Tjandra Irawan, Direktur Indonesia Economic Development Studies (IEDS)
Solusi mengatasi krisis pangan, terutama pada sektor kedelai, yang dilontarkan menteri perdagangan Gita Wirjawan dengan menghapuskan semua hambatan impor dan membebaskan komoditi tersebut masuk ke Indonesia patut dikritisi serius. Apalagi kebijakan ini diambil berdasarkan hasil pertemuan dengan Wapres Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa dan Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Selasa (3/9).
Padahal kebijakan yang tergantung impor ini, sudah dikritik banyak kalangan, baik para produsen tempe dan tahu yang berencana akan gelar aksi mogok nasional tanggal 9 September sampai dengan 11 September 2013, juga sejumlah ekonom dan pemerhati pangan.
Menteri Perdagangan menyatakan bahwa gejolak harga kedelai yang ada saat ini disebabkan dua hal, yaitu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan kenaikan harga kedelai di Amerika Serikat, sementara mayoritas impor kedelai Indonesia dari negara tersebut.
Adapun menteri pertanian Suswono menyatakan bahwa stabilitas harga kedelai dalam jangka pendek hanya bisa dicapai lewat impor. Hal ini menegaskan bahwa ketergantungan impor sudah sangat parah di republik ini.
Sebelum kisruh soal kedelai ini, publik juga sudah menyaksikan bagaimana pemerintah gagap dalam mengatasi krisis kebutuhan pangan lainnya dari daging sapi, bawang, cabe hingga garam!
Ketergantungan Impor
Solusi-solusi instan dan bersifat reaksioner tanpa visi perencananan yang jelas terkait arah kebijakan perdagangan dan pertanian Indonesia ini semakin menjelaskan pada publik bahwa Gita Wirjawan dan Tim Ekonomi kabinet SBY-Boediono saat ini mengambil kebijakan dalam keadaan panik.
Padahal fakta bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini salah satunya diakibatkan defisit neraca antara ekspor dan impor. Hingga periode Januari-Juni 2013, defisit neraca keuangan mencapai sekitar US$ 3 miliar. Dimana nilai impor periode itu mencapai US$ 94,36 miliar, sedangkan ekspor hanya mencapai US$ 91,05 miliar. Adapun nilai tukar rupiah semakin anjlok pada posisi Rp 11.474 per dolar AS.
Jika solusi instan ketergantungan impor masih menjadi pilihan utama pemerintah maka terdapat tiga dampak yang akan terjadi secara simultan.
Pertama, defisit neraca perdagangan antara impor dan ekspor yang sudah mencapai angka US$ 3 miliar akan semakin melebar. Dengan demikian akan berdampak pada dunia usaha yang makin terhimpit, sebab saat ini 70% bahan baku industri masih tergantung dari impor. Bukan tidak mungkin akan terjadi PHK missal akibat ambruknya sektor industri nasional.
Kedua, pembukaan kran impor secara masif ini juga bertentangan dengan rencana pemerintah untuk memberikan relaksasi ekspor sebagaimana disampaikan kementrian keuangan. Relaksasi ekspor yang dipahami adalah bagaimana menekan impor dan memberi stimulus pada sektor ekspor dengan memberi sejumlah kemudahan pada para pengusaha, diantaranya menghilangkan birokrasi yang panjang dan korup, bea masuk dan kuota ekspor.
Ketiga, kebijakan memuluskan impor juga akan mematikan sektor-sektor industri dan pertanian di dalam negeri. Faktanya dengan dengan harga penbelian pemerintah (HPP) atas komoditas kedelai saat ini saja, membuat para petani dan produsen kedelai, juga pengusaha tempe dan tahu menjerit. Karena di pasaran harga kedelai mencapai Rp 9.200 per kilogram untuk kualitas standar, sementara kualitas terbaik Rp 10.000 per kilogram.
Fondasi Yang Rapuh
Dengan postulasi ekonomi Indonesia saat ini yang sedang dihantam krisis finansial, ditambah dengan kebijakan ekonomi yang masih bersandarkan pada tiga landasan rapuh yaitu impor yang mencapai 70%, utang luar negeri yang sudah tembus Rp 2.100 triliun, serta ketergantungan pada ekspor bahan mentah, maka dapat dipastikan, pilihan membuka lebar kran impor bukanlah solusi strategis. Apalagi cadangan devisa negara saat ini makin tergerus, diperkirakan hingga akhir Agustus 2013 tersisa US$ 90 miliar.
Dengan kata lain, ekonomi Indonesia terancam ambruk!.
Inilah buah dari pilihan menggunakan ekonomi pasar yang liberal sebagai kompas pembangunan ekonomi politik Indonesia, serta diabaikannya landasan ekonomi Pancasila dan UUD 1945 yang sudah diwariskan para pendiri bangsa (founding father). Pengabaian yang menjadikan neraca keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia makin timpang.
Kembali ke Konstitusi
Karena itulah, mengembalikan pondasi ekonomi pembangunan Indonesia kembali pada cita-cita Proklamasi 1945, nilai-nilai luhur Pancasila, serta konstitusi UUD 1945 dengan dilandasi semangat gotong royong dan “berdikari” menjadi suatu keharusan.
