Manado – Munculnya klaster baru penyebaran Covid-19 disebabkan karena terjadinya penumpukan massa di suatu wilayah.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut salah satunya adalah aksi-aksi demonstrasi mahasiswa menolak UU Omnibus Law.
Sementara kalangan mahasiswa punya pendapat dan sikap tersendiri terkait hal ini.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI Dr M Adib Khumaidi SpOT mengatakan, peristiwa tersebut mempertemukan ribuan, bahkan puluhan ribu orang yang sebagian besar tidak hanya mengabaikan jarak fisik namun juga tidak mengenakan masker.
Berbagai seruan nyanyian maupun teriakan dari peserta demonstrasi tersebut tentu mengeluarkan droplet dan aerosol yang berpotensi menularkan virus terutama Covid.
“Ditambah banyaknya kemungkinan peserta demonstrasi yang datang dari kota atau wilayah yang berbeda, jika terinfeksi, mereka dapat menyebarkan virus saat kembali ke komunitasnya,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima, baru-baru ini.
Adib menambahkan, bukan tugas sebagai tenaga kesehatan untuk menilai mengapa orang-orang tersebut terlibat dalam demonstrasi.
Dalam hal ini, pihaknya menjelaskan kekuatiran dari sisi medis dan berdasarkan sains.
Terkait hal yang membuat sebuah peristiwa terutama demonstrasi berisiko lebih tinggi daripada aktifitas yang lain.
“Kekuatiran kami sebagai tenaga kesehatan, akan terjadi lonjakan masif yang akan terlihat dalam waktu 1-2 minggu mendatang. Dalam kondisi saat ini saja, para tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sudah kelimpungan menangani jumlah pasien Covid yang terus bertambah,” ujarnya.
Tanggapan Kalangan Mahasiswa
Aksi mahasiswa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja beberapa waktu lalu di depan gedung DPRD Provinsi Sulut dinilai cukup beresiko dari aspek kesehatan.
Karena terjadi penumpukan massa dengan jumlah besar, dan berpotensi menjadi klaster penyebaran Covid-19.
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Cabang Manado Ibnu Wahyu menuturkan, saat aksi Sulut Bergerak Jilid II, dari pimpinan-pimpinan organisasi khususnya HMI MPO sudah mengeluarkan imbauan untuk seluruh kader.
“Agar tetap menggunakan masker, memakai sarung tangan, dan membawa hand sanitizer,” tutur Wahyu.
Wahyu mengatakan, dengan massa yang begitu banyak untuk menerapkan social distancing atau menjaga jarak memang sulit dilakukan.
Maka ada inisiatif dari dari seluruh peserta agar wajib mengenakan masker karena itu yang paling penting.
“Yang disayangkan dari pemerintah dalam situasi Covid-19 seperti ini mereka tetap mengesahkan UU Omnibus Law. Padahal sebelum disahkan RUU Omnibus Law itu sudah ditolak,” ungkap Wahyu.
Dia menambahkan, pemerintah tidak memikirkan ketika disahkannya RUU ini akan banyak penolakan di masyarakat.
Akan menimbulkan aksi-aksi yang menyebabkan kerumunan orang banyak, dan di situ akan ada dampak kasus Covid-19 ini meningkat.
“Pencegahan yang kami lakukan hanya mengunakan masker, hanskun dan membawa hand sanitizer, sehingga kami bisa meminimalisir penularan Covid-19 pada massa aksi yang hadir,” tutur Wahyu.
Alumni Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Muhamadiyah itu menyampaikan, sampai saat ini sudah hampir sebulan pasca aksi di Kantor DPRD Provinsi Sulut, untuk anggota HMI MPO belum ada yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Untuk ke depan tetap dipantau khususnya teman-teman yang turun aksi kemarin.
“Khususnya HMI MPO apakah ada keluhan-keluhan seperti flu ringan, ataupun demam. Sehingga mencegah adanya klaster baru dalam aksi tersebut,” tutup Wahyu.
Tak hanya di Manado, aksi penolakan UU Omnibus Law juga terjadi di Minahasa.
Koordinator Lapangan (Korlap) Anthoni Talubun mengatakan, aksi yang mereka laksanakan sebanyak 2 kali, yakni tanggal 7 Oktober dan 13 Oktober 2020. Mereka tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat (Aparat) Cabut Omnibus Law (Cabul).
“Kami massa aksi sadar dengan pandemi yang sedang melanda Negara kita ini, bahkan dunia,” ujar Talubun yang juga sebagai Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Tondano, Rabu (21/10/2020).
Untuk itulah, sejumlah organisasi intra maupun ekstra kampus yang tergabung dalam aliansi itu menjaga jaga jarak dan wajib menggunakan masker.
“Massa aksi juga menyediakan perlengkapan aksi berupa tali, agar massa aksi terkoordinir,” kata mahasiswa jurusan Ilmu Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (Fmipa) Universitas Negeri Manado (Unima) ini.
Ia menambahkan, aksi tanggal 7 Oktober itu dihadang oleh aparat keamanan, ketika massa aksi ingin mengadakan mimbar bebas di lokasi kampus Unima.
“Padahal massa sudah terkoordinir, agar saat kita berpendapat dapat jaga jarak, akan tetapi dihadang karena alasan pandemi Covid-19,” ujar Talubun.
Selain organisasi ekstra kampus seperti Kelompok Cipayung, organisasi intra kampus juga terlibat dalam aksi unjuk rasa itu.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Sulut Yusril Lasarika menuturkan, pada 8 Oktober 2020 lalu, mereka ikut dalam aksi penolakan UU Omnibus law di kantor DPRD Sulut.
Ia mengatakan, sebelum Undang-Undang ini disahkan sudah banyak mendapatkan penolakan dari pada organisasi Mahasiswa maupun elemen masyarakat, Rabu (21/10/2020).
Yusril menambahkan, dengan disahkannya UU Omnibus Law maka mengundang massa aksi dan itu tidak bisa terhindar dari kerumunan. Penerapan social distancing agak sulit dikarenakan massa aksi yang begitu banyak.
“Meski demikian saya mengingatkan anggota tetap menerapkan protokol Covid-19. Menggunakan masker, memakai sarung tangan dan membawa hand sanitizer,” jelas Yusril.
Dia mengatakan, sampai saat ini hampir sebukan setelah aksi belum mendapatkan kabar dari teman-teman pimpinan bahwa ada anggota mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19.
“Kami terus memantau keberadaan anggota kami, jika saja ada gejala terkait Covid-19,” pungkasnya.
(Yoseph Ikanubun/Ardiansyah Mustafa/Richard Fangohoy)