Amurang – Meski telah digelontorkan anggaran nyaris Rp 20 milyar agar suksesnya Pilkada di Minahasa Selatan (Minsel), termasuk didalamnya meningkatkan partisipasi masyarakat melalui sosialisasi-sosialisasi yang digelar pihak KPU Minsel, tentunya anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit jumlahnya.
Tapi tidak demikian, pada kenyatanya meski baru sebatas data quick count atau penghitungan cepat yang diambil dari berbagai sumber seperti desk Pakar dan desk Pemkab Minsel nampak angka golput tinggi yakni sampai menyetuh lebih dari 50 ribu tak terelakan.
Menurut pemerhati politik dan pemerintahan Sulut asal Minsel Ferry Liando saat dikonfirmasi menyampaikan bahwa, ada beberapa indikator terjadinya golput di Minsel.
Pertama, aspek teknis administrasi. Banyak masyarakat tidak datang ke TPS karena namanya tidak terdaftar dalam DPT.
“Sangat penting juga sosialisasi terkait penggunaan KTP dan KK jika tidak terdaftar dalam DPT belum terlaksana dengan baik sehingga belum semua masyarakat mengetahui. Selain itu, penyampaian terkait formulir C6 yaitu surat pemberitahuan kepada pemilih belum juga berjalan efektif sehingga masyarakat yang tidak mendapat C6 tidak mau memilih,” ujar Liando, dosen Fisip Unsrat Manado ini.
Lanjut dia menegaskan, faktor teknis lain adalah terlalu jauh antara TPS dengan rumah penduduk, sehingga warga menjadi malas, dan tentu enggan datang mencoblos.
Kedua, terkait kesadaran masyarakat. Masyarakat kerap lebih memilih bekerja di kebun daripada datang mencoblos. Ketiga faktor politis. Masyarakat kadang tidak percaya dengan janji-janji calon, “bahkan tidak senang dengan para calon atau tidak senang dengan tim sukses. Karena janji-janji elit politik kerap tidak tuntas sepenuhnya,” kata dia.
Liando juga tak menamping, kadang juga ada masyarakat yang pinter, sehingga berkesimpulan saat ia datang di TPS untuk memberi suara, ternyata tidak mempengaruhi kehidupannya. Untuk itulah urung untuk tidak memilih, karena menurutnya tidak ada ada manfaat maupun keuntungan bagi dirinya.
Tapi ada juga masyarakat tergolong pragmatis. Dia tidak memilih karena tidak mendapat serangan fajar dari calon. Apalagi Ia tahu tetangganya dapat tapi dia tidak dapat serangan fajar, maka sudah dapat disimpulkan akan diputuskanya tidak akan memilih, papar Liando. (sanlylendongan)
Amurang – Meski telah digelontorkan anggaran nyaris Rp 20 milyar agar suksesnya Pilkada di Minahasa Selatan (Minsel), termasuk didalamnya meningkatkan partisipasi masyarakat melalui sosialisasi-sosialisasi yang digelar pihak KPU Minsel, tentunya anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit jumlahnya.
Tapi tidak demikian, pada kenyatanya meski baru sebatas data quick count atau penghitungan cepat yang diambil dari berbagai sumber seperti desk Pakar dan desk Pemkab Minsel nampak angka golput tinggi yakni sampai menyetuh lebih dari 50 ribu tak terelakan.
Menurut pemerhati politik dan pemerintahan Sulut asal Minsel Ferry Liando saat dikonfirmasi menyampaikan bahwa, ada beberapa indikator terjadinya golput di Minsel.
Pertama, aspek teknis administrasi. Banyak masyarakat tidak datang ke TPS karena namanya tidak terdaftar dalam DPT.
“Sangat penting juga sosialisasi terkait penggunaan KTP dan KK jika tidak terdaftar dalam DPT belum terlaksana dengan baik sehingga belum semua masyarakat mengetahui. Selain itu, penyampaian terkait formulir C6 yaitu surat pemberitahuan kepada pemilih belum juga berjalan efektif sehingga masyarakat yang tidak mendapat C6 tidak mau memilih,” ujar Liando, dosen Fisip Unsrat Manado ini.
Lanjut dia menegaskan, faktor teknis lain adalah terlalu jauh antara TPS dengan rumah penduduk, sehingga warga menjadi malas, dan tentu enggan datang mencoblos.
Kedua, terkait kesadaran masyarakat. Masyarakat kerap lebih memilih bekerja di kebun daripada datang mencoblos. Ketiga faktor politis. Masyarakat kadang tidak percaya dengan janji-janji calon, “bahkan tidak senang dengan para calon atau tidak senang dengan tim sukses. Karena janji-janji elit politik kerap tidak tuntas sepenuhnya,” kata dia.
Liando juga tak menamping, kadang juga ada masyarakat yang pinter, sehingga berkesimpulan saat ia datang di TPS untuk memberi suara, ternyata tidak mempengaruhi kehidupannya. Untuk itulah urung untuk tidak memilih, karena menurutnya tidak ada ada manfaat maupun keuntungan bagi dirinya.
Tapi ada juga masyarakat tergolong pragmatis. Dia tidak memilih karena tidak mendapat serangan fajar dari calon. Apalagi Ia tahu tetangganya dapat tapi dia tidak dapat serangan fajar, maka sudah dapat disimpulkan akan diputuskanya tidak akan memilih, papar Liando. (sanlylendongan)