Oleh: Anton Mihardjo
SEPERTI hari kemarin, hari ini masih ada yang menanyakan apa yang terjadi di Agape-Minut, dengan pertanyaan yg sama itu mushola atau Balai Pertemuan yang dirusak?
Sekali lagi, saya tidak ingin terjebak pada pengistilahan suatu tempat yang dijadikan tempat ibadah.
Lama perdebatannya, tak ada ujung, dan akhirnya tidak menjawab akar masalah
Saya hanya ingin mempertegas, saat ini negara lemah dan cenderung lalai melindungi kebebasan beragama warganya. Itu terjadi hampir di semua tempat: penutupan gereja, pura, mushola, dan lain-lain.
Di survei SMRC, Juni 2019, menemukan adanya tren kenaikan penilaian warga merasa tidak bebas atau takut menjalankan keyakinan agamanya. ada 25% warga menyatakan seperti itu. Angka yang cukup tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Warga terjebak dan tergiring dalam perang opini, tidak ada izinlah, tidak ada IMB-lah, gereja liar, pura liar, balai pertemuan umum, dan beragam istilah yang membosankan.
Semua itu mengaburkan fakta sesungguhnya: bahwa ada sekelompok warga yang tidak bisa menjalankan ritual agamanya hanya karena terbelit dan sengaja dibelit perizinan yang diciptakan negara.
Di semua tempat, entah itu gereja, pura, dan mushola yang mengalami perusakan/penutupan selalu sama isunya, Tidak ada izin..!
Kasus pembakaran gereja di Singkil- Aceh, pelarangan pendirian gereja di Yogya, dan perusakan yang terjadi di Agape Minut akan terus terjadi bila negara tidak tegas.
Selain itu, juga diperumit dengan masalah izin mendirikan rumah ibadah
Makin berbelit akan semakin melahirkan kesulitan.
Saya meyakini kerumitan itu tidak berdiri sendiri, ada usaha tuk menjegal keluarnya izin mendirikan rumah ibadah. Hal itu terjadi di mana-mana.
Apa yang terjadi di Agape-Minut, GKI-Yasmin di bogor, dan di tempat lain masalahnya sama, izin berbelit dan sengaja diperlama yang kemudian melahirkan tafsir berbeda di warga.
Ketika tafsir pendirian rumah ibadah ‘diserahkan’ pada warga, ujungnya terjadi penolakan dan perusakan. Korbannya adalah warga.
Termasuk mereka yang dijadikan tersangka perusakan: korban dari ketidaktahuan dan kegamangan negara.
Perizinan rumah ibadah di semua tempat yang bermasalah, bukan karena administrasi semata, tapi di situ terjadi kalkulasi politik.
Pemerintah, dan politisi di semua level (pusat sampai desa) terjebak pada hitungan untung-rugi, takut kehilangan dukungan, takut bersuara dan kemudian terjebak pada hitungan mayoritas dan minoritas.
Seharusnya kita yang peduli dengan urusan kebebasan beragama, bersuara dan mendorong negara tuk menyederhanakan tetek-bengek perzinan mendirikan rumah ibadah karena itulah sumber masalah yang terjadi hari ini.
Itu semua PR terbesar dari Presiden Joko Widodo.
(***/Penulis merupakan Tokoh Masyarakat)