Krisis pangan dan finasial yang melanda Indonesia saat ini dengan jelas merobohkan keyakinan-keyakinan ekonomo neoliberal yang sangat percaya dengan sistem pasar bebas dan ekonomi kapitalistik. Masih tersedia waktu untuk berubah dan bergerak membawa bangsa ini sebagai bangsa besar yang berdaulat atas ekonomi, politik dan kebudayaannya. Sebelum bangsa dan negara ini kolaps. (*)
Tjandra Irawan, Direktur Indonesia Economic Development Studies (IEDS)
Solusi mengatasi krisis pangan, terutama pada sektor kedelai, yang dilontarkan menteri perdagangan Gita Wirjawan dengan menghapuskan semua hambatan impor dan membebaskan komoditi tersebut masuk ke Indonesia patut dikritisi serius. Apalagi kebijakan ini diambil berdasarkan hasil pertemuan dengan Wapres Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa dan Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Selasa (3/9).
Padahal kebijakan yang tergantung impor ini, sudah dikritik banyak kalangan, baik para produsen tempe dan tahu yang berencana akan gelar aksi mogok nasional tanggal 9 September sampai dengan 11 September 2013, juga sejumlah ekonom dan pemerhati pangan.
Menteri Perdagangan menyatakan bahwa gejolak harga kedelai yang ada saat ini disebabkan dua hal, yaitu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan kenaikan harga kedelai di Amerika Serikat, sementara mayoritas impor kedelai Indonesia dari negara tersebut.
Adapun menteri pertanian Suswono menyatakan bahwa stabilitas harga kedelai dalam jangka pendek hanya bisa dicapai lewat impor. Hal ini menegaskan bahwa ketergantungan impor sudah sangat parah di republik ini.
Sebelum kisruh soal kedelai ini, publik juga sudah menyaksikan bagaimana pemerintah gagap dalam mengatasi krisis kebutuhan pangan lainnya dari daging sapi, bawang, cabe hingga garam!
Ketergantungan Impor
Solusi-solusi instan dan bersifat reaksioner tanpa visi perencananan yang jelas terkait arah kebijakan perdagangan dan pertanian Indonesia ini semakin menjelaskan pada publik bahwa Gita Wirjawan dan Tim Ekonomi kabinet SBY-Boediono saat ini mengambil kebijakan dalam keadaan panik.
Padahal fakta bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini salah satunya diakibatkan defisit neraca antara ekspor dan impor. Hingga periode Januari-Juni 2013, defisit neraca keuangan mencapai sekitar US$ 3 miliar. Dimana nilai impor periode itu mencapai US$ 94,36 miliar, sedangkan ekspor hanya mencapai US$ 91,05 miliar. Adapun nilai tukar rupiah semakin anjlok pada posisi Rp 11.474 per dolar AS.
Jika solusi instan ketergantungan impor masih menjadi pilihan utama pemerintah maka terdapat tiga dampak yang akan terjadi secara simultan.
Pertama, defisit neraca perdagangan antara impor dan ekspor yang sudah mencapai angka US$ 3 miliar akan semakin melebar. Dengan demikian akan berdampak pada dunia usaha yang makin terhimpit, sebab saat ini 70% bahan baku industri masih tergantung dari impor. Bukan tidak mungkin akan terjadi PHK missal akibat ambruknya sektor industri nasional.
Kedua, pembukaan kran impor secara masif ini juga bertentangan dengan rencana pemerintah untuk memberikan relaksasi ekspor sebagaimana disampaikan kementrian keuangan. Relaksasi ekspor yang dipahami adalah bagaimana menekan impor dan memberi stimulus pada sektor ekspor dengan memberi sejumlah kemudahan pada para pengusaha, diantaranya menghilangkan birokrasi yang panjang dan korup, bea masuk dan kuota ekspor.
Ketiga, kebijakan memuluskan impor juga akan mematikan sektor-sektor industri dan pertanian di dalam negeri. Faktanya dengan dengan harga penbelian pemerintah (HPP) atas komoditas kedelai saat ini saja, membuat para petani dan produsen kedelai, juga pengusaha tempe dan tahu menjerit. Karena di pasaran harga kedelai mencapai Rp 9.200 per kilogram untuk kualitas standar, sementara kualitas terbaik Rp 10.000 per kilogram.
Fondasi Yang Rapuh
Dengan postulasi ekonomi Indonesia saat ini yang sedang dihantam krisis finansial, ditambah dengan kebijakan ekonomi yang masih bersandarkan pada tiga landasan rapuh yaitu impor yang mencapai 70%, utang luar negeri yang sudah tembus Rp 2.100 triliun, serta ketergantungan pada ekspor bahan mentah, maka dapat dipastikan, pilihan membuka lebar kran impor bukanlah solusi strategis. Apalagi cadangan devisa negara saat ini makin tergerus, diperkirakan hingga akhir Agustus 2013 tersisa US$ 90 miliar.
Dengan kata lain, ekonomi Indonesia terancam ambruk!.
Inilah buah dari pilihan menggunakan ekonomi pasar yang liberal sebagai kompas pembangunan ekonomi politik Indonesia, serta diabaikannya landasan ekonomi Pancasila dan UUD 1945 yang sudah diwariskan para pendiri bangsa (founding father). Pengabaian yang menjadikan neraca keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia makin timpang.
Kembali ke Konstitusi
Karena itulah, mengembalikan pondasi ekonomi pembangunan Indonesia kembali pada cita-cita Proklamasi 1945, nilai-nilai luhur Pancasila, serta konstitusi UUD 1945 dengan dilandasi semangat gotong royong dan “berdikari” menjadi suatu keharusan.
Krisis pangan dan finasial yang melanda Indonesia saat ini dengan jelas merobohkan keyakinan-keyakinan ekonomo neoliberal yang sangat percaya dengan sistem pasar bebas dan ekonomi kapitalistik. Masih tersedia waktu untuk berubah dan bergerak membawa bangsa ini sebagai bangsa besar yang berdaulat atas ekonomi, politik dan kebudayaannya. Sebelum bangsa dan negara ini kolaps. (*)