Oleh: Ferlansius Pangalila (Sabda Palon Institute, Jakarta)
DAFTAR pemilih, bagaikan benda pusaka yang sangat bermanfaat bagi peserta pemilu. Bermanfaat, karena peserta pemilu dapat melihat secara langsung daftar nama siapa saja yang ada di daerah pemilihan (dapil) nya yang akan berpotensi memilihnya pada saat pemilu nanti. Dengan mengetahui siapa saja yang masuk dalam daftar pemilih, maka akan sangat mudah menentukan strategi apa yang tepat untuk digunakan di dapil tersebut berdasarkan potensi pemilih yang ada.
Karakteristik pemilih dan bahkan kecendrungan minat pemilih akan sangat mudah ditebak dengan memetahkan pemilih berdasarkan daftar pemilih tersebut. Maka sangat tidak berlebihan jika dikatakan bahwa daftar pemilih adalah pusaka yang sangat berharga bagi peserta pemilu terlebih bagi partai politik dan para calon anggota legislatif. Lantas bagaimana jika ada pendukung/potensi pemilih kita tetapi tidak masuk dalam Daftar Pemilih?
Di sisi lain, daftar pemilih seringkali dijadikan barang bukti oleh berbagai pihak dalam sengketa pemilu, kebanyakan dalam sengketa hasil perolehan suara pemilu di tingkat Mahkamah Konstitusi. Daftar pemilih seakan menjadi bukti kuat terjadinya berbagai pelanggaran pemilu, entah hanya sebagai pelanggaran administrasi, sengketa pemilu atau bahkan tindak pidana pemilu.
Pihak tertentu sering diduga dengan sengaja menghilangkan hak memilih warga negara, atau mungkin sebaliknya mendata dan memasukan nama-nama fiktif sebagai pemilih dalam daftar pemilih. Hal ini terjadi untuk kepentingan memenangkan calon-calon tertentu. Tentunya tanpa kesadaran dan pengawasan yang benar, semua kemungkinan ini dapat terjadi.
Hak konstitusi adalah hak asasi warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak memilih dan dipilih adalah hak konstitusi warga negara. Oleh karenanya negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak konstitusi ini. Bentuk kewajiban negara ini yakni adanya perlindungan hak asasi manusia (HAM); adanya peradilan yang bebas; dan atas dasar hukum (asas legalitas). Ketiga kewajiban ini adalah juga jaminan sebagai bentuk negara demokrasi.
Jaminan akan adanya perlakuan dan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Secara konstitusi pemilu adalah bentuk pengakuan negara terhadap adanya hak asasi warga negara untuk dipilih dan untuk memilih. Negara memberikan kesempatan yang sama kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dengan mengajukan dirinya sendiri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, DPD dan bahkan Presiden dan Wakil Presiden atau dengan Gubernur/Walikota/Bupati dan pasangannya masing-masing. Selain itu setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan pilihannya (memilih) secara bebas dalam penyelenggaraan pemilu.
Tentunya jaminan ini diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Oleh karenanya, seakan ada pergeseran pembatasan hak pilih. Yang awalnya dalam konstitusi, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Dalam aturan lebih lanjut yakni dalam undang-undang pemilihan umum, diatur pembedaan dan pembatasan mengenai hak pilih ini.
Ternyata, tidak segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Tidak segala warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Apabila ada warga negara yang hendak mengajukan diri sebagai calon legislatif atau calon eksekutif, ada banyak persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang harus dia penuhi. Demikian pula dengan hak memilih, ternyata tidak semua warga negara dapat menggunakan hak memilih karena pembatasan dan persyaratan oleh undang-undang yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Pembatasan hak konstitusi ini yang diatur di dalam undang-undang adalah merupakan syarat administrasi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar hak konstitusi kita tidak hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali. Hak pilih adalah hak memilih dan hak dipilih. Semua warga negara yang mempunyai hak dipilih pasti sekaligus mempunyai hak memilih. Tetapi karena ketentuan juga, tidak semua warga negara yang mempunyai hak memilih sekaligus juga mempunyai hak dipilih.
Mestinya sesuai dengan konstitusi hak pilih mempunyai kesamaan kedudukannya di dalam hukum. entah sebagai hak dipilih atau hak memilih. Setiap warga negara yang telah berumur 17 tahun keatas atau pernah menikah, mempunyai hak pilih. Kecuali oleh pengadilan hak pilihnya telah dicabut, dan atau secara medis yang bersangkutan cacat mental maka hak memilihnya gugur. Pidana korupsi atau pidana lainnya dapat menghilangkan hak dipilih? apakah korupsi termasuk pembatasan hak pilih? Masih dalam perdebatan.
