersamaan. Hanya 1 % penduduk Indonesia yang mempercayai bahwa hidup dalam perbedaan tidak penting dan tidak baik. Sedangkan 99 % sisanya menghargai perbedaan dan percaya bahwa perbedaan tidak akan musnah dari permukaan bumi. Hal ini diyakini lebih dari 200 juta penduduk Indonesia; sungguh suatu jumlah yang lebih besar daripada kebencian dan kepentingan sempit sekelompok orang. Jika ada yang mempermasalahkan dan merasa terganggu dengan adanya perbedaan, itu adalah hak mereka, tapi bukan itu yang mempersatukan bangsa Indonesia. Satu suku, satu agama, satu ras, satu bahasa; juga bukan semua itu yang mempersatukan kita. Kita hanya bisa menemukan kekuatan dan kejayaan bila Torang Samua Basudarah, menghargai perbedaan atau Si Tou Timou Tumou Tou (manusia hidup untuk menghidupi sesama manusia yang lain).***
Soleman Montori
Oleh: Soleman Montori
Masa depan Sulawesi Utara dan bangsa Indonesia yang damai, rukun dan sejahtera hanya dapat dicapai jika semua elemen masyarakat mengakui bahwa Torang Samua Basudara, menghargai perbedaan, dan memberi ruang untuk keberagaman berakar kuat.
Provinsi Sulawesi Utara dibawa kepemimpinan Dr. S.H. Sarundajang dan kota Manado sebagai ibu kotanya dibawa kepemimpinan pasangan walikota-wakil walikota, Dr. G S. Vicky Lumentut-Harley A B. Mangindaan, SE; MSM, kini kian populer di tanah air bahkan sampai tingkat dunia, karena ketenangan dan kerukunannya. Daerah lain saat terjadi krisis kerukunan intern dan antarumat beragama maupun krisis kepercayaan umat beragama terhadap pemerintah, kerukunan umat beragama di Manado sebagai kota model ekowisata dan kerukunan masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Perorangan, organisasi sosial dan kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan tokoh agama; semuanya berperanserta, berpartisipasi aktif dan bersatu memelihara dan menjaga kerukunan, persaudaraan dan kebersamaan dengan kredo kearifan lokal Torang Samua Basudara.
Masyarakat Sulawesi Utara umumnya dan secara khusus kota Manado sangat menyadari dan memahami bahwa perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan, dan berbagai perbedaan lainnya bukan ancaman untuk hidup bersama. Masyarakat Sulut dan Manado sebagai ibukotanya memandang tidak ada untungnya jika mengancam dan merasa terancam dengan perbedaan. Di dunia mana pun, tidak ada manusia yang sama, bahkan yang kembar sekali pun tetap berbeda, karena manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sejumlah perbedaan di dalam dirinya. Kredo Torang Samua Basudara bukan untuk menyatukan perbedaan atau untuk menyamakan keberagaman, tetapi untuk mengakui dan memahami bahwa perbedaan adalah hal yang indah dan mengandung nilai kehidupan.
Sejarah telah mencatat bahwa bangsa yang maju dalam berbagai bidang kehidupan adalah bangsa yang menghargai perbedaan. Abad 20 yang telah kita lalui mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki nasib yang sama. Abad 21 mengungkapkan kepada kita bahwa antara dunia yang satu dengan dunia yang lainnya saling berhubungan. Ini mengandung arti bahwa tidak seorang pun atau tidak ada kelompok atau golongan mana pun dalam masyarakat yang heterogen menjadi besar dan kuat, dan mampu mengatasi tantangan sendirian. Tapi terkadang kebenaran ini mudah dilupakan, akhirnya beberapa daerah dalam wilayah NKRI melupakan nasib bersama bahwa Tosang Samua Basudara.
Torang Samua Basudara adalah kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara. Ciri yang paling menonjol di dalamnya adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan moral yang sangat mulia untuk hidup rukun dan damai.
Keterbukaan masyarakat Sulawesi Utara tercermin dalam sikap hidup suka bekerja sama dalam bidang apa saja, namun yang paling menonjol adalah kerja sama dalam bidang pertanian. Dalam kerja sama ini, tiap etnis memiliki nama yang berbeda, namun tujuannya sama, yaitu saling membantu atau tolong-menolong secara bergiliran untuk membuka lahan baru misalnya. Di Minahasa, bentuk kerja sama ini disebut Mapalus; di Sangihe disebut Mapaluse; di Bolaang Mongondow disebut Mopasad.
