Manado – Dalam ketentuan umum RUU Ormas yang sekarang ini berada di Panja DPR RI mendefinisikan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI. Lebih lanjut dalam pasal 7 Ayat 2 dalam RUU tersebut bahwa lingkup kesamaan kegiatan yang dimaksud antara lain Agama, Kepercayaan kepada TYME, Hukum, Sosial, Ekonomi, Kesehatan, Pendidikan, Sumber Daya Manusia, Penguatan Demokrasi Pancasila, Pemberdayaan Perempuan, Lingkungan Hidup dan SDA, Kepemudaan, Olah Raga, Profesi, Hobi serta Seni dan Budaya.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, bentuk pengekangan Pemerintah atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat kepada seluruh warga negara Indonesia dan secara jelas terjamin di dalam Undang Undang Dasar 1945 pada Pasal 28 dan 28 E Ayat 3. Sangat ironis, jika sekelompok ibu-ibu arisan kemudian harus mendaftarkan aktifitas mereka ke Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri hanya untuk mendapatkan SKT (surat keterangan terdaftar). Atau sekelompok anak muda yang membentuk sebuah Sanggar Tari atau Kelompok Paduan Suara kemudian harus dipaksakan untuk membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga untuk kemudian didaftarkan ke Kesbangpol, setelah mendapatkan SKT kemudian bisa melakukan aktifitas mereka. Apakah ini yang disebut ”kemerdekaan berserikat dan berkumpul”..??
Ormas adalah singkatan dari Organisasi Kemasyarakatan (bukan Organisasi Massa) yang dilahirkan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Seharusnya undang-undang ini juga tidak perlu ada di Republik kita ini, karena produk kebijakan ini adalah merupakan ”cara” rezim Orde Baru untuk kemudian bisa mengontrol dinamika organisasi-organisasi masyarakat di Indonesia. Perlu dipahami bersama bahwa Ormas bukan merupakan Badan Hukum melainkan hanya status terdaftar berdasarkan SKT yang dikeluarkan oleh Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri.
“Semangat awal pembentukan RUU Ormas ini oleh pemerintah adalah untuk melakukan penindakan terhadap organisasi-organisasi yang secara nyata bertindak melakukan kekerasan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sulut, Edo Rahman.
“Tetapi disadari atau tidak, apabila dilihat dari substansi RUU tersebut justru akan semakin mengekang kemerdekaan berkumpul warga negara Indonesia. Keberadaan instrumen hukum kita di Indonesia sebenarnya sudah bisa memberikan tindakan bagi organisasi-organisasi yang teridentifikasi melakukan kekerasan, tetapi permasalahan selama ini bukan pada tidak adanya aturan melainkan tidak adanya tindakan penegakan hukum yang nyata dari aparat penegak hukum di Indonesia. Semisal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana penyertaan, dimana kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang memberikan konsekuensi pidana jatuh kepada pelaku maupun yang merencanakan tindak pidana tersebut (aktor intelektual),” tambahnya
Kemungkinan buruk lainnya yang akan timbul RUU ini disahkan, adalah pada saat proses pendaftaran. Selain persyaratan, proses verifikasi juga akan dilakukan oleh pemerintah dan jika sesuai, maka SKT akan dikeluarkan tetapi jika tidak sesuai maka organisasi tersebut tidak akan terbentuk. Dengan melihat kondisi birokrasi di Indonesia saat ini, maka secara otomatis akan mengurangi pemenuhan hak untuk berkumpul. Dimana-mana akan bermunculan kelompok-kelompok terpinggirkan karena persyaratan tidak terpenuhi dan kondisi ini juga membuka peluang besar terjadinya praktek pungutan liar dan korupsi, apalagi jika calon organisasi tersebut bisa mengakses dana pemerintah.
