Tokyo – Amstrong Sompotan, kandidat doktor Universitas Negeri Manado (UNIMA) yang saat ini sudah berada di Jepang telah mejalani tahapan awal dalam rangka melakukan sebuah penelitian. Baru – baru ini, Sompotan digodok oleh Profesor Katsumi Hatori dari Chiba University Tokyo Jepang mengenai prediksi gempa bumi jangka pendek. Ini adalah tahap pengumpulan bahan referensi sebelum turun ke lapangan untuk melakukan riset.
Diungkapkan Sompotan, dari pemaparan Profesor Katsumi Hatori, diperoleh beberapa kesimpulan singkat mengenai gempa bumi dahsyat yang terjadi di Jepang tahun 2011 silam. Menurutnya, sebelum tragedi tersebut terjadi, riset mengenai prediksi gempa bumi masih terabaikan. Hal itu disebabkan para seismolog masih pesimis akan hal tersebut. Negara dan para ahli pun sibuk mendanai riset untuk mitigasi gempa.
Riset tersebut lebih terarah pada bagaimana para insinyur dan arsitek serta ahli lainnya merancang bangunan yang memiliki konstruksi tahan gempa untuk mitigasi bencana. Ternyata setelah gempa bumi dan tsunami Jepang tahun 2011, Jepang akhirnya sadar bahwa dana besar yang digelontorkan pemerintah untuk mitigasi bencana sia – sia saja. Buktinya dengan teknologi tahan gempa, toh masih ada bencana lebih besar yang terjadi diluar dugaan.
Sejak saat itu, riset mengenai prediksi gempa bumi mulai diperhatikan dengan lebih serius. Jepang sendiri beralasan lebih baik selangkah lebih maju dengan sebuah prediksi daripada bertahan untuk sebuah kesia – siaan. Oleh karena itu metode riset prediksi gempa bumi ini mulai didanai dari berbagai sumber termasuk pemerintah. Hasil riset itu pun mulai dipublikasikan melalui jurnal dan artikel, karena semakin sering diperbincangkan.
“Salah satu bagian dari riset ini adalah melakukan pengamatan anomaly dari bagian terluar bumi yaitu ionosfer mengenai gejala – gejala sebelum terjadinya gempa bumi. Itu sudah bisa dideteksi melalui satelit. Ini masih menyisahkan pertanyaan, yaitu bagaimana mengaitkan tanda – tanda tersebut dengan metode yang mampu menganalisa untuk menentukan kapan, dimana, dan berapa besar dampak gempa yang bisa ditimbulkan,” ungkap Sompotan kepada BeritaManado.com Kamis (29/8) kemarin. (ang)
Tokyo – Amstrong Sompotan, kandidat doktor Universitas Negeri Manado (UNIMA) yang saat ini sudah berada di Jepang telah mejalani tahapan awal dalam rangka melakukan sebuah penelitian. Baru – baru ini, Sompotan digodok oleh Profesor Katsumi Hatori dari Chiba University Tokyo Jepang mengenai prediksi gempa bumi jangka pendek. Ini adalah tahap pengumpulan bahan referensi sebelum turun ke lapangan untuk melakukan riset.
Diungkapkan Sompotan, dari pemaparan Profesor Katsumi Hatori, diperoleh beberapa kesimpulan singkat mengenai gempa bumi dahsyat yang terjadi di Jepang tahun 2011 silam. Menurutnya, sebelum tragedi tersebut terjadi, riset mengenai prediksi gempa bumi masih terabaikan. Hal itu disebabkan para seismolog masih pesimis akan hal tersebut. Negara dan para ahli pun sibuk mendanai riset untuk mitigasi gempa.
Riset tersebut lebih terarah pada bagaimana para insinyur dan arsitek serta ahli lainnya merancang bangunan yang memiliki konstruksi tahan gempa untuk mitigasi bencana. Ternyata setelah gempa bumi dan tsunami Jepang tahun 2011, Jepang akhirnya sadar bahwa dana besar yang digelontorkan pemerintah untuk mitigasi bencana sia – sia saja. Buktinya dengan teknologi tahan gempa, toh masih ada bencana lebih besar yang terjadi diluar dugaan.
Sejak saat itu, riset mengenai prediksi gempa bumi mulai diperhatikan dengan lebih serius. Jepang sendiri beralasan lebih baik selangkah lebih maju dengan sebuah prediksi daripada bertahan untuk sebuah kesia – siaan. Oleh karena itu metode riset prediksi gempa bumi ini mulai didanai dari berbagai sumber termasuk pemerintah. Hasil riset itu pun mulai dipublikasikan melalui jurnal dan artikel, karena semakin sering diperbincangkan.
“Salah satu bagian dari riset ini adalah melakukan pengamatan anomaly dari bagian terluar bumi yaitu ionosfer mengenai gejala – gejala sebelum terjadinya gempa bumi. Itu sudah bisa dideteksi melalui satelit. Ini masih menyisahkan pertanyaan, yaitu bagaimana mengaitkan tanda – tanda tersebut dengan metode yang mampu menganalisa untuk menentukan kapan, dimana, dan berapa besar dampak gempa yang bisa ditimbulkan,” ungkap Sompotan kepada BeritaManado.com Kamis (29/8) kemarin. (ang)