Manado – Pilkada DKI Jakarta mungkin adalah kontestasi politik paling heboh dan menarik selama sejarah pilkada langsung di Indonesia hingga sering dikatakan Pilkada DKI rasa Pilpres.
Tapi dalam pilkada yang rasa pilpres kali ini, banyak pihak dikecewakan oleh proses pilkada yang dinilai menciderai kebhinekaan yang selama ini telah ada di Indonesia, salah satunya Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sulawesi Utara (Sulut).
“Jakarta yang seharusnya dapat dijadikan contoh malahan mempertontonkan demokrasi yang kebablasan dan tidak terpuji. Bukan soal menang kalah dalam kontestasi pilkada tetapi proses yang dilewati selama tahapan pilkada sangat mencederai semangat kebhinekaan Indonesia dan merusak tatanan demokrasi Indonesia,” ujar Melki.
Dikatakannya, isu sara yang menerpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah salah satu contoh strategi lawan politik untuk mengotori upaya bersama menciptakan demokrasi yang sehat dan berkualitas.
“Ahok di serang habis-habisan dengan isu sara dan ini jelas adalah cara atau metode kampanye yang bukan hanya sekedar ingin berkuasa tetapi melukai semangat pluralisme Indonesia yang telah terpelihara sejak bangsa kita ada. Jakarta saja yang penduduknya plural dan heterogen masih saja termakan dengan isu-isu sara, bagaimana dengan daerah-daerah lain?,” tambahnya.
Lebih lanjut Melky menegaskan, kekalahan Ahok menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin-pemimpin daerah lainnya, bahwa ternyata tidak cukup memiliki rekam jejak baik, program yang manusiawi, antikorupsi dan berpihak kepada rakyat kalau belum bersekutu dengan kelompok radikal dan intoleran.
Figur-figur berprestasi seperti Ridwan Kamil, Rahmat Effendi dan Tri Rismaharini juga nantinya bisa mengalami hal yang sama seperti yang dialami Ahok, dimana kalau Ahok di bilang kafir dan Cina bisa jadi Ridwan Kamil, Rahmat Effendi dan Tri Rismaharini di isukan kurang islami karena berjiwa nasionalis dan hal serupa telah terjadi ketika Djarot Saiful Hidayat pun sampai di usir dari Masjid usai sholat Jumat.
Isu sara dan maraknya praktik politik uang disebut Melky nantinya ditakutkan akan menghasilkan pemimpin yang kurang nasionalis dan tidak memiliki rekam jejak yang baik.
Melky pun menyebut jika kemenangan Anies adalah indikasi bahwa identitas digunakan sebagai senjata politik, sedangkan Ahok kalah dalam pertarungan yang secara luas dipandang sebagai ujian toleransi agama dan etnis, lebih dari itu adalah ujian naik atau turunnya level demokrasi Indonesia.
“Kekalahan Ahok-Djarot adalah kecelakaan demokrasi Indonesia. Saat ini demokrasi Indonesia berada di titik terbawah. Kekuatan kelompok radikal dan intoleran dapat berkuasa dan dengan mudah mengalahkan kekuatan kaum nasionalis Indonesia,” kata Melky.
Meski menyebut secara prosedural proses pilkada sudah semakin berkualitas dari pemilu ke pemilu dengan setiap perubahan regulasi dan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu, tetapi secara substansial jatuh karena isu sara dan politik uang.
“Secara substansial, demokrasi Indonesia semakin menurun ketika politik uang dan isu sara mendominasi proses pilkada bahkan saat ini demokrasi Indonesia bisa disebut dalam kondisi darurat,” tutupnya. (***/sri)
Manado – Pilkada DKI Jakarta mungkin adalah kontestasi politik paling heboh dan menarik selama sejarah pilkada langsung di Indonesia hingga sering dikatakan Pilkada DKI rasa Pilpres.
Tapi dalam pilkada yang rasa pilpres kali ini, banyak pihak dikecewakan oleh proses pilkada yang dinilai menciderai kebhinekaan yang selama ini telah ada di Indonesia, salah satunya Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sulawesi Utara (Sulut).
“Jakarta yang seharusnya dapat dijadikan contoh malahan mempertontonkan demokrasi yang kebablasan dan tidak terpuji. Bukan soal menang kalah dalam kontestasi pilkada tetapi proses yang dilewati selama tahapan pilkada sangat mencederai semangat kebhinekaan Indonesia dan merusak tatanan demokrasi Indonesia,” ujar Melki.
Dikatakannya, isu sara yang menerpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah salah satu contoh strategi lawan politik untuk mengotori upaya bersama menciptakan demokrasi yang sehat dan berkualitas.
“Ahok di serang habis-habisan dengan isu sara dan ini jelas adalah cara atau metode kampanye yang bukan hanya sekedar ingin berkuasa tetapi melukai semangat pluralisme Indonesia yang telah terpelihara sejak bangsa kita ada. Jakarta saja yang penduduknya plural dan heterogen masih saja termakan dengan isu-isu sara, bagaimana dengan daerah-daerah lain?,” tambahnya.
Lebih lanjut Melky menegaskan, kekalahan Ahok menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin-pemimpin daerah lainnya, bahwa ternyata tidak cukup memiliki rekam jejak baik, program yang manusiawi, antikorupsi dan berpihak kepada rakyat kalau belum bersekutu dengan kelompok radikal dan intoleran.
Figur-figur berprestasi seperti Ridwan Kamil, Rahmat Effendi dan Tri Rismaharini juga nantinya bisa mengalami hal yang sama seperti yang dialami Ahok, dimana kalau Ahok di bilang kafir dan Cina bisa jadi Ridwan Kamil, Rahmat Effendi dan Tri Rismaharini di isukan kurang islami karena berjiwa nasionalis dan hal serupa telah terjadi ketika Djarot Saiful Hidayat pun sampai di usir dari Masjid usai sholat Jumat.
Isu sara dan maraknya praktik politik uang disebut Melky nantinya ditakutkan akan menghasilkan pemimpin yang kurang nasionalis dan tidak memiliki rekam jejak yang baik.
Melky pun menyebut jika kemenangan Anies adalah indikasi bahwa identitas digunakan sebagai senjata politik, sedangkan Ahok kalah dalam pertarungan yang secara luas dipandang sebagai ujian toleransi agama dan etnis, lebih dari itu adalah ujian naik atau turunnya level demokrasi Indonesia.
“Kekalahan Ahok-Djarot adalah kecelakaan demokrasi Indonesia. Saat ini demokrasi Indonesia berada di titik terbawah. Kekuatan kelompok radikal dan intoleran dapat berkuasa dan dengan mudah mengalahkan kekuatan kaum nasionalis Indonesia,” kata Melky.
Meski menyebut secara prosedural proses pilkada sudah semakin berkualitas dari pemilu ke pemilu dengan setiap perubahan regulasi dan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu, tetapi secara substansial jatuh karena isu sara dan politik uang.
“Secara substansial, demokrasi Indonesia semakin menurun ketika politik uang dan isu sara mendominasi proses pilkada bahkan saat ini demokrasi Indonesia bisa disebut dalam kondisi darurat,” tutupnya. (***/sri)