Apakah tidak berlebihan, jika kelompok Paduan Suara yang anggotanya sepuluh orang, kelompok ibu-ibu arisan, alumni sebuah sekolah atau universitas, sekelompok orang yang hoby naik motor, organisasi siswa intra sekolah (OSIS), kelompok tari, komunitas wartawan, harus kemudian dipaksakan membuat AD/ART dan kemudian mendaftarkannya ke Kesbangpol agar bisa beraktifitas dan berkreasi…??? Terlebih lagi, bahwa dalam RUU ini pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembekuan organisasi tanpa adanya proses pengadilan. Tentu kejadian-kejadian ”pembredelan” di masa lalu akan terulang kembali jika RUU ini di berlakukan dan sekaligus peraturan ini bisa dimanfaatk oleh pemerintah untuk kemudian ”mematikan” suara-suara yang tidak sejalan dengan arah kebijakan, khususnya kebijakan sektoral seperti pendidikan, lingkungan hidup, pertambangan, kehutanan dan lain-lain.
Jika dikaji lebih mendalam dari substansi RUU Ormas ini, sesungguhnya sebagian besar sudah termuat dalam undang-undang yang ada saat ini. Dari kerangka hukum sesungguhnya, pengaturan organisasi terbagi menjadi dua yaitu: 1) Non-Membership Organization (organisasi tanpa anggota), dan 2). Membership Based Organization (organisasi berbasis anggota). Untuk organisasi tanpa anggota sudah diatur oleh hukum Indonesia melalui UU No. 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Sedangkan organisasi berbasis keanggotaan, hukum Indonesia telah mengatur melalui Staatsblad.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (undang-undang zaman pemerintahan belanda).
Hampir sebagian besar organisasi di Indonesia telah mengatur dan menata diri karena kebutuhan administratifnya, baik yang berbadan hukum Yayasan atau Perkumpulan. Pasal 16 UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga telah memberikan kewajiban kepada organisasi non-pemerintah untuk menyediakan informasi publik seperti asas dan tujuan, program, sumber pendanaan, pengelolaan keuangan dan lain-lain. Sebagian besar organisasi ini juga diaudit keuangannya oleh akuntan publik karena sebagai pemegang NPWP dan berbadan hukum maka ini menjadi kewajiban lembaga sebagai wajib pajak. Sehingga tidak benar jika organisasi tidak tertib administrasi dan keuangan. Tanpa Undang-undang Ormas-pun telah ada undang-undang yang mengatur hal-hal administrasi dan keuangan organisasi seperti Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Yayasan dan Staatsblad tentang Perkumpulan, apalagi RUU tentang Perkumpulan juga telah masuk dalam Prolegnas 2010-2014 No.228.
Mengapa misalnya pemerintah tidak fokus untuk membahas RUU Perkumpulan tersebut. Ketentuan ini jauh lebih fleksibel mengatur kehidupan berorganisasi, bagi yang mau berbadan hukum bisa mendaftarkan diri ke kementrian hukum dan HAM dan bagi yang tidak berbadan hukum tidak perlu mendaftarkan organisasinya namun tetap dilindungi hak berkumpul oleh peraturan dan UUD 1945. Pendekatan pendaftarannya hanya hanya bersifat administratif tidak seperti pendaftaran di Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri yang menggunakan pendekatan represif politik dan keamanan.
Kita semua harus menghapus pendekatan represif politik dan keamanan terhadap organisasi masyarakat sipil dengan menghilangkan peran Kementrian Dalam Negeri dan menggantinya dengan pendekatan hukum melalui Kementrian Hukum dan HAM dan pendekatan pemberian dukungan/fasilitas kegiatan melalui kementrian yang relevan (kemensos, kemendiknas, kemenag dan lain-lain) sesuai bidang kegiatan organisasi. Percayalah, jika selama urusan organisasi berada di Kemendagri maka selama itu pula organisasi kita akan didekati dengan pendekatan politik keamanan yang represif seperti pembatasan, pembubaran dan lain sebagainya. Tentu hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan sektor-sektor swasta yang sangat-sangat didukung melalui berbagai fasilitas dan insentif.