Walaupun Mapalus, Mapaluse dan mopasad, merupakan tiga nama dengan sebutan berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Semula bentuk kerja sama (Mapalus, Mapaluse dan Mopasad) hanya terbatas di kalangan masyarakat tani, di antaranya kerja sama dalam membuka lahan pertanian baru, menanam padi dan atau memanem padi, atau bentuk pekerjaan lainnya; tetapi kemudian berkembang sampai arisan uang, perkumpulan dalam bentuk rukun keluarga, rukun marga, atau rukun dalam satu sub etnis, perkumpulan atau arisan membawa makanan ke rumah duka secara bergiliran, dan bentuk kerja sama lainnya seperti menjaga tempat ibadah secara bergantian antara pemeluk agama yang yang berbeda. Dari bentuk kerja sama inilah mulai tercipta rasa saling menghargai, menyayangi dan saling mencitai dalam wujud hidup rukun intern kelompok. Selanjutnya dari hidup rukun intern kelompok berkembang sebagai cikal bakal hidup rukun antarkelompok, baik dengan kelompok masyarakat penduduk asli, atau yang sudah berasimilasi maupun dengan kelompok masyarakat pendatang baru.
Suatu komunitas masyarakat yang sikap hidupnya tertutup, eksklusif, atau ingin lain dari yang lain, pasti hidup rukun yang dikehendaki bersama tidak mungkin tercapai, dan hal ini telah disadari oleh masyarakat Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibukotanya bahwa hidup rukun hanya bisa hidup jika antara satu dengan yang lainnya memiliki keterbukaan hidup dan mengakui bahwa semua manusia setara dan semua layak memperoleh kesempatan untuk mengejar kebahagiaan.
Masyarakat Sulawesi Utara menyadari bahwa tanpa keterbukaan hidup tidak mungkin ada kebersamaan. Kebersamaan adalah salah satu kerarifan lokal di Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibu kotanya yang sampai saat tetap terpelihara dengan baik. Antara lain saling mengunjungi antara sahabat, atau kerabat, atau saudara yang berbeda keyakinan pada saat hari-hari besar keagamaan, misalnya hari raya ketupat dan pengucapan syukur (thanksgiving). Umat atau jemaat yang berbeda agama menjaga tempat ibadah umat beragama lainnya saat perayaan hari keagamaan; misalnya saat Natal, keamanan gereja dijaga oleh umat Muslim; demikian pun sebaliknya, saat idul fitri, Mesjid dijaga oleh umat Kristiani, semuanya ini merupakan wujud nyata kebersamaan dalam kredo “Torang Samua Basudara.”
Masyarakat Sulut dan Manado sebagai ibukotanya menyadari bahwa aku, dia, kita dan mereka memang berbeda; dan harus diakui memang berbeda; berbeda agama, berbeda etnis, berbeda budaya; bahkan berbeda apa yang dimakan, ada yang makan nasi, ada yang makan ubi, dan ada yang makan sagu; namun semua perbedaan ini dalam kredo Torang Samua Basudara dipahami dan diakui sebagai karunia Sang Pencipta yang harus disyukuri.
Torang Samua Basudara, dimaknai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan religius tidak hanya hidup sendiri, dan tidak mungkin hanya hidup sendiri; dengan kata lain, Torang Samua Basudara walaupun berbeda-beda dalam banyak hal , namun masing-masing diberi kebebasan untuk melakukan apa yang dikehendaki serta memiliki kewajiban untuk memperlakukan orang lain yang berbeda dengan penuh rasa hormat. Matahari, bulan dan bintang, adalah contoh tiga benda langit basudara yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda, namun ketiganya tidak saling mengganggu. Matahari menjalankan fungsinya pada siang hari. Bulan dan bintang menjalankan fungsinya untuk menerangi malam hari.
Tujuh warna pelangi yang melengkung bagai busur; yang terlukis indah di langit dan tampak mengagumkan antara warna yang satu dengan warna yang lainnya dan tidak saling mengganggu juga merupakan contoh yang baik untuk hidup basudara, damai dan rukun. Pasti bukan pelangi namanya jika salah satu warnanya ditiadakan; dan siapa pun tak mungkin meniadakannya, karena tujuh warna yang indah dan tersusun apik tersebut adalah karya Sang Maha Pencipta.
