“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Setelah melalui perdebatan yang melelahkan, akhirnya Pemerintah dan DPR RI menemui titik temu soal pengangkatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta, yaitu lewat sistem penetapan, meski dengan catatan setiap lima tahun sekali. Kompromi tersebut mengakhiri pro-kontra selama ini, soal wacana posisi Sri Sultan HB X, dipilih sebagai gubernur melalui penetapan atau pemilihan kepala daerah.
Dengan dipilihnya sistem penetapan, berarti telah sesuai dengan aspirasi masyarakat Yogya pada umumnya. Jalan panjang untuk mencapai kompromi inilah, yang menjadi tema diskusi program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi kali ini mengundang dua narasumber, masing-masing adalah Agun Gunanjar (Ketua Komisi II DPR RI, Ketua Panja RUUK Yogyakarta) dan Andrinof Chaniago (pengamat politik, pengajar Fisip UI)
Agun Gunanjar mengakui bahwa pembahasan RUUK DIY ini sungguh melelahkan, nyaris berlangsung hampir sembilantahun. Yang paling prinsip, bahwa sesungguhnya negara mengakui dan menghormati kekhususan dan keistimewaan daerah-daerah tertentu, dalam hal ini Yogyakarta, Aceh, DKI dan Papua. Agun juga mengakui, kasus DIY memang paling rumit, dibanding yang lain. “Kini semua pihak lega, setelah ada kepastian bahwa keistimewaan DIY itu melekat pada posisi Sultan dan Paku Alam, sebagai sumber untuk mengisi posisi Gubernur dan Wakil Gubernur,” tambah Agun.
Andrinof menyambut baik kalau memang sudah ada kesepakatan. Kasus Yogya memang agak khusus karena tidak ada di daerah-daerah lain, begitu juga terhadap publik atau warga di wilayah itu. Andrinof menepis soal kekhawatiran akan menimbulkan feodalisme. “Apabila ada nilai-nilai feodalnya di situ dan kemudian nilai-nilai ini dianggap sebagai bagian dari keunikan Yogyakarta ya tidak apa-apa. Yang penting adalah akuntabilitas terhadap pemakaian sumber daya yang berasal dari rakyat,” tambah Andrinof.
Agun Gunanjar menegaskan kembali soal status pemilikan tanah di kawasan DIY, yang juga melekat dengan status keistimewaan Yogya. Merujuk pada sejarah, di mana pemerintahan Hindia Belanda mengakui, bahwa tanah itu wilayah kesultanan. Karenanya sejak dulu pihak keraton mereka semacam sertifikat dengan logo-logo kesultanan. Namun kinibanyak tanah keraton yang sudah berubah fungsi, menjadi kantor-kantor pemerintahan, dengan sertifikat hak guna bangunan, hak pakai, yang dikeluarkan BPN “Tetap bukan sebagai hak milik tapi hak guna pakai, dan itu juga yang akhirnya disepakati,” jelas Agun.
Andrinof menekankan soal pentingnya akuntabilitas, prinsip dalam sistem pemerintahan, mengingat Yogyakarta bukanlagi berstatus murni kerajaan seperti zaman dahulu. Utamanya bila dihubungkan dengan sumber pembiayaan. Setiap daerah memiliki dana yang dikumpulkan dari berbagai sumber penerimaan negara, seperti pajak dan SDA, atau penerimaan negara bukan pajak. “Dan itu juga digunakan oleh pemerintah daerah dimana pun, tidak terkecuali DIY, bukan lagi sepenuhnya menganut sistem kerajaan tradisional,” tegas Andrinof. (*/oke)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Setelah melalui perdebatan yang melelahkan, akhirnya Pemerintah dan DPR RI menemui titik temu soal pengangkatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta, yaitu lewat sistem penetapan, meski dengan catatan setiap lima tahun sekali. Kompromi tersebut mengakhiri pro-kontra selama ini, soal wacana posisi Sri Sultan HB X, dipilih sebagai gubernur melalui penetapan atau pemilihan kepala daerah.
Dengan dipilihnya sistem penetapan, berarti telah sesuai dengan aspirasi masyarakat Yogya pada umumnya. Jalan panjang untuk mencapai kompromi inilah, yang menjadi tema diskusi program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi kali ini mengundang dua narasumber, masing-masing adalah Agun Gunanjar (Ketua Komisi II DPR RI, Ketua Panja RUUK Yogyakarta) dan Andrinof Chaniago (pengamat politik, pengajar Fisip UI)
Agun Gunanjar mengakui bahwa pembahasan RUUK DIY ini sungguh melelahkan, nyaris berlangsung hampir sembilantahun. Yang paling prinsip, bahwa sesungguhnya negara mengakui dan menghormati kekhususan dan keistimewaan daerah-daerah tertentu, dalam hal ini Yogyakarta, Aceh, DKI dan Papua. Agun juga mengakui, kasus DIY memang paling rumit, dibanding yang lain. “Kini semua pihak lega, setelah ada kepastian bahwa keistimewaan DIY itu melekat pada posisi Sultan dan Paku Alam, sebagai sumber untuk mengisi posisi Gubernur dan Wakil Gubernur,” tambah Agun.
Andrinof menyambut baik kalau memang sudah ada kesepakatan. Kasus Yogya memang agak khusus karena tidak ada di daerah-daerah lain, begitu juga terhadap publik atau warga di wilayah itu. Andrinof menepis soal kekhawatiran akan menimbulkan feodalisme. “Apabila ada nilai-nilai feodalnya di situ dan kemudian nilai-nilai ini dianggap sebagai bagian dari keunikan Yogyakarta ya tidak apa-apa. Yang penting adalah akuntabilitas terhadap pemakaian sumber daya yang berasal dari rakyat,” tambah Andrinof.
Agun Gunanjar menegaskan kembali soal status pemilikan tanah di kawasan DIY, yang juga melekat dengan status keistimewaan Yogya. Merujuk pada sejarah, di mana pemerintahan Hindia Belanda mengakui, bahwa tanah itu wilayah kesultanan. Karenanya sejak dulu pihak keraton mereka semacam sertifikat dengan logo-logo kesultanan. Namun kinibanyak tanah keraton yang sudah berubah fungsi, menjadi kantor-kantor pemerintahan, dengan sertifikat hak guna bangunan, hak pakai, yang dikeluarkan BPN “Tetap bukan sebagai hak milik tapi hak guna pakai, dan itu juga yang akhirnya disepakati,” jelas Agun.
Andrinof menekankan soal pentingnya akuntabilitas, prinsip dalam sistem pemerintahan, mengingat Yogyakarta bukanlagi berstatus murni kerajaan seperti zaman dahulu. Utamanya bila dihubungkan dengan sumber pembiayaan. Setiap daerah memiliki dana yang dikumpulkan dari berbagai sumber penerimaan negara, seperti pajak dan SDA, atau penerimaan negara bukan pajak. “Dan itu juga digunakan oleh pemerintah daerah dimana pun, tidak terkecuali DIY, bukan lagi sepenuhnya menganut sistem kerajaan tradisional,” tegas Andrinof. (*/oke)