Pilar Demokrasi
(Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Gubernur DKI Jokowi sempat direpotkan oleh kasus Kartu Jakarta Sehat (KJS), yang dipersoalkan sebagian anggota DPRD Jakarta, baru-baru ini. Kartu Jakarta Sehat merupakan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan Pemprov DKI Jakarta, utamanya bagi keluarga miskin dan kurang mampu.
Namun dalam pelaksanaan KJS, banyak masalah kemudian muncul, seperti buruknya sarana dan prasarana rumah sakit, serta pelayanan yang kurang memuaskan pasien. Bahkan sempat ada 14 rumah sakit yang kabarnya akan menggundurkan diri dari program KJS. Belasan rumah sakit tersebut menyatakan merugi sejak KJS diberlakukan. Tema inilah yang menjadi pokok bahasan program Pilar Demokrasi, bersama KBR68H dan Tempo TV, bersama narasumber Achmad Soebagio (Tim Pembuat Tarif Indonesia, National Casemix Center, Kementerian Kesehatan), dan Inang Winarso (Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, PKBI).
Menurut Inang, program KJS adalah gagasan brilian dari Jokowi, program yang langsung bisa dirasakan masyarakat terutama kalangan miskin. Terlebih program kesehatan menjadi salah satu indikator pembangunan manusia. “Bahkan sebenarnya KJS ini bisa diperluas, bukan hanya kalangan miskin tapi seluruh masyarakat DKI untuk dimudahkan mendapat layanan kesehatan,” jelas Inang.
Menurut Achmad, konsep KJS diadopsi dari konsep WHO, yang dikenal sebagai universal health coverage. Tujuannya agar semua penduduk memiliki jaminan kesehatan. Dalam konsep WHO tersebut, yang diutamakan masalah financial protection. “Seberapa besar dana dialokasikan untuk memproteksi, seberapa jauh layanan kesehatan yang diberikan, dan berapa banyak populasi yang akan dicover,” papar Achmad.
Inang menegaskan, ada hal yang prinsipil dalam menjalankan program kesehatan masyarakat. Yaitu berapa populasi yang harusnya ditanggung, yang kemudian disalahartikan oleh sebagian DPRD DKI. Sebetulnya konsep yang utama adalah yang sehat mensubsidi yang sakit, tidak peduli kaya atau miskin. “Nah ini seakan urusannya seolah adalah uang. Prinsip WHO yang ingin tegakkan adalah yang sehat mensubsidi yang sakit. Semakin banyak yang sehat, orang yang sakit memperoleh subsidi besar,” ujar Inang.
Achmad menerangkan, bahwa National Casemix Centre ini sedang mempersiapkan tarif nasional. Jaminan kesehatan nasional yang mulai berlaku Januari 2014 yang dikelola BPJS dan ditetapkan menjadi badan pengelola jaminan sosial bidangkesehatan. “Tapi DKI seperti mendahului melalui program yang ditanggung pemda, menerapkan seperti yang nanti ada di 2014. Tarif sementara yang dikeluhkan 14 RS itu sedang ditelaah untuk dilakukan perbaikan untuk DKI,” terang Achmad.
Inang menyampaikan catatan kritisnya, seharusnya besaran tarif dibuka ke publik. Kalau ada 12 jenis tarif, sebutkan apa yang digunakan, apakah biaya dokter, operasional, dan obat . Karena ini bagian dari riset. “Ternyata ada penggolongan kelas-kelas, itulah yang membuat disparitas harga semakin tidak bisa kita pantau. Ini sebenarnya bagian dari akal-akalan RS agar mendapat keuntungan sebesar-besarnya,” tegas Inang. (*/oke)
Pilar Demokrasi
(Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Gubernur DKI Jokowi sempat direpotkan oleh kasus Kartu Jakarta Sehat (KJS), yang dipersoalkan sebagian anggota DPRD Jakarta, baru-baru ini. Kartu Jakarta Sehat merupakan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan Pemprov DKI Jakarta, utamanya bagi keluarga miskin dan kurang mampu.
Namun dalam pelaksanaan KJS, banyak masalah kemudian muncul, seperti buruknya sarana dan prasarana rumah sakit, serta pelayanan yang kurang memuaskan pasien. Bahkan sempat ada 14 rumah sakit yang kabarnya akan menggundurkan diri dari program KJS. Belasan rumah sakit tersebut menyatakan merugi sejak KJS diberlakukan. Tema inilah yang menjadi pokok bahasan program Pilar Demokrasi, bersama KBR68H dan Tempo TV, bersama narasumber Achmad Soebagio (Tim Pembuat Tarif Indonesia, National Casemix Center, Kementerian Kesehatan), dan Inang Winarso (Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, PKBI).
Menurut Inang, program KJS adalah gagasan brilian dari Jokowi, program yang langsung bisa dirasakan masyarakat terutama kalangan miskin. Terlebih program kesehatan menjadi salah satu indikator pembangunan manusia. “Bahkan sebenarnya KJS ini bisa diperluas, bukan hanya kalangan miskin tapi seluruh masyarakat DKI untuk dimudahkan mendapat layanan kesehatan,” jelas Inang.
Menurut Achmad, konsep KJS diadopsi dari konsep WHO, yang dikenal sebagai universal health coverage. Tujuannya agar semua penduduk memiliki jaminan kesehatan. Dalam konsep WHO tersebut, yang diutamakan masalah financial protection. “Seberapa besar dana dialokasikan untuk memproteksi, seberapa jauh layanan kesehatan yang diberikan, dan berapa banyak populasi yang akan dicover,” papar Achmad.
Inang menegaskan, ada hal yang prinsipil dalam menjalankan program kesehatan masyarakat. Yaitu berapa populasi yang harusnya ditanggung, yang kemudian disalahartikan oleh sebagian DPRD DKI. Sebetulnya konsep yang utama adalah yang sehat mensubsidi yang sakit, tidak peduli kaya atau miskin. “Nah ini seakan urusannya seolah adalah uang. Prinsip WHO yang ingin tegakkan adalah yang sehat mensubsidi yang sakit. Semakin banyak yang sehat, orang yang sakit memperoleh subsidi besar,” ujar Inang.
Achmad menerangkan, bahwa National Casemix Centre ini sedang mempersiapkan tarif nasional. Jaminan kesehatan nasional yang mulai berlaku Januari 2014 yang dikelola BPJS dan ditetapkan menjadi badan pengelola jaminan sosial bidangkesehatan. “Tapi DKI seperti mendahului melalui program yang ditanggung pemda, menerapkan seperti yang nanti ada di 2014. Tarif sementara yang dikeluhkan 14 RS itu sedang ditelaah untuk dilakukan perbaikan untuk DKI,” terang Achmad.
Inang menyampaikan catatan kritisnya, seharusnya besaran tarif dibuka ke publik. Kalau ada 12 jenis tarif, sebutkan apa yang digunakan, apakah biaya dokter, operasional, dan obat . Karena ini bagian dari riset. “Ternyata ada penggolongan kelas-kelas, itulah yang membuat disparitas harga semakin tidak bisa kita pantau. Ini sebenarnya bagian dari akal-akalan RS agar mendapat keuntungan sebesar-besarnya,” tegas Inang. (*/oke)