Manado, BeritaManado.com – Fenomena kedatangan pengungsi lintas batas negara atau refugee (selanjutnya disebut pengungsi) ke Indonesia terasa semakin ramai diperbincangkan dalam satu dasa warsa terakhir ini. Berbagai respons dan pertanyaan mulai bermunculan baik di kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat karena perbedaan persepsi dan pemahaman.
Keberadaan pengungsi di Indonesia merupakan bagian kecil dari realitas pengungsi di seluruh dunia. Berkecamuknya perang, konflik antarkelompok, dan berbagai tindakan terorisme khususnya di beberapa negara di kawasan Afrika dan Asia seperti Sudan, Somalia, Suriah, Afghanistan dan Myanmar, memaksa jutaan orang untuk berpindah ke negara yang lebih aman dan damai demi keselamatan hidup mereka.
Hampir tidak ada pilihan bagi mereka yang terjebak dalam konflik, perang, dan terorisme tersebut, selain terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman, harta benda, dan bahkan sanak keluarga. Perjalanan panjang penuh risiko dengan menyeberangi lautan dan hamparan padang pasir, serta mengalami perbedaan cuacayang ekstrem, harus mereka lalui demi mempertahankan hidup.
“ltulah yang dialami para pengungsi, termasuk sekitar 14.000-an pengungsi yang sedang mencari perlindungan internasional di Indonesia,” ujar Zainuddin Ketua Panitia Seminar Jesuit Refugee Service (28/8/2018), di Manado Convention Center.
Pada mulanya, kehadiran dan penderitaan yang dialami pengungsi ini tidak disadari dan diantisipasi oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah seakan belum siap menyikapi keberadaan pengungsi tersebut.
Ketidaksiapan pemerintah terlihat dari kurangnya infrastruktur pendukung maupun belum adanya regulasi tentang bagaimana menangani persoalan pengungsi dan siapa yang mesti mengambil peran di garis depan terhadap keberadaan pengungsi tersebut.
Akibatnya, respons yang dilakukan selama ini masih bersifat parsial dan tidak berdasar pada payung hukum yang tepat. Hal ini berdampak pada perlindungan serta pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak pengungsi.
Zainuddin mengatakan bahwa barulah pada akhir tahun 2016, Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian terhadap keberadaan pengungsi tersebut dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 tahun 2016 tentang ”Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri” yang menjadi dasar hukum untuk merespons situasi yang dialami oleh para pengungsi. Namun, sosialisasi dan implementasi Perpres tersebut, khususnya oleh Pemerintah Daerah, masih berjalan lambat;
Kurangnya informasi yang lengkap, benar, dan berimbang tentang pengungsi seringkali menimbulkan kecurigaan dan ketakutan, baik di kalangan pemerintah sendiri maupun masyarakat.
Tidak jarang bahwa media massa lebih menyampaikan berita tentang pengungsi dengan sudut pandang yang negatif tanpa mendengarkan suara pengungsi sendiri sehingga memperkuat persepsi negatif publik terhadap pengungsi.
“Suara para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi yang diharapkan dapat memberikan perspektif yang ‘tepat dan konstruktif tentang pengungsi serta menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk saling menolong dan berbagi, dirasa masih minim,” tutup Zainuddin.
(***/PaulMoningka)
Manado, BeritaManado.com – Fenomena kedatangan pengungsi lintas batas negara atau refugee (selanjutnya disebut pengungsi) ke Indonesia terasa semakin ramai diperbincangkan dalam satu dasa warsa terakhir ini. Berbagai respons dan pertanyaan mulai bermunculan baik di kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat karena perbedaan persepsi dan pemahaman.
Keberadaan pengungsi di Indonesia merupakan bagian kecil dari realitas pengungsi di seluruh dunia. Berkecamuknya perang, konflik antarkelompok, dan berbagai tindakan terorisme khususnya di beberapa negara di kawasan Afrika dan Asia seperti Sudan, Somalia, Suriah, Afghanistan dan Myanmar, memaksa jutaan orang untuk berpindah ke negara yang lebih aman dan damai demi keselamatan hidup mereka.
Hampir tidak ada pilihan bagi mereka yang terjebak dalam konflik, perang, dan terorisme tersebut, selain terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman, harta benda, dan bahkan sanak keluarga. Perjalanan panjang penuh risiko dengan menyeberangi lautan dan hamparan padang pasir, serta mengalami perbedaan cuacayang ekstrem, harus mereka lalui demi mempertahankan hidup.
“ltulah yang dialami para pengungsi, termasuk sekitar 14.000-an pengungsi yang sedang mencari perlindungan internasional di Indonesia,” ujar Zainuddin Ketua Panitia Seminar Jesuit Refugee Service (28/8/2018), di Manado Convention Center.
Pada mulanya, kehadiran dan penderitaan yang dialami pengungsi ini tidak disadari dan diantisipasi oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah seakan belum siap menyikapi keberadaan pengungsi tersebut.
Ketidaksiapan pemerintah terlihat dari kurangnya infrastruktur pendukung maupun belum adanya regulasi tentang bagaimana menangani persoalan pengungsi dan siapa yang mesti mengambil peran di garis depan terhadap keberadaan pengungsi tersebut.
Akibatnya, respons yang dilakukan selama ini masih bersifat parsial dan tidak berdasar pada payung hukum yang tepat. Hal ini berdampak pada perlindungan serta pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak pengungsi.
Zainuddin mengatakan bahwa barulah pada akhir tahun 2016, Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian terhadap keberadaan pengungsi tersebut dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 tahun 2016 tentang ”Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri” yang menjadi dasar hukum untuk merespons situasi yang dialami oleh para pengungsi. Namun, sosialisasi dan implementasi Perpres tersebut, khususnya oleh Pemerintah Daerah, masih berjalan lambat;
Kurangnya informasi yang lengkap, benar, dan berimbang tentang pengungsi seringkali menimbulkan kecurigaan dan ketakutan, baik di kalangan pemerintah sendiri maupun masyarakat.
Tidak jarang bahwa media massa lebih menyampaikan berita tentang pengungsi dengan sudut pandang yang negatif tanpa mendengarkan suara pengungsi sendiri sehingga memperkuat persepsi negatif publik terhadap pengungsi.
“Suara para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi yang diharapkan dapat memberikan perspektif yang ‘tepat dan konstruktif tentang pengungsi serta menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk saling menolong dan berbagi, dirasa masih minim,” tutup Zainuddin.
(***/PaulMoningka)