RUU Ormas harus di tolak, harus dicabut dan bukan di revisi. DPR RI harus menghentikan pembahasan RUU Ormas dan lebih baik mendorong RUU Perkumpulan yang lebih memiliki kerangka hukum yang benar dan lebih positif dalam pengembangan kehidupan berbangsa di Republik Indonesia. (oke)
Manado – Dalam ketentuan umum RUU Ormas yang sekarang ini berada di Panja DPR RI mendefinisikan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI. Lebih lanjut dalam pasal 7 Ayat 2 dalam RUU tersebut bahwa lingkup kesamaan kegiatan yang dimaksud antara lain Agama, Kepercayaan kepada TYME, Hukum, Sosial, Ekonomi, Kesehatan, Pendidikan, Sumber Daya Manusia, Penguatan Demokrasi Pancasila, Pemberdayaan Perempuan, Lingkungan Hidup dan SDA, Kepemudaan, Olah Raga, Profesi, Hobi serta Seni dan Budaya.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, bentuk pengekangan Pemerintah atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat kepada seluruh warga negara Indonesia dan secara jelas terjamin di dalam Undang Undang Dasar 1945 pada Pasal 28 dan 28 E Ayat 3. Sangat ironis, jika sekelompok ibu-ibu arisan kemudian harus mendaftarkan aktifitas mereka ke Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri hanya untuk mendapatkan SKT (surat keterangan terdaftar). Atau sekelompok anak muda yang membentuk sebuah Sanggar Tari atau Kelompok Paduan Suara kemudian harus dipaksakan untuk membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga untuk kemudian didaftarkan ke Kesbangpol, setelah mendapatkan SKT kemudian bisa melakukan aktifitas mereka. Apakah ini yang disebut ”kemerdekaan berserikat dan berkumpul”..??
Ormas adalah singkatan dari Organisasi Kemasyarakatan (bukan Organisasi Massa) yang dilahirkan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Seharusnya undang-undang ini juga tidak perlu ada di Republik kita ini, karena produk kebijakan ini adalah merupakan ”cara” rezim Orde Baru untuk kemudian bisa mengontrol dinamika organisasi-organisasi masyarakat di Indonesia. Perlu dipahami bersama bahwa Ormas bukan merupakan Badan Hukum melainkan hanya status terdaftar berdasarkan SKT yang dikeluarkan oleh Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri.
“Semangat awal pembentukan RUU Ormas ini oleh pemerintah adalah untuk melakukan penindakan terhadap organisasi-organisasi yang secara nyata bertindak melakukan kekerasan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sulut, Edo Rahman.
“Tetapi disadari atau tidak, apabila dilihat dari substansi RUU tersebut justru akan semakin mengekang kemerdekaan berkumpul warga negara Indonesia. Keberadaan instrumen hukum kita di Indonesia sebenarnya sudah bisa memberikan tindakan bagi organisasi-organisasi yang teridentifikasi melakukan kekerasan, tetapi permasalahan selama ini bukan pada tidak adanya aturan melainkan tidak adanya tindakan penegakan hukum yang nyata dari aparat penegak hukum di Indonesia. Semisal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana penyertaan, dimana kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang memberikan konsekuensi pidana jatuh kepada pelaku maupun yang merencanakan tindak pidana tersebut (aktor intelektual),” tambahnya
Kemungkinan buruk lainnya yang akan timbul RUU ini disahkan, adalah pada saat proses pendaftaran. Selain persyaratan, proses verifikasi juga akan dilakukan oleh pemerintah dan jika sesuai, maka SKT akan dikeluarkan tetapi jika tidak sesuai maka organisasi tersebut tidak akan terbentuk. Dengan melihat kondisi birokrasi di Indonesia saat ini, maka secara otomatis akan mengurangi pemenuhan hak untuk berkumpul. Dimana-mana akan bermunculan kelompok-kelompok terpinggirkan karena persyaratan tidak terpenuhi dan kondisi ini juga membuka peluang besar terjadinya praktek pungutan liar dan korupsi, apalagi jika calon organisasi tersebut bisa mengakses dana pemerintah.
