Oleh: Dirno Kaghoo
DALAM artikel saya di link http://www.facebook.com/notes/dirno-kaghoo/disorientasi-dan-bias-makna-dalam-kriteria-gelar-adat-sangihe/10150456429021887 telah diuraikan upaya reposisi nilai-nilai adat pada pemberian gelar adat yang selama ini dinilai telah dipengaruhi oleh muatan-muatan politik ekonomi kekuasaan (pemerintah dalam arti luas). Artikel tersebut mendapat respon positif dari Dr Ivan Kaunang yang mengulas tentang fenomena kebudayaan yang didefinisikan sebagai Komodifikasi Berlapis.
Di dunia ini sarat dengan berbagai kepentingan, tidak ada aktivitas tanpa diselubungi kepentingan, karena kepentingan adalah tujuan dari pemikiran dan tindakan manusia. Oleh kepentingannya manusia berbudaya. Kepentingan bergerak ke dua arah, yaitu positif dan negatif. Itulah sebabnya adat sebagai produk kebudayaan juga mengalami perubahan ketika kepentingan itu bersentuhan dan muncul ke permukaan kehidupan manusia. Pada tataran tertentu potret adat ternyata mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Perubahan pada gerak linier (berkembang) secara bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis sesuai dengan kepentingan tadi. Ada yang diarahkan untuk kepentingan politik, pariwisata, ekonomi dan lain sebagainya. (Ivan R.B. Kaunang dalam bukunya berjudul: Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)).
Kaunang (http://www.facebook.com/profile.php?id=1548422365 dalam artikel saya) selanjutnya mengatakan, komodifikasi dimaknai sebagai sesuatu yang sebelumnya bukan dibuat/diproduksi untuk dijual, tetapi sekarang sudah dijual (Konsep Piliang, dalam Dunia yang dilipat). Komodifikasi Berlapis, yaitu suatu realitas yang tidak lagi melihat suatu produk utama yang dijual untuk dikonsumsi secara massifikasi tetapi produk lain yang melapisinya, seperti yang dijual gelar adat, tetapi tujuannya, misalnya untuk politik, untuk ideologi tertentu, untuk mendapat jabatan, untuk hal lainnya diluar gelar adat.. Mungkin pencitraan, mungkin juga makna lain supaya dilihat berbudaya, tahu adat atau memang tidak tahu adat.
Dalam konteks adat Sangihe yang dikomodifikasikan berlapis untuk kepentingan bukan adat; jika dibiarkan berlangsung terus akan melahirkan produk pertama: Generasi “bega adate” (tidak tahu adat) yang berciri: warna biru, agak cair dan sangat mudah terurai seperti tinja bayi. Jika generasi bega adate terus melakukan komodifikasi pada lapisan kedua, maka akan lahir sebuah generasi lapisan kedua yang disebut sebagai generasi “tai adate”(tidak mempunyai adat) yang ciri-cirinya: bercorak kuning, panas kalau masih baru, rapuh (mudah hancur) dan busuk. Ibarat tinja orang dewasa. Selanjutnya, jika generasi tai adate terus menerus melakukan komodifikasi pada lapisan ketiga yaitu akumulasi dari tai adate. Budaya kite, hidup di dua ranah yaitu darat dan laut dengan dua corak bahasa: Sasalili dan Sasahara. Mereka (tai adate) yang “menjual” adat di laut akan mengalami kehancuran (tercerai-berai), sebagian akan dimakan ikan dan sebagian akan terurai secara alami dengan lingkungan sekitar laut. Tetapi bagi mereka (tai adate) yang “menjual” adate di darat, mereka akan ditelan bumi, terurai seluruhnya oleh tanah. Pada komodifikasi lapisan ketiga ini, kehidupan (kebudayaan) bangsa Sangihe akan mengalami krisis pada tiga situasi genting, yaitu:
1. Mengalami kecemasan besar (The Great Dellusion)
2. Mengalami kekacauan besar (The Great Dissruption)
3. Mengalami kematian besar (The Great Deceasion)
Saya pikir penyebab utama dari terjadinya situasi “disorientasi makna budaya” adalah lemahnya pengetahuan mengenai nilai-nilai luhur kebudayaan kite. Kita yang hidup di masa “post modern” seolah-olah bukan merupakan rangkaian dari masa lalu, ada semacam “missing link” kebudayaan. Mobilitas budaya kite yang bergerak sentripetal dan saling berbenturan karena tak beraturan, menurut saya disebabkan oleh adanya “kesadaran semu” sebagai dorongan kepentingan-kepentingan politik ekonomi yg bersifat sementara. Juga merupakan implikasi negatif (bias) dari perilaku budaya kite pada tataran keluarga yakni sikap mughaghelare atau mahungge. Perilaku bias ini yang menjadi dominan.
Tetapi coba perhatikan dengan seksama, tidak ada satupun bahasa kite (asli) yang bermakna terima kasih. yang ada hanyalah kata “tarimakase” sebagai serapan dari bahasa lain. Mengapa demikian? alasanya karena perilaku Taumata Sangihe dibentuk dari 3 komponen; mateleng (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150445416511887) , matelang (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150447971321887), mateling (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150456241221887) yang pada akhirnya terwujudlah taumata malunsemahe (damai & sejahtera) secara otonom. Simpulan saya, Orang Sanger bukan orang yang tidak tahu berterima-kasih, tetapi orang yang tahu menghargai (menghormati). Itulah esensi dari mahungge. Dengan mengucapkan kata “tarimakase” maka besok atau tahun depan atau sepuluh tahun depan orang yang dihargai itu segera dilupakan. Tetapi hungge tidak demikian, orang yang berjasa itu tidak pernah dilupakan. Bagi Orang Sanger, mati bukan berarti kehilangan nafas dan jiwa, melainkan dilupakan jasanya untuk selama-lamanya. Sedangkan hidup adalah kehormatan.
Secara sosiologis, “mahungge” adalah sebuah respon terhadap stimulan dari luar yang geraknya terhubung secara timbal balik dan berlangsung terus menerus dalam waktu yang relatif lama (kronis). sebaliknya “tarimakase” adalah respon manusia pada umumnya terhadap stimulan positif yang berlangsung seketika (akut). Saya kira kadar dalam ukuran “tarimakase” yang kita berikan kepada orang yang berjasa kepada kemaslahatan hidup Bangsa Sangihe terlalu kecil nilainya. Kite Bangsa Sangihe harus memberikan nilai besar yang disebut hungge, oleh sebab itu berikanlah gelar adat sebagai matelang u wanua kepada mereka yang berjasa itu dengan jubah putih sebagai pakaian kebesaran.(*)