Ratahan, BeritaManado.com — Minahasa Tenggara Corruption Watch (MTCW) menduga aktivitas pertambangan emas yang dilakukan oleh PT Hakkian Wellem Rumansi (HWR) tak sesuai dengan UU No. 4 tahun 2009, sebagaimana telah diubah dalam UU No. 3 tahun 2020 tentang pertambangan.
Hal itu disampaikan Ketua MTCW Jefry Oding Rantung dalam keterangan persnya, Rabu (7/9/2022).
Menurutnya aktivitas pertambangan oleh HWR saat ini sering dimatikan dengan persoalan pencaplokkan lahan milik rakyat yang diklaim dan dieksploitasi secara sepihak oleh management.
“Kami mempertanyakan eksistensi PT. HWR, karena menurut kronologis yang diceritakan pemilik lahan jika management PT. HWR dalam melakukan aktivitas telah overlap, sampai lahan milik warga pun disikat,” tegas Jefry Oding Rantung.
Menurutnya, tindakan penyerobotan management PT. HWR perlu dipertanyakan, sebab jika mendengar keluhan pemilik lahan, arogansi pihak perusahaan itu sudah tak menghormati hak-hak rakyat.
Ia menambahkan, dasar Penyerobotan lahan menurut alasan management adalah lahan yang pernah dibebaskan oleh PT. Newmont Minahasa Raya tahun 1992.
Padahal jika mengacu dari dasar kepemilikan warga sebagaimana yang tersirat dalam surat kepemilikan Akta Jual Beli (AJB) yang ditandatangani oleh PPATs tahun 2014.
“Berarti menurut hemat kami jika lahan tersebut adalah benar sudah hak milik warga masyarakat, karena sudah melalui legalitas dan teregister secara sah dari desa sampai ke PPATs,” tegasnya.
Berdasar dari hal ini, MTCW ingin mendesak pihak Kementerian Energi dan SDM agar memberikan penjelasan hukum posisi perusahaan pemegang IUP atas lahan yang pernah dibebaskan oleh PT. Newmont Minahasa Raya.
Apakah juga mempunyai legalitas yang sama jika dimanfaatkan oleh pihak perusahaan yang lain?
“Ada kerancuan yang sangat kentara atas legalitas Perusahaan Tambang melakukan eksplorasi diatas lahan, bekas pinjam pakai dengan perusahaan lain berakhir yang notabene kontrak karyanya sudah dijadikan objek eksplorasi oleh perusahaan lain,” nilai MTCW.
Lebih lanjut, salah satu prasyarat dari aktivitas eksplorasi tambang adalah pembebasan lahan jika lokasi IUP nya terletak pada lahan milik warga.
Mengingat juga lahan yang diduga dicaplok oleh PT. HWR adalah lahan yang tidak pernah dibebaskan oleh pihak manapun, termasuk oleh pihak PT. Newmont Minahasa Raya.
Namun kata Rantung bagi PT. HWR mereka memiliki dokumen resmi sebagaimana yang diperlihatkan pada MTCW.
“Hal ini adalah bentuk arogansi dari pihak PT. HWR di Ratatotok,” sesal Rantung.
Pihaknya juga mendesak pihak Kementerian ESDM sebagai pemegang otoritas dalam mengeluarkan IUP untuk dapat melakukan penyelidikan sesuai kewenangan yang di amanatkan UU.
Jika terdapat indikasi penyalahgunaan fungsi dan legalitas yang dilakukan PT. HWR, maka MTCW mendesak agar IUP PT. HWR dapat dievaluasi dan jika memungkinkan dicabut oleh Kementerian Energi dan SDM.
Hingga saat ini, pihak PT HWR belum dapat dikonfirmasi perihal atas dugaan yang disampaikan oleh MTCW terkait aktivitas pertambangan.
(***/Hendra Usman)