“Artikel ini kerjasama antar beritamanado dengan KBR68H. sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Usia bukan penghalang untuk terus belajar. Hal ini mendorong sekumpulan ibu-ibu rumah tangga di Gang Pelangi, Rawajati, Jakarta Selatan untuk terus belajar. Di sela-sela pekerjaan rumah , mereka menyempatkan diri mengikuti pendidikan di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC). Sekolah ini memang sekolah nonformal, yang mengajarkan tentangkesetaraan gender, kesehatan reproduksi hingga permasalahan sosial.
SPC merupakan sekolah alternatif yang bertujuan untuk melakukan pendidikan kritis bagi ibu-ibu rumah tangga, terutamadari kaum marginal yang selama ini tidak tersentuh oleh pendidikan formal maupun pendidikan nonformal yang diadakan pemerintah. Aktivitas SPC inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, dari KBR68H dan Tempo TV. Dengan narasumber Sally Astuti Wardhani (Asisten Deputi Gender Bidang Pendidikan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Musriah (Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Misiyah (Direktur Institut Kapal Perempuan) dan Retno (murid SPC).
Misiyah menjelaskan, Kapal Perempuan selaku penggagas SPC, pendidikan ini memang khusus untuk perempuan marginal. Kapal Perempuan mencari wilayah yang marginal secara tempat, ekonomi, informasi dan seterusnya. Di Jakarta tidak mudah untuk mengembangkan sekolah-sekolah seperti ini karena pemerintah daerah belum tentu bisa menerima. “Waktu itu kita sudah mengasses beberapa kelurahan, tetapi hanya sekolah perempuan Ciliwung dan Klender yang bisa menerima,” imbuh Misiyah.
Menurut Musriah, peserta SPC adalah perempuan-perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci, pemulung, berdagang kecil-kecilan, dan ibu rumah tangga yang sehari-hari cuma di rumah. Dengan adanya pendidikan gender, sekarang ada pemahaman perempuan bisa setara dengan lelaki. “Dulu, tanpa pemahaman gender, semuanya dianggapkodrat. Setelah dipelajari, itu semua bukan kodrat, tetapi ada faktor gender,” tutur Musriah.
Retno yang mengaku menjadi murid SPC sejak 2003, bahwa pemahaman keseteraan gender sudah diterapkan dalamkeluarga. Dulu bila ada masalah, selalu suami yang memutuskan. Kini semua masalah selalu didiskusikan, semisal izin berpergian, kalau tujuannya baik kenapa dilarang. “Termasuk pemahaman soal KDRT, saya pelan-pelan menjelaskan pada suami tentang apa itu KDRT. Ada UU-nya, kalau melakukan kekerasan, bisa dilaporkan ke polisi untuk proseshukum,” tambah Retno.
Sally sangat mengapresiasi SPC, yang disebutnya bagian dari kegiatan masyarakat. Satu hal yang sangat positif dan mendukung kegiatan pemberdayaan perempuan terutama di masyarakat yang memang membutuhkan. Masih menurut Sally, itu bisa memperkecil kesenjangan lelaki dan perempuan, di sini akses perempuan Ciliwung sudah mendapat pendidikan. “Meski aksesnya agak sulit,” jelas Sally.
Misiyah membenarkan soal penolakan dari suami soal keberadaan sekolah ini, karena akan terusik status quo-nya. Kemudian lingkungan sekitar, seperti tokoh masyrakat juga mempersoalkan, karena selalu mendiskusikan hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan. Terlebih metode pelajarannya dilakukan dengan memasukan unsur seni,seperti dengan bernyanyi. “Nah ketika bernyanyi malah dianggap Kristenisasi. Kemudian dengan berdrama juga tentang anti poligami, juga ditentang dengan para fundamentalis,” imbuh Misiyah.
“Artikel ini kerjasama antar beritamanado dengan KBR68H. sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Usia bukan penghalang untuk terus belajar. Hal ini mendorong sekumpulan ibu-ibu rumah tangga di Gang Pelangi, Rawajati, Jakarta Selatan untuk terus belajar. Di sela-sela pekerjaan rumah , mereka menyempatkan diri mengikuti pendidikan di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC). Sekolah ini memang sekolah nonformal, yang mengajarkan tentangkesetaraan gender, kesehatan reproduksi hingga permasalahan sosial.
SPC merupakan sekolah alternatif yang bertujuan untuk melakukan pendidikan kritis bagi ibu-ibu rumah tangga, terutamadari kaum marginal yang selama ini tidak tersentuh oleh pendidikan formal maupun pendidikan nonformal yang diadakan pemerintah. Aktivitas SPC inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, dari KBR68H dan Tempo TV. Dengan narasumber Sally Astuti Wardhani (Asisten Deputi Gender Bidang Pendidikan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Musriah (Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Misiyah (Direktur Institut Kapal Perempuan) dan Retno (murid SPC).
Misiyah menjelaskan, Kapal Perempuan selaku penggagas SPC, pendidikan ini memang khusus untuk perempuan marginal. Kapal Perempuan mencari wilayah yang marginal secara tempat, ekonomi, informasi dan seterusnya. Di Jakarta tidak mudah untuk mengembangkan sekolah-sekolah seperti ini karena pemerintah daerah belum tentu bisa menerima. “Waktu itu kita sudah mengasses beberapa kelurahan, tetapi hanya sekolah perempuan Ciliwung dan Klender yang bisa menerima,” imbuh Misiyah.
Menurut Musriah, peserta SPC adalah perempuan-perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci, pemulung, berdagang kecil-kecilan, dan ibu rumah tangga yang sehari-hari cuma di rumah. Dengan adanya pendidikan gender, sekarang ada pemahaman perempuan bisa setara dengan lelaki. “Dulu, tanpa pemahaman gender, semuanya dianggapkodrat. Setelah dipelajari, itu semua bukan kodrat, tetapi ada faktor gender,” tutur Musriah.
Retno yang mengaku menjadi murid SPC sejak 2003, bahwa pemahaman keseteraan gender sudah diterapkan dalamkeluarga. Dulu bila ada masalah, selalu suami yang memutuskan. Kini semua masalah selalu didiskusikan, semisal izin berpergian, kalau tujuannya baik kenapa dilarang. “Termasuk pemahaman soal KDRT, saya pelan-pelan menjelaskan pada suami tentang apa itu KDRT. Ada UU-nya, kalau melakukan kekerasan, bisa dilaporkan ke polisi untuk proseshukum,” tambah Retno.
Sally sangat mengapresiasi SPC, yang disebutnya bagian dari kegiatan masyarakat. Satu hal yang sangat positif dan mendukung kegiatan pemberdayaan perempuan terutama di masyarakat yang memang membutuhkan. Masih menurut Sally, itu bisa memperkecil kesenjangan lelaki dan perempuan, di sini akses perempuan Ciliwung sudah mendapat pendidikan. “Meski aksesnya agak sulit,” jelas Sally.
Misiyah membenarkan soal penolakan dari suami soal keberadaan sekolah ini, karena akan terusik status quo-nya. Kemudian lingkungan sekitar, seperti tokoh masyrakat juga mempersoalkan, karena selalu mendiskusikan hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan. Terlebih metode pelajarannya dilakukan dengan memasukan unsur seni,seperti dengan bernyanyi. “Nah ketika bernyanyi malah dianggap Kristenisasi. Kemudian dengan berdrama juga tentang anti poligami, juga ditentang dengan para fundamentalis,” imbuh Misiyah.