Hal yang sama juga terdapat di dalam diri manusia, siapapun dia, terdapat banyak perbedaan yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Ada lidah untuk membedakan rasa; ada mata untuk melihat; ada telinga untuk mendengar; ada hidung untuk mencium bau-bauan; ada mulut untuk memasukan makanan dan minuman; ada dubur untuk mengeluarkan kotoran; dan sejumlah perbedaan lainnya. Bagian tubuh yang paling hina dalam diri manusia adalah dubur; kalau demikian dubur sebagai bagian tubuh yang paling hina harus ditiadakan? Tentu tidak! Sebab sia-sia makanan yang enak dimasukan melalui mulut jika dubur tidak ada. Semua anggota tubuh yang berbeda basudara. Sama halnya dengan manusia yang berbeda-beda adalah basudara.
Torang Samua Basudara adalah tindakan dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama, yang terujud dalam tindakan dan harapan yang nyata. Penduduk kota Manado dan Sulawesi Utara yang heterogen, yang beragam suku, agama, ras dan antargolongan dengan kredo Torang Samua Basudara mampu menahan dan menghalau arus-arus pemikiran sempit yang kecepatannya kadangkala melebihi upaya kita untuk mengatasinya; kredo Torang Samua Basudara mampu menumbuhkembangkan sikap saling percaya dan tidak saling meniadakan peran antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi saling menyayangi dan membantu.
Torang Samua Basudara bukan upaya untuk menyembunyikan ketakutan karena adanya bahaya, tapi merupakan wujud pengungkapan kebenaran bahwa keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan bukan hantu yang harus ditakuti, atau hama yang harus dibasmi, atau predator berbahaya yang harus diburu. Sangat berlebihan jika ada yang merasa tak nyaman dengan perbedaan. Bagi masyarakat provinsi Sulawesi Utara dan Manado sebagai ibukotanya, perbedaan dalam keberagaman bukan ancaman, juga bukan tantangan, juga bukan sebagai hambatan atau gangguan untuk bersatu, hidup rukun dan damai, tetapi sebagai kesatuan pengharapan dan kesejahteraan lahir dan batin.
Torang Samua Basudara adalah suatu kesadaran holistik yang menyatu dengan degup jantung perbedaan. Torang Samua Basudara bukan hanya sekedar gagasan atau cita-cita besar yang tidak bisa dilakukan, tetapi suatu kenyataan yang telah membawa perubahan untuk perbaikan hidup bersama. Pembangunan berkembang, pertumbuhan ekonomi meningkat, adalah bukti bahwa Torang Samua Basudara memiliki nilai jual dan nilai ekonomi lebih laris daripada “bisnis kebencian” yang dilakukan oleh orang-orang berpikiran kerdil, yang akhir-akhir ini makin menguat pada beberapa daerah.
“Bisnis kebencian” yang makin menguat saat ini adalah problem bagi bangsa Indonesia. Gema kebaikan kadang terdengar sayup. Mengapa? Karena ada kelompok yang tidak termasuk elemen yang mendirikan bangsa Indonesia, dan mereka tidak mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang diciptakan beragam adalah karena rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Juga mereka tidak mengetahui bahwa prestasi terbaik dalam hidup manusia adalah menghargai keberagaman. Diri sendiri memang lebih penting, tapi jauh lebih penting jika kita mampu menghargai orang lain yang berbeda; berbeda suku, agama, ras dan antargolongan, bahkan berbeda cara berpakaian dan apa yang di makan. Di Papua misalnya, khususnya yang masih primitif berbaju koteka. Demikian halnya dengan apa yang dimakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia, sangat-sangat beragam. Dalam filosofi Torang Samua Basudara, perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi masalah, tetapi dihargai dan dihormati sebagai kekayaan dan disyukuri sebagai anugerah Sang Pencipta.
Sulut tidak mudah disulut karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan agama, hukum, ketentraman dan kenyamanan. Sejak berdirinya Sulawesi Utara dan secara khusus kota Manado sebagai ibu kotanya, semua elemen masyarakatanya telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan nyata bahwa hidup rukun dan damai adalah hal yang indah. Torang Samua Basudara merupakan kekuatan moral bagi generasi penerus agar tidak mengurangi harapannya untuk memberi pencerahan dan kebaikan hidup kepada orang-orang atau kelompok yang memiliki jaringan kekerasan dan kebencian.
Torang Samua Basudara didasarkan pada ide bahwa semua orang diciptakan sama dan setara; dengan keyakinan bahwa kepentingan bersama jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang menghancurkan dan memisahkan. Dalam filosofi Torang Samua Basudara, pintu kesempatan terbuka untuk semua, dan tidak memandang perbedaan sebagai alat pemisah untuk memecah belah. Masyarakat Sulut dan kota Manado sebagai ibu kotanya menyadari, menghayati dan meyakini bahwa hak untuk hidup, memeluk agama, kebebasan dan kebahagiaan adalah angerah Sang Pencipta yang tidak bisa diambil oleh siapa pun.