Jika kita memahami pembedaan yang diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hak memilih memiliki pembatasan-pembatasan yang bersifat administratif, atau lebih cocok disebut sebagai persyaratan administrasi pemilih. Warga negara walau secara konstitusi dijamin haknya untuk dapat memilih dalam pemilihan umum yang merupakan sarana kedaulatan rakyat, tetapi dengan adanya aturan ini, maka hak konstitusi itu dibatasi.
Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak memilih harus memenuhi pernyaratan administrasi yakni tercatat dalam daftar pemilih dan Harus mempunyai KTP Elektronik. Pemilih didata dan dimasukan dalam daftar pemilih oleh penyelenggara pemilu pada masa pendataan dan pendaftaran pemilih. Pendataan dan pendaftaran Pemilih akan sangat membantu penyelenggara pemilu dalam mengelolah dan mengatur (management) pemilu terlebih di hari pemungutan suara nanti. Pemilih yang tersebar akan dikelompokan dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang semaksimal mungkin dapat diakses dengan mudah oleh pemilih karena faktor jarak yang dekat dengan rumah tinggal pemilih, dibuat senyaman mungkin sehingga pemilih dapat menggunakan hak memilihnya secara lansung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Warga negara yang tidak terdata dan tidak masuk dalam daftar pemilih, dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara asalkan yang bersangkutan memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Pengecualian tidak terdaftar sekaligus juga sebagai Pembatasan hak konstitusi memilih menjadi lebih jelas dan tajam, dimana berdasarkan undang-undang pemilu ini, tidak segala warga negara bersamaan kedudukannya dapat mempunyai hak memilih, karena kepemilikan KTP Elektronik.
Warga negara yang tidak memiliki KTP Elektronik tidak dapat memilih pada hari pemungutan suara. Hal ini sebenarnya mengancam demokrasi yang sementara kita bangun saat ini. Karena saat ini tidak sedikit warga negara belum memiliki KTP Elektronik. Ada begitu banyak warga negara yang memang belum melakukan perekaman KTP Elektronik; ada yang belum mendapatkatkan KTP Elektronik walau telah melakukan perekaman; dan berbagai macam permasalahan yang membelit KTP Elektronik, mulai tidak tersedianya blangko sampai termasuk permasalahan hukum. Hal ini akan menjadi permasalahan konstitusional di kemudian hari.
Apakah hanya dengan tidak memiliki KTP Elektronik lantas serta merta seorang warga negara kehilangan hak konstitusi, dalam hal ini hak memilih? Mestinya Hak Konstitusi adalah hak asasi warga negara yang tidak dapat dibatasi apalagi dikurangi dalam kondisi apapun. Sejauh syarat itu dapat ditolerir sebagai bentuk pengaturan yang lebih menjamin rasa adil warga masyarakat, pengaturan lebih lanjut soal hak konstitusi dapat diterima secara rasional. Tetapi apabila pengaturan lebih lanjut justru meniadakan hak konstitusi warga negara, harusnya dicarikan solusi yang tepat dan adil bukan peniadaan hak konstitusi tersebut.
Mengenai Hak memilih warga negara yang diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu ditinjau kembali terlebih pada syarat administrasi adanya kewajiban bagi warga negara untuk memperoleh hak memilih pada hari pemungutan suara harus memiliki KTP elektronik terlebih dahulu. Barangkali perlu solusi yang lebih bijak bahwa KTP elektronik mungkin bukan satu-satunya persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh warga negara untuk dapat memilih, melainkan ada hal atau cara lain yang dapat dipenuhi olehnya sehingga hak konstitusinya dapat tersalurkan.
Apakah tidak terlalu arogan dan inkonstitusional, ketika Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU menghapus ratusan ribu warga negara dari daftar pemilih hanya karena belum memiliki KTP elektronik? Memang sulit untuk menuduh atau menyalahkan Penyelenggara Pemilu terlebih KPU, karena KPU hanya sebagai alat untuk melaksanakan undang-undang dalam hal ini undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Tetapi perlu diingat bahwa Pemilihan Umum adalah Sarana Kedaulatan Rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih, maka dengan menghilangkan hak memilih satu saja warga negara Indonesia sama saja dengan melakukan penghianatan terhadap: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar”.
