Manado – Pelayanan RSUP Kandou Malalayang terus dipertanyakan. Pelayanan buruk oleh pihak RSUP Kandou diduga telah menjadi penyebab meninggalnya Ibu Hermin Tangkau, isteri dari Profesor Jan Lombok mantan rektor UNIMA ketika menjalani perawatan di RSUP Kandou.
Berikut testimoni Billy Lombok, putera dari pasangan Prof Jan Lombok dan Almarhumah Hermin Tangkau mengisahkan proses perawatan Ibu Hermin Tangkau di RSUP Kandou hingga Ibu Hermin Tangkau meninggal dunia pada Senin, 26 September 2016, pukul 9.15 WITA, pada usia 68 Tahun, 8 Bulan dan 25 Hari, setelah menjalani perawatan 9 jam di RSUP Kandou.
Lombok: RS Prof Kandou tak pantas tipe A .
Tiap kata yang tertulis merupakan pengalaman menyedihkan, menulis ini berarti mengembalikan ingatan pengobatan di RS prof Kandou yang tak layak menyandang RS tipe A.
Berawal dari kedatangan kami membawa ibu kami di bangunan IGD RS Prof Kandou, dengan keluhan sesak nafas, dikarenakan dirumah tidak memiliki oksigen maka bergegas kami membawa beliau ke RS ini. Masuk kami, kemudian di teruskan ke bilik ruangan yang terdiri atas beberapa kamar. Kondisi mami saat itu bisa jalan, bisa naik kursi roda yang perlu dibantu bila naik tempat tidur saja.
Sedemikian lama dalam ruangan itu, suasana panas mulai mengganggu mami yang memang membawa kesan panas dikarenakan sakitnya. Kemudian mami bermohon berkali kali, berteriak berkali kali meminta dipindah ketempat lebih dingin, kami langsung menghubungi dokter, jawabnya tidak bisa karena harus di observasi dulu, kami terpaksa ikuti, walau sekali lagi mami harus meraung raung bermohon dipindahkan, jawaban dokter tetap tidak dan tidak ada tindakan lain selain merencanakan penyuntikan steroid yang katanya untuk membantu pernafasan, tindakan ini pun tidak terlalu cepat di laksanakan, kami harus menunggu dan menunggu, mami semakin bermohon dipindah.
Mami kemudian bermohon hal lain lagi, yakni mau ke toilet untuk pipis, kami melapor lagi, dokter bilang pakai kateter atau pispot saja, karena wc jauh.
My God, tidak diberikan atau ditawarkan kursi roda sebagaimana fasilitas mempermudah pasien seperti di RS umumnya. Kami terus mempertanyakan lagi ke dokter ttg penanganan ini, betapa kaget kami menerima jawaban ini, ‘ kalau di penang memangnya penanganan seperti apa ? Mami memang sebelumnya di rawat di RS Gleneagles Penang.
Sabar menahan emosi, kami mencari jalan keluar sendiri dengan mencari toko untuk popok orang dewasa, walau kembali lagi memakan waktu dgn upaya kami sendiri akhirnya mami bisa pipis. Selanjutnya, mami dibiarkan ditempat tidur, untuk alasan observasi, yang walaupun kami tidak mengerti observasi apa yang akan dilaksanakan, tapi dengan optimis kami menunggu walau keluhan kepanasan tidak di hiraukan sama sekali dan mami terus meraung memohon pindah karena merasa panas tak tertahankan. Infus pun terlihat darah dan tidak berjalan, kami lapor dokter lagi, dijawab oh iya lupa tadi, kemudian infus kembali berjalan, wah bisa lupa ya.
Kembali lagi infus terlihat darah lebih banyak, lapor ke dokter, jawabannya iya silahkan ke perawat saja, sebenarnya saya sudah mulai emosi tapi saya tahan. Dan akhirnya mami dibawa keluar dari ruangan itu untuk rontgen, kami sebenarnya sudah bersyukur karena ruangan rontgen jauh lebih dingin, keluhan panas mulai mereda, dan kondisi mami menjadi jauh lebih stabil karena sudah mulai dingin.
Tapi sepertinya keadaan ini tak lama karena rontgen hanya beberapa menit saja, kami mulai kecewa, menuju ruangan tadi lagi mami mulai kepanasan, mami akhirnya meminta di kursi roda saja dan duduk di lorong.
Kami kaget, perawat laki2 mengatakan ‘oma kalo di kursi roda tidak ada oksigen’ , padahal oksigen portable sebenarnya ada. Benar saja, pilihan menggunakan kursi roda, dan kemudian perawat itu membawa kembali oksigen portable, praktis mami tanpa oksigen di lorong itu, gila saja masa RS tipe A hanya punya 1 oksigen portable dan harus menarik oksigen itu dari pasien. Akhirnya mami menyerah, biar jo dang ke tempattidur jo, walau mami tahu konsekuensi merasa lebih panas.
Sekian lama tidak ada tindakan, yg dikatakan observasi tidak jelas maknanya. Saya kemudian periksa kakinya mulai biru, disini baru dokter bertindak memindahkan mami, tapi sudah dengan dokter interna yg berbeda. Pemeriksaan darah pun baru dilakukan, anehnya botol darah kemudian di serahkan kepada saya, dan minta bawa sendiri ke laboratorium, kaget tapi menahan diri, saya bawa sampel darah ke laboratorium, disana disuruh taruh saja di meja nanti balik jam 6.30 pagi, sekali lagi RS TIPE A dengan standar tidak jelas, pasien/keluarga harus berusaha sendiri kesana kemari.
Seorang dokter yg sudah bolak balik dengan pertanyaan yang sama yakni, kawin kapan, terakhir mens kapan, kenapa kembung, dan berulang kali kami menjawab sudah tertulis di penjelasan dari RS gleneagles penang, saya pun akhirnya bertanya nah hasil observasi kemudian mau tindakan apa ?
Jawabannya seperti petir disiang bolong, sudah tidak ada ini sudah stadium lanjut.
Kenapa tidak ada kami menunggu observasi, kami bahkan hampir tak sanggup membiarkan mami berteriak kepanasan, kalau tahu begini kenapa tak biarkan kami membawa mami di tempat yang AC dingin membuat mami jauh lebih nyaman sebagaimana sebelumnya dirumah yang bisa jalan sendiri.
Sesak napas ditambah panas ternyata mendorong mami kolaps, terengah engah, dan akhirnya tak dapat berinteraksi lagi. kami menyadari perjalanan sakit mami dengan stadium lanjut mungkin dengan usia yang tidak panjang, tapi pengalaman yg saya tuliskan diatas dapat menggambarkan bagaimana tidak profesionalnya pelayanan medis, yang kemudian menghantarkan orang tua kami bersama sang Bapa di Sorga.
Sedih, sangat sedih, harapan kami tentu saja mami bisa bercakap untuk terakhir kalinya, tapi mami begitu sibuk menekan sakitnya. Yang lebih stres lagi keluarga tak mendapat kesempatan memberi kenyamanan maksimal sebagaimana permintaan mami.
Ada ungkapan Tuhan sudah menentukan nasib, tapi jangan sampai penentuan nasib oleh Tuhan karena justru didorong oleh dorongan manusia. belum lagi dengan setoran tak jelas di bagian registrasi, variatif ada yang Rp8000 sampai 15000, tak ada kwitansi/pembukuan, tak dijelaskan dasar hukumnya.
Jangan RSUP Kandou hanya menjadi sarana orang kaya untuk latihan dan praktik ilmu kedokteran bukan tempat penyembuhan!
Tembusan: Yth Gubernur Sulawesi Utara, Pimpinan DPRD Sulawesi Utara.
Salam, Billy Lombok.
(***/jerrypalohoon)