ADA dua daerah di Indonesia yang melahirkan tokoh-tokoh perempuan progresif di masa pergerakan. Yaitu, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara (Amurang-Minahasa Selatan). Tokoh-tokoh perempuan yang muncul bukan lagi menuntut perluasan fungsi istri, seperti diceritakan Kartini dan Dewi Sartika di Jawa. Mereka sudah menunjukkan kiprahnya di luar bidang domestik atau kerumahtanggaan.
Kedua daerah itu mempunyai ciri yang sama. Pertama, sama-sama relatif bebas dari feodalisme. Kedua, masyarakatnya cenderung taat beragama, namun yang satu pada Islam dan lainnya pada agama Kristen.
Sumatera Barat melahirkan Rochana Koedoes, yang memelopori koran perempuan Soenting Melajoe, memberdayakan perempuan di lapangan ekonomi dengan sekolah tenun. Rasuna Said politisi perempuan yang masuk tahanan pemerintah Kolonial.
Sementara itu, Minahasa punya Walanda Maramis yang masuk parlemen di masa pergerakan. Satu lagi Johanna Masdani, tokoh pergerakan yang juga terlibat Peristiwa Soempah Pemoeda.
Kelahiran Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910 ini, waktu masih gadis bernama Johanna Tumbuan. Menurut buku Rosihan Anwar, Le Petite Histoire, Jo sapaan akrab Johanna, masih berusia 18 tahun, bersama Dolly Putri Haji Agus Salim, satu dari sedikit perempuan yang hadir dalam peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di Gedung Kramat Raya, Jakarta. Mereka dua juga ikut menyanyikan Indonesia Raya dalam ajang penting itu.
Keterlibatan perempuan yang gesit semasa hidupnya tersebut dalam dunia pergerakan berawal sejak usia 16 tahun. Ketika itu ia bergabung dalam Jong Minahasa, yang kemudian berubah jadi Jong Celebes. Lalu, aktif dalam Jong Indonesia, dan pada saatnya berubah menjadi Indonesia Muda. Jo Masdani juga giat dalam kegiatan organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia.
Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain. Seperti Muhammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Asaat, dan orang yang belakangan menjadi suaminya, Masdani, juga seorang tokoh pergerakan. Jo juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agustus 1945.
Jo ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) nomor 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada 1980-an.
Dalam Perang Kemerdekaan Jo ikut suaminya menyelundupkan beras untuk penduduk dari Karawang, Cikampek. Ia juga menyelundupkan senjata yang diperoleh dari Jakarta untuk pejuang di daerah pedalaman hingga Yogyakarta.
Jo pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia aktivis Palang Merah Indonesia dan menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia. Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sang Suami yang menyuruhnya, setelah ia lulus dari Paedagogische Algemene Middlebare School.
Setelah lulus dari almamaternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen Psikiatri sejak 1961. Pada 1970-an, ia mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris. Sebagai ahli psikiatri, Jo mengabdi untuk mengatasi remaja kecanduan narkotika, hamil di luar nikah, hingga remaja yang kesulitan belajar. Jo Masdani tutup usia, 13 Mei 2006 dalam usia 95 tahun. ***
- Johanna Masdani (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.
Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.
Selain itu, Jo — demikian ia biasa dipanggil — juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.
[sunting]Perjuangan
Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.
Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
Jo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006. (*/wikipedia)
ADA dua daerah di Indonesia yang melahirkan tokoh-tokoh perempuan progresif di masa pergerakan. Yaitu, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara (Amurang-Minahasa Selatan). Tokoh-tokoh perempuan yang muncul bukan lagi menuntut perluasan fungsi istri, seperti diceritakan Kartini dan Dewi Sartika di Jawa. Mereka sudah menunjukkan kiprahnya di luar bidang domestik atau kerumahtanggaan.
Kedua daerah itu mempunyai ciri yang sama. Pertama, sama-sama relatif bebas dari feodalisme. Kedua, masyarakatnya cenderung taat beragama, namun yang satu pada Islam dan lainnya pada agama Kristen.
Sumatera Barat melahirkan Rochana Koedoes, yang memelopori koran perempuan Soenting Melajoe, memberdayakan perempuan di lapangan ekonomi dengan sekolah tenun. Rasuna Said politisi perempuan yang masuk tahanan pemerintah Kolonial.
Sementara itu, Minahasa punya Walanda Maramis yang masuk parlemen di masa pergerakan. Satu lagi Johanna Masdani, tokoh pergerakan yang juga terlibat Peristiwa Soempah Pemoeda.
Kelahiran Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910 ini, waktu masih gadis bernama Johanna Tumbuan. Menurut buku Rosihan Anwar, Le Petite Histoire, Jo sapaan akrab Johanna, masih berusia 18 tahun, bersama Dolly Putri Haji Agus Salim, satu dari sedikit perempuan yang hadir dalam peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di Gedung Kramat Raya, Jakarta. Mereka dua juga ikut menyanyikan Indonesia Raya dalam ajang penting itu.
Keterlibatan perempuan yang gesit semasa hidupnya tersebut dalam dunia pergerakan berawal sejak usia 16 tahun. Ketika itu ia bergabung dalam Jong Minahasa, yang kemudian berubah jadi Jong Celebes. Lalu, aktif dalam Jong Indonesia, dan pada saatnya berubah menjadi Indonesia Muda. Jo Masdani juga giat dalam kegiatan organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia.
Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain. Seperti Muhammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Asaat, dan orang yang belakangan menjadi suaminya, Masdani, juga seorang tokoh pergerakan. Jo juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agustus 1945.
Jo ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) nomor 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada 1980-an.
Dalam Perang Kemerdekaan Jo ikut suaminya menyelundupkan beras untuk penduduk dari Karawang, Cikampek. Ia juga menyelundupkan senjata yang diperoleh dari Jakarta untuk pejuang di daerah pedalaman hingga Yogyakarta.
Jo pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia aktivis Palang Merah Indonesia dan menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia. Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sang Suami yang menyuruhnya, setelah ia lulus dari Paedagogische Algemene Middlebare School.
Setelah lulus dari almamaternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen Psikiatri sejak 1961. Pada 1970-an, ia mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris. Sebagai ahli psikiatri, Jo mengabdi untuk mengatasi remaja kecanduan narkotika, hamil di luar nikah, hingga remaja yang kesulitan belajar. Jo Masdani tutup usia, 13 Mei 2006 dalam usia 95 tahun. ***
- Johanna Masdani (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.
Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.
Selain itu, Jo — demikian ia biasa dipanggil — juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.
[sunting]Perjuangan
Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.
Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
Jo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006. (*/wikipedia)