Tomohon, 19 Juni 2018
Oleh: Ferlansius Pangalila (Sabda Palon Institute, Jakarta)
DAFTAR pemilih, bagaikan benda pusaka yang sangat bermanfaat bagi peserta pemilu. Bermanfaat, karena peserta pemilu dapat melihat secara langsung daftar nama siapa saja yang ada di daerah pemilihan (dapil) nya yang akan berpotensi memilihnya pada saat pemilu nanti. Dengan mengetahui siapa saja yang masuk dalam daftar pemilih, maka akan sangat mudah menentukan strategi apa yang tepat untuk digunakan di dapil tersebut berdasarkan potensi pemilih yang ada.
Karakteristik pemilih dan bahkan kecendrungan minat pemilih akan sangat mudah ditebak dengan memetahkan pemilih berdasarkan daftar pemilih tersebut. Maka sangat tidak berlebihan jika dikatakan bahwa daftar pemilih adalah pusaka yang sangat berharga bagi peserta pemilu terlebih bagi partai politik dan para calon anggota legislatif. Lantas bagaimana jika ada pendukung/potensi pemilih kita tetapi tidak masuk dalam Daftar Pemilih?
Di sisi lain, daftar pemilih seringkali dijadikan barang bukti oleh berbagai pihak dalam sengketa pemilu, kebanyakan dalam sengketa hasil perolehan suara pemilu di tingkat Mahkamah Konstitusi. Daftar pemilih seakan menjadi bukti kuat terjadinya berbagai pelanggaran pemilu, entah hanya sebagai pelanggaran administrasi, sengketa pemilu atau bahkan tindak pidana pemilu.
Pihak tertentu sering diduga dengan sengaja menghilangkan hak memilih warga negara, atau mungkin sebaliknya mendata dan memasukan nama-nama fiktif sebagai pemilih dalam daftar pemilih. Hal ini terjadi untuk kepentingan memenangkan calon-calon tertentu. Tentunya tanpa kesadaran dan pengawasan yang benar, semua kemungkinan ini dapat terjadi.
Hak konstitusi adalah hak asasi warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak memilih dan dipilih adalah hak konstitusi warga negara. Oleh karenanya negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak konstitusi ini. Bentuk kewajiban negara ini yakni adanya perlindungan hak asasi manusia (HAM); adanya peradilan yang bebas; dan atas dasar hukum (asas legalitas). Ketiga kewajiban ini adalah juga jaminan sebagai bentuk negara demokrasi.
Jaminan akan adanya perlakuan dan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Secara konstitusi pemilu adalah bentuk pengakuan negara terhadap adanya hak asasi warga negara untuk dipilih dan untuk memilih. Negara memberikan kesempatan yang sama kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dengan mengajukan dirinya sendiri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, DPD dan bahkan Presiden dan Wakil Presiden atau dengan Gubernur/Walikota/Bupati dan pasangannya masing-masing. Selain itu setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan pilihannya (memilih) secara bebas dalam penyelenggaraan pemilu.
Tentunya jaminan ini diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Oleh karenanya, seakan ada pergeseran pembatasan hak pilih. Yang awalnya dalam konstitusi, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Dalam aturan lebih lanjut yakni dalam undang-undang pemilihan umum, diatur pembedaan dan pembatasan mengenai hak pilih ini.
Ternyata, tidak segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Tidak segala warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Apabila ada warga negara yang hendak mengajukan diri sebagai calon legislatif atau calon eksekutif, ada banyak persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang harus dia penuhi. Demikian pula dengan hak memilih, ternyata tidak semua warga negara dapat menggunakan hak memilih karena pembatasan dan persyaratan oleh undang-undang yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Pembatasan hak konstitusi ini yang diatur di dalam undang-undang adalah merupakan syarat administrasi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar hak konstitusi kita tidak hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali. Hak pilih adalah hak memilih dan hak dipilih. Semua warga negara yang mempunyai hak dipilih pasti sekaligus mempunyai hak memilih. Tetapi karena ketentuan juga, tidak semua warga negara yang mempunyai hak memilih sekaligus juga mempunyai hak dipilih.
Mestinya sesuai dengan konstitusi hak pilih mempunyai kesamaan kedudukannya di dalam hukum. entah sebagai hak dipilih atau hak memilih. Setiap warga negara yang telah berumur 17 tahun keatas atau pernah menikah, mempunyai hak pilih. Kecuali oleh pengadilan hak pilihnya telah dicabut, dan atau secara medis yang bersangkutan cacat mental maka hak memilihnya gugur. Pidana korupsi atau pidana lainnya dapat menghilangkan hak dipilih? apakah korupsi termasuk pembatasan hak pilih? Masih dalam perdebatan.
