Manado, BeritaManado.com– Major Nine Grup Kolintang asal Minahasa memukau para juri dan penonton di ajang pencarian bakat Indonesia Got Talent 2023, Senin (19/6/2023).
Sembilan orang pemuda asal Sulawesi Utara ini, sukses mengubah aransemen lagu Lexicon karya Isyana Sarasvati dan Band Metal Deadsquad, dengan nuansa musik etnik tradisional khas musik kolintang.
Sontak penampilan epik grup Major Nine tersebut disambut tepuk tangan meriah para penonton diikuti oleh standing ovation oleh empat juri Indonesia Got Talent 2023.
“Di Sulawesi Utara sendiri musik kolintang biasanya diperdengarkan dalam acara-acara seremonial dan penyambutan tamu-tamu, dan biasanya membawakan lagu daerah. Namun seiring perkembangan jaman beberapa grup Kolintang di Minahasa saat ini sering menggubah aransemen musik modern dengan aransemen alat musik kolintang agar dapat diterima segala kalangan,” kata Arsys Sumalu, salah satu punggawanya Grup Kolintang Major Nine kepada BeritaManado.com.
Nah, BeritaManado.com mencoba merangkum beberapa fakta sejarah tentang alat musik kolintang khas Sulawesi Utara ini yang mungkin belum banyak diketahui.
Kolintang adalah salah satu alat musik tradisional masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara. Alat musik ini terbuat dari kayu khusus yang disusun dan dimainkan dengan cara dipukul.
Kata “kolintang” berasal dari bunyi “tong” untuk nada rendah, “ting” untuk nada tinggi, dan “tang” untuk nada tengah. Dahulu, orang Minahasa biasanya mengajak bermain kolintang dengan mengatakan “Mari kita ber Tong Ting Tang” atau dalam bahasa daerah Minahasa “Maimo Kumolintang”. Dari kebiasaan itulah muncul istilah “kolintang”.
Alat musik kolintang pada awalnya hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya yang duduk di tanah, dengan posisi kedua kaki lurus ke depan. Dari waktu ke waktu, penggunaan kaki pemain diganti dengan dua batang pisang. Sementara peti resonator baru mulai digunakan sejak kedatangan Pangeran Diponegoro di Minahasa pada tahun 1830.
Dahulu, kolintang hanya terdiri dari satu melodi yang terdiri dari susunan nada diatonis, dengan jarak nada dua oktaf. Sebagai pengiring, digunakan alat-alat musik bersenar seperti gitar, ukulele dan bas. Namun pada tahun 1954, kolintang sudah memiliki jarak nada dua setengah oktaf dan masih tetap memiliki susunan nada diatonis.
Cerita Rakyat Asal-usul Alat Musik Kolintang.
Dahulu kala, ada sebuah desa yang indah bernama To Un Rano yang sekarang dikenal dengan nama Tondano. Di desa yang terletak di daerah Minahasa ini, ada seorang gadis yang kecantikannya sudah tersohor ke seluruh pelosok desa. Makanya, banyak pemuda yang jatuh hati. Sang gadis bernama Lintang, pandai menyanyi, dan suaranya pun nyaring serta merdu.
Pada suatu waktu, sebuah pesta muda-mudi diselenggarakan di desa To Un Rano. Saat itu muncullah seorang pemuda gagah dan tampan yang kemudian berkenalan dengan Lintang. Adalah Makasiga, pemuda yang memiliki keahlian di bidang ukir-ukiran. Makasiga kemudian meminang Lintang, yang diterima dengan satu syarat, yaitu: Makasiga harus mencari alat musik yang bunyinya lebih merdu dari seruling emas.
Lalu, Makasiga berkelana keluar-masuk hutan untuk mencari alat musik yang diinginkan Lintang. Untuk menghangatkan badan di malam hari, Makasiga membelah-belah kayu untuk kemudian dijemurnya. Setelah kering, belahan-belahan kayu itu lalu diambil satu persatu dan dilemparkannya ke tempat lain.
Saat belahan-belahan kayu jatuh membentur tanah, terdengar bunyi-bunyian yang amat nyaring dan merdu. Makasiga senang bukan kepalang. Sementara di tempat lain, dua orang pemburu juga mendengar bunyi-bunyian itu sehingga mencari sumbernya.
Deidy Wuisan