Apakah tidak berlebihan, jika kelompok Paduan Suara yang anggotanya sepuluh orang, kelompok ibu-ibu arisan, alumni sebuah sekolah atau universitas, sekelompok orang yang hoby naik motor, organisasi siswa intra sekolah (OSIS), kelompok tari, komunitas wartawan, harus kemudian dipaksakan membuat AD/ART dan kemudian mendaftarkannya ke Kesbangpol agar bisa beraktifitas dan berkreasi…??? Terlebih lagi, bahwa dalam RUU ini pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembekuan organisasi tanpa adanya proses pengadilan. Tentu kejadian-kejadian ”pembredelan” di masa lalu akan terulang kembali jika RUU ini di berlakukan dan sekaligus peraturan ini bisa dimanfaatk oleh pemerintah untuk kemudian ”mematikan” suara-suara yang tidak sejalan dengan arah kebijakan, khususnya kebijakan sektoral seperti pendidikan, lingkungan hidup, pertambangan, kehutanan dan lain-lain.
Jika dikaji lebih mendalam dari substansi RUU Ormas ini, sesungguhnya sebagian besar sudah termuat dalam undang-undang yang ada saat ini. Dari kerangka hukum sesungguhnya, pengaturan organisasi terbagi menjadi dua yaitu: 1) Non-Membership Organization (organisasi tanpa anggota), dan 2). Membership Based Organization (organisasi berbasis anggota). Untuk organisasi tanpa anggota sudah diatur oleh hukum Indonesia melalui UU No. 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Sedangkan organisasi berbasis keanggotaan, hukum Indonesia telah mengatur melalui Staatsblad.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (undang-undang zaman pemerintahan belanda).
Hampir sebagian besar organisasi di Indonesia telah mengatur dan menata diri karena kebutuhan administratifnya, baik yang berbadan hukum Yayasan atau Perkumpulan. Pasal 16 UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga telah memberikan kewajiban kepada organisasi non-pemerintah untuk menyediakan informasi publik seperti asas dan tujuan, program, sumber pendanaan, pengelolaan keuangan dan lain-lain. Sebagian besar organisasi ini juga diaudit keuangannya oleh akuntan publik karena sebagai pemegang NPWP dan berbadan hukum maka ini menjadi kewajiban lembaga sebagai wajib pajak. Sehingga tidak benar jika organisasi tidak tertib administrasi dan keuangan. Tanpa Undang-undang Ormas-pun telah ada undang-undang yang mengatur hal-hal administrasi dan keuangan organisasi seperti Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Yayasan dan Staatsblad tentang Perkumpulan, apalagi RUU tentang Perkumpulan juga telah masuk dalam Prolegnas 2010-2014 No.228.
Mengapa misalnya pemerintah tidak fokus untuk membahas RUU Perkumpulan tersebut. Ketentuan ini jauh lebih fleksibel mengatur kehidupan berorganisasi, bagi yang mau berbadan hukum bisa mendaftarkan diri ke kementrian hukum dan HAM dan bagi yang tidak berbadan hukum tidak perlu mendaftarkan organisasinya namun tetap dilindungi hak berkumpul oleh peraturan dan UUD 1945. Pendekatan pendaftarannya hanya hanya bersifat administratif tidak seperti pendaftaran di Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri yang menggunakan pendekatan represif politik dan keamanan.
Kita semua harus menghapus pendekatan represif politik dan keamanan terhadap organisasi masyarakat sipil dengan menghilangkan peran Kementrian Dalam Negeri dan menggantinya dengan pendekatan hukum melalui Kementrian Hukum dan HAM dan pendekatan pemberian dukungan/fasilitas kegiatan melalui kementrian yang relevan (kemensos, kemendiknas, kemenag dan lain-lain) sesuai bidang kegiatan organisasi. Percayalah, jika selama urusan organisasi berada di Kemendagri maka selama itu pula organisasi kita akan didekati dengan pendekatan politik keamanan yang represif seperti pembatasan, pembubaran dan lain sebagainya. Tentu hