Manado, BeritaManado.com — Pemerintah tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama guna mempermudah izin pendirian rumah ibadah.
Dalam rancangan itu, pihak yang ingin mendirikan rumah ibadah cukup mendapatkan satu rekomendasi dari kepala kantor Kementerian Agama di daerah setempat saja, dan tidak lagi memerlukan lagi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengkritisi perubahan aturan itu.
Ia mengingatkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk tidak begitu saja mencoret keterlibatan FKUB dalam pemberian rekomendasi pendirian rumah karena rekomendasi FKUB tersebut merupakan kesepakatan dari masing-masing majelis agama yang diakui di Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Agama Mariana Hasbie menjelaskan Rancangan Perpres tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama ini telah dibahas sejak 2021, sebagai tindak lanjut aspirasi masyarakat tentang pengkajian ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah yang dinilai sejumlah pihak “banyak kendala di lapangan.”
Kementerian Agama, tambah Mariana, telah memulai kajian tersebut dengan mengundang berbagai pihak terkait, mulai dari kementerian hingga tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Dari berbagai forum diskusi, raker dan kajian itu disusunlah draf rancangan perpers tersebut.
“Sesuai namanya rancangan Perpres tersebut mengatur peran dan tanggung jawab berbagai pihak baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam hal pemeliharaan kerukunan umat beragama, peran dan tanggung jawab FKUB pun diatur dalam rancangan ini yang sudah dibahas di tingkat Kemenko Polhukam tersebut,” ujarnya kepada VOA.
Dalam rancangan Perpres tersebut, FKUB akan dioptimalkan untuk kegiatan pemeliharaan kerukunan umat beragama dengan membentuk FKUB nasional, lalu diatur pula keterwakilan perempuan dalam forum tersebut serta bagaimana koordinasi FKUB dengan pemerintah setempat.
Langkah progresif
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengapresiasi langkah progresif penghapusan syarat rekomendasi FKUB, yang dinilai lebih kompatibel dengan tata kebinekaan Indonesia yang terdiri dari berbagai identitas agama dan kepercayaan.
Halili mengatakan di banyak kasus, FKUB memang menjadi salah satu aktor – sekaligus faktor – yang menjadi hambatan dalam proses pengajuan pendirian rumah ibadah karena keanggotaan FKUB merupakan “perpanjangan tangan” kelompok mayoritas setempat.
Hal itu terjadi karena keanggotaan FKUB yang dipilih “secara proporsional,” bukan menggunakan “perspektif representasi.”
“Kalau kita cek beberapa kasus, FKUB akhirnya berada dalam posisi sekedar untuk menyetujui atau tidak menyetujui, karena keanggotaannya itu perpanjangan tangan kekuasaan mayoritas maka dia sebenarnya kalau tidak menyetujui, mayoritas setempat tidak menyetujui pendirian rumah ibadah dengan menggunakan badan FKUB,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa FKUB belum optimal dalam mencegah dan menangani berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), khususnya gangguan tempat ibadah di berbagai daerah.
Gangguan tempat ibadah
Dalam Laporan Kondisi Keberasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikeluarkan SETARA Institute baru-baru ini diketahui bahwa sepanjang 2023, terdapat sedikitnya 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Gangguan tersebut cukup beragam, mulai dari penolakan pendirian, pembatasan pendirian, pelarangan pendirian, hingga penyegelan tempat ibadah. Angka itu meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 50 gangguan.
Bahkan jika ditarik dalam spektrum waktu yang lebih panjang, yaitu sejak riset KBB dilakukan pertama kali oleh SETARA Institute (sepanjang 2007-2023), telah terjadi 636 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah. Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas dalam relasi inter dan intra agama.
FKUB, tambah Halili, harus difokuskan pada kemajuan kerukunan umat beragama dengan memperbanyak pertemuan atau dialog lintas agama. Bukan memberi atau tidak memberi rekomendasi pendirian rumah ibadah.
Hingga laporan ini disampaikan, masih ada kelompok umat beragama yang menemui kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah, hanya karena belum mendapat rekomendasi dari FKUB di daerah masing-masing, dan juga syarat administrasi berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Pendeta Henry Lokra mengatakan sebenarnya rekomendasi FKUB dalam mendirikan rumah ibadah bukan merupakan surat izin, tetapi ibarat “sowan” di masyarakat supaya tidak menimbulkan pertentangan antar kelompok masyarakat.
Namun pada praktiknya “sowan” ini menjadi masalah karena sebagian FKUB merasa pemberian rekomendasi atau surat izin merupakan kewenangan mereka.
Tak jarang FKUB justru menjadi alat kelompok intoleran untuk mendukung larangan pendirian rumah ibadah.
Jika terjadi perselisihan, FKUB juga tidak menjadi penengah yang mendamaikan kedua pihak; satu hal yang telah dikritik banyak pihak sejak lama.
(Sumber: voindonesia.com)