Jika kita memahami pembedaan yang diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hak memilih memiliki pembatasan-pembatasan yang bersifat administratif, atau lebih cocok disebut sebagai persyaratan administrasi pemilih. Warga negara walau secara konstitusi dijamin haknya untuk dapat memilih dalam pemilihan umum yang merupakan sarana kedaulatan rakyat, tetapi dengan adanya aturan ini, maka hak konstitusi itu dibatasi.
Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak memilih harus memenuhi pernyaratan administrasi yakni tercatat dalam daftar pemilih dan Harus mempunyai KTP Elektronik. Pemilih didata dan dimasukan dalam daftar pemilih oleh penyelenggara pemilu pada masa pendataan dan pendaftaran pemilih. Pendataan dan pendaftaran Pemilih akan sangat membantu penyelenggara pemilu dalam mengelolah dan mengatur (management) pemilu terlebih di hari pemungutan suara nanti. Pemilih yang tersebar akan dikelompokan dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang semaksimal mungkin dapat diakses dengan mudah oleh pemilih karena faktor jarak yang dekat dengan rumah tinggal pemilih, dibuat senyaman mungkin sehingga pemilih dapat menggunakan hak memilihnya secara lansung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Warga negara yang tidak terdata dan tidak masuk dalam daftar pemilih, dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara asalkan yang bersangkutan memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Pengecualian tidak terdaftar sekaligus juga sebagai Pembatasan hak konstitusi memilih menjadi lebih jelas dan tajam, dimana berdasarkan undang-undang pemilu ini, tidak segala warga negara bersamaan kedudukannya dapat mempunyai hak memilih, karena kepemilikan KTP Elektronik.
Warga negara yang tidak memiliki KTP Elektronik tidak dapat memilih pada hari pemungutan suara. Hal ini sebenarnya mengancam demokrasi yang sementara kita bangun saat ini. Karena saat ini tidak sedikit warga negara belum memiliki KTP Elektronik. Ada begitu banyak warga negara yang memang belum melakukan perekaman KTP Elektronik; ada yang belum mendapatkatkan KTP Elektronik walau telah melakukan perekaman; dan berbagai macam permasalahan yang membelit KTP Elektronik, mulai tidak tersedianya blangko sampai termasuk permasalahan hukum. Hal ini akan menjadi permasalahan konstitusional di kemudian hari.
Apakah hanya dengan tidak memiliki KTP Elektronik lantas serta merta seorang warga negara kehilangan hak konstitusi, dalam hal ini hak memilih? Mestinya Hak Konstitusi adalah hak asasi warga negara yang tidak dapat dibatasi apalagi dikurangi dalam kondisi apapun. Sejauh syarat itu dapat ditolerir sebagai bentuk pengaturan yang lebih menjamin rasa adil warga masyarakat, pengaturan lebih lanjut soal hak konstitusi dapat diterima secara rasional. Tetapi apabila pengaturan lebih lanjut justru meniadakan hak konstitusi warga negara, harusnya dicarikan solusi yang tepat dan adil bukan peniadaan hak konstitusi tersebut.
Mengenai Hak memilih warga negara yang diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu ditinjau kembali terlebih pada syarat administrasi adanya kewajiban bagi warga negara untuk memperoleh hak memilih pada hari pemungutan suara harus memiliki KTP elektronik terlebih dahulu. Barangkali perlu solusi yang lebih bijak bahwa KTP elektronik mungkin bukan satu-satunya persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh warga negara untuk dapat memilih, melainkan ada hal atau cara lain yang dapat dipenuhi olehnya sehingga hak konstitusinya dapat tersalurkan.
Apakah tidak terlalu arogan dan inkonstitusional, ketika Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU menghapus ratusan ribu warga negara dari daftar pemilih hanya karena belum memiliki KTP elektronik? Memang sulit untuk menuduh atau menyalahkan Penyelenggara Pemilu terlebih KPU, karena KPU hanya sebagai alat untuk melaksanakan undang-undang dalam hal ini undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Tetapi perlu diingat bahwa Pemilihan Umum adalah Sarana Kedaulatan Rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih, maka dengan menghilangkan hak memilih satu saja warga negara Indonesia sama saja dengan melakukan penghianatan terhadap: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar”.
Tomohon, 19 Juni 2018