Sulut memiliki sumber daya alam yang kaya, tapi bukan itu yang membuat Sulut kaya. Sulut memiliki sumber daya manusia yang cerdas, tapi bukan itu yang membuat Sulut cerdas. Sulut kaya akan seni tradisional dan budaya warisan leluhur, tapi bukan itu yang membuat daerah lain datang mengaguminya; SULUT terkenal dan sulit disulut karena adanya semangat Torang Samua Basudara. Dengan semangat Torang Samua Basudara, Sulut dan kota Manado sebagai ibukotanya menjadi tempat untuk semua hal yang baik dapat terjadi.
Menghargai perbedaan walaupun ditantang dengan berbagai cara jauh lebih penting ketimbang mempertentangkannya. Kita semua menghuni dunia ini hanya untuk waktu yang singkat. Apakah kita melewatkan waktu yang singkat itu hanya dengan terus mempertentangkan perbedaan? Ataukah kita mendedikasikan diri pada usaha-usaha yang menghargai perbedaan? Menghargai perbedaan bagi sebagian orang adalah pekerjaan yang tidak mudah; lebih mudah mencurigai orang lain daripada melakukan introspeksi diri; lebih mudah melihat apa yang berbeda pada diri orang lain daripada menemukan kesamaan orang lain di dalam diri kita. Namun, ada sebuah aturan yang merupakan inti dari masing-masing agama yang kita yakini bahwa kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka. Kebenaran ini berlaku lintas benua dan lintas masyarakat yang mendiaminya. Keyakinan yang tidak baru ini, tidak biru, tidak kuning, tidak merah, tidak hijau, dan tidak ungu; sampai kini masih tetap berdetak dalam jantung miliaran manusia di dunia. Keyakinan ini merupakan rasa percaya pada orang lain, dan keyakinan inilah yang membuat masyarakat Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibukotanya saling mendengar, saling belajar dan saling percaya dalam kredo Torang Samua Basudara.
Torang Samua Basudara, walaupun berbeda-beda, tetapi satu dalam persaudaraan tidak hanya ekspektasi masyarakat kota Manado atau masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya, tetapi merupakan ekspektasi para the founding fathers pendiri bangsa Indonesia yang diformulasikan dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Beda suku, agama, golongan, budaya dan berbagai perbedaan lainnya tidak hanya ada di Sulawesi Utara, tetapi ada di seluruh wilayah nusantara. Dengan kata lain, Torang Samua Basudara tidak hanya ada di Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibukotanya, tetapi seharusnya ada di seluruh wilayah NKRI. Warisan bangsa yang berharga adalah menghargai perbedaan. Bangsa kita akan menjadi kuat seiring dengan bertambahnya kemampuan kita menghargai perbedaan. Sangat tidak beradab jika ada yang menyangkal adanya perbedaan, dan yang melakukannya merupakan musuh HAM.
Menghargai perbedaan bukan karena pilihan, tapi karena perlu; orang yang tidak mau menghargainya dibutakan dari kebenaran. Pandangan anti perbedaan yang terus didorong oleh kekuatan yang membantu membenarkannya akan kehilangan kebenaran palsunya di daerah yang menghargai perbedaan dan berkorban demi kebersamaan. Hanya 1 % penduduk Indonesia yang mempercayai bahwa hidup dalam perbedaan tidak penting dan tidak baik. Sedangkan 99 % sisanya menghargai perbedaan dan percaya bahwa perbedaan tidak akan musnah dari permukaan bumi. Hal ini diyakini lebih dari 200 juta penduduk Indonesia; sungguh suatu jumlah yang lebih besar daripada kebencian dan kepentingan sempit sekelompok orang. Jika ada yang mempermasalahkan dan merasa terganggu dengan adanya perbedaan, itu adalah hak mereka, tapi bukan itu yang mempersatukan bangsa Indonesia. Satu suku, satu agama, satu ras, satu bahasa; juga bukan semua itu yang mempersatukan kita. Kita hanya bisa menemukan kekuatan dan kejayaan bila Torang Samua Basudarah, menghargai perbedaan atau Si Tou Timou Tumou Tou (manusia hidup untuk menghidupi sesama manusia yang lain).***
Soleman Montori