HAMPIR sekitar 40 menit, Leonardo (diperankan oleh Eric Dajoh, salah seorang aktor dan sutradara yang kini lebih banyak bermukim di Manado), meneror penonton dengan kesunyian yang tengah membalut hidupnya sebagai seorang aktor gaek yang memilih tinggal di ruang ganti gedung pertunjukan ketimbang pulang ke rumahnya.
Ia meratap, kadang terisak sedu, mendesah pilu namun kadang lantang mengisahkan masa-masa indahnya sebagai pembanyol tolol yang telah kehilangan pegangan, kehilangan ekspresi diri di panggung pertunjukan.
Dari lakon Nyanyian Angsa yang baru saja bergema di Kota Bitung tersebut, Leonardo dengan ‘Nyanyian Angsa’ nya karya Anton Chekhov yang sudah diadaptasi Eirene Debora ke dalam keseharian hidup aktor-aktor di kota Manado dan sekitarnya dan dipentaskan oleh WaleTeater Manado yang bekerjasama dengan North Celebes Creative Laboratorium (NCCL), seolah membawa kita mengembara ke alam kesunyian manusia di masa tuanya.
Leonardo adalah seorang aktor tenar yang berjaya pada masanya. Namun, waktu tidak lagi berpihak padanya.
Ia makin tua dan masih (berusaha) bertahan di panggung banyolan menghibur penonton, demi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Penonton hanya memerlukannya sebagai penghibur dan ia hidup dari tiket yang tidak seberapa nilai jualnya.
Di gedung itu, ia hanya ditemani Soasoa (diperankan oleh aktor disabilitas Allan Zefo Umboh) dan Raraha (diperankan oleh aktor bertubuh mungil Marsel Christofel Laoh), sebagai penjaga gedung.
Sehari-harinya, Leonardo seusai pertunjukan, mengajak kedua penjaga gedung itu, mendengar kisah hidupnya sepanjang 45 tahun bergumul sebagai aktor di panggung itu, sambil menghabisi berbotol-botol bir dan anggur.
Kisah yang terus diulang-ulang seakan tak pernah berakhir.
Kesendiriannya di gedung itu telah membuat Leonardo, merasakan kesepian yang akut, meratapi kesunyian yang seolah tak berujung, karena ‘ditinggal’ penonton, juga isteri dan anak-anaknya.
Apalagi, saat itu, Leonardo sudah berusia senja, sakit-sakitan, meradang tak berdaya lagi.
Hidupnya tak akan lama lagi. Konon, dalam pandangan masyarakat Rusia, angsa yang kian cerewet dan mengulang-ulang nada suara yang itu-itu saja, adalah angsa yang sudah siap disembelih!
Kesunyian Leonardo kian cerewet, ketika tanpa sengaja, muncul Raumanen (diperankan oleh aktor muda Melva Kembuan), yang pada malam usai pertunjukan tertidur dalam lemari pakaian di ruang yang sama.
Pertemuan dengan Raumanen, benar-benar dimanfaatkan Leonardo untuk mengulang semua kisah hidupnya, sambil berharap mendapat perhatian dan belaian dari Raumanen.
Sementara, Epiphany Pangkey mampu menjamu pementasan diiringi penata Musik Jacquard Lawalata dan penata Artistik Astrid Tuela dan penata rias serta busana Jacky Armando Kabo menambah estetika dalam pementasan.
Dari pantauan, secara keseluruhan pementasan WaleTeater berlangsung dengan cukup apik.
“Tata rias cukup mampu menyajikan karakter Leonardo yang sunyi, sendiri dan sepi,” ungkap Irene Buyung, salah satu seniman teater Kota Manado.
Ditambahkan peraih aktris terbaik dalam Festival Teater Pelajar di Sulur ini, kebekuan yang agak mengganggu, tampak di tata lampu yang belum mampu mengusung kesunyian itu sendiri, begitu juga tata musik di bagian-bagian adegan yang hanya memerlukan atmosfir suasana gedung di malam yang telah larut, dingin dan sepi, justru terasa ramai dan kehilangan makna sunyi.
“Kendati mesti juga diakui, pada beberapa bagian awal, musik telah cukup mampu menerjemahkan ratapan dan desahan kesepian Leonardo, sehingga terasa menyayat dan sedih. Panggung yang sempit dan padat dipenuhi properti, mengesankan kebekuan Leonardo dalam mengembangkan pergerakan yang lebih leluasa. Tata suara, baik untuk dialog para aktor maupun musik, terasa mengganggu telinga,” ujarnya menggambarkan suasana pementasan.
Dilanjutkan Buyung, melalui pementasan ini, NCCL dan WaleTeater hendak menyentuh batin setiap penonton bahwa betapa menyiksanya kesepian itu dan bahwa waktu bisa berlalu begitu cepat menanggalkan semua kejayaan seseorang.
“Kematangan akting, khususnya pada aktor Eric Dajoh, cukup menyentuh, dan memperlihatkan secara nyata kerapuhan dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kesunyian, kesendirian hidup dan kesepian yang akut, suatu hal yang pasti terjadi dalam kehidupan ini, dan tak mungkin ditolak. Usia yang terus menua, rasa kurang dihargai kurang perhatian, tubuh yang kian renta dan rapuh, beban sakit, serta kematian yang terus menghantui, adalah hal-hal yang terus meneror penonton. WaleTeater cukup berhasil mengolah lakon ini sebagai sebuah refleksi kehidupan,” ujarnya seraya melanjutkan jika sajian seperti ini semakin langka di panggung-panggung pertunjukan teater di Manado.
Apalagi, tambah dia, pementasan ini digelar sebagai peringatan Hari Teater Sedunia yang jatuh setiap 27 Maret, dan karya Chekov ini juga diangkat sebagai peringatan hubungan persahabatan Indonesia-Rusia yang ke 70 tahun.
Diketahui, pementasan ‘Nyanyian Angsa’ di Kota Bitung merupakan rangkaian tur teater WaleTeater Manado dan NCCL.
Pada pementasan kedua nanti akan berlangsung di Café PojokIndie Manado, Selasa (30/3/2021) besok
Pementasan yang pertama berlangsung di panggung NCCL Sagerat Bitung dan disambut antusias oleh para pemerhati teater di kota Bitung, juga yang datang dari Airmadidi, Manado dan Kotamobagu.
Ikut hadir menyaksikan dalam pementasan tersebut Dr. Audy Pangemanan selaku Sekretaris Kota Bitung serta hadir juga sastrawan Reiner Emyot Ointoe.
(***/AnggawiryaMega)