
Dosen Kepemiluan Unsrat
BeritaManado.com — Hipotesis bahwa motivasi berdirinya partai politik (parpol) hanya untuk sekedar agar elite-elite politiknya mendapatkan dan berbagi posisi jabatan baik eksekutif, legislati, maupun dalam jabatan lain, seperti BUMN makin terbukti.
Meski KPU belum dalam tahapan menetapkan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) beserta parpol pengusung, namun tanda-tanda bahwa akan terdapat beberapa parpol yang tidak akan mengusung kadernya sendiri mulai terasa.
Partai Nasdem, PKS, dan Demokrat makin gesit mempromosikan Anies Bawesdan sebagai capres.
Anies bukanlah kader parpol dari salah satu parpol itu.
Parpol yang lain, meski belum jelas akan mengusung siapa, namun pertemuan makin intens dilakukan.
Jika nantinya akan terbukti benar bahwa calon yang akan diusung bukanlah hasil binaan, idiologisasi atau kader parpol, lantas apa yang dapat dipertanggungjawabkan oleh parpol terhadap publik.
Bukankah fungsi utama parpol itu adalah merekrut anggota secara reguler, mendidik kader dan idiologisasi, serta kemudian menyeleksinya sebagai calon pemimpin.
Untuk memperkuat fungsi itu negara memfasilitasi pembentukan parpol melalui pengakuan berbadan hukum, serta menyerahkan anggaran hibah yang bersumber dari APBN dalam setiap tahunnya.
Negara ikut membiayai parpol karena diharapkan parpol adalah institusi politik yang ditugaskan mempersiapkan calon-calon pemimpin.
Lantas apa maknanya bagi publik jika ternyata calon yang diusung pada Pilpres 2024 bukanlah kader parpol.
Apa pertanggungjawaban parpol terhadap anggaran negara yang dihibahkan ke masing-masing parpol agar parpol dapat melahirkan calon-calon pemimpin murni hasil pembinaan dan didikan parpol.
Bukankah cara-cara ini bentuk pengkhianatan parpol atas fasilitas negara yang bersumber dari pajak rakyat?
Lantas apa yang mendasari parpol tidak bisa mengusung kadernya sebagai capres pada pemilu 2024?
Pertama, hasil pemilu 2019 akan menjadi syarat bagi parpol untuk bisa mengusung capres pada pemilu 2024.
Hanya parpol yang memiliki kursi sebanyak 20 persen di DPR yang berhak mengusung capres.
Parpol yang tidak memenuhi ketentuan itu dimungkinkan bergabung dengan parpol lain.
Meski kalah dalam perolehan suara ataupun kursi pada pemilu, namun UU Pemilu tetap mempersilahkan parpol mengusung capres.
Ketentuan inilah yang membuat parpol harus melakukan sharing power satu sama lain.
Kedua, sebagian besar parpol belum memiliki kelembagaan yang baik sehingga belum banyak parpol memproduksi kader-kader terbaik untuk bisa menjadi calon pemimpin.
Kalaupun ada yang terpilih karena berhasil memanipulasi, biasanya berurusan dengan KPK karena korupsi.
Kebanyakan hanya cari gampang dengan membajak aktor eksternal yang merupakan figur-figur terkenal dan memiliki modal finansial yang kuat untuk dicalonkan
Ketiga ada anggapan bahwa parpol hanya dimanfaatkan oleh elite-elitenya untuk mendapatkan pekerjaan baik di eksekutif maupun legislatif.
Semakin banyak suara pemilih yang dikumpulkan melalui pemilu, maka akan banyak kursi DPR yang akan diperoleh.
Dan jumlah kursi akan menentukan berapa jabatan publik yang akan diraih parpol.
Dengan motif seperti ini maka parpol tidak terbebani apakah calon yang diusung itu merupakan kader parpol atau bukan yang pokok harus menang agar elite-elitenya bisa berbagi posisi-posisi penting di struktur pemerintahan.
Anggaran negara Rp76,6 triliun untuk pembiayaan pemilu 2024 sepertinya rakyat tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa.
Hak publik untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, fasilitas, keamanan, dan pendidikan yang lebih optimal diabaikan guna pembiayaan pemilu.
Namun apa jadinya jika pembiayaan pemilu yang begitu mahal hanya untuk memfasilitasi bagi-bagi jabatan di antara para elite-elite politik di negeri ini.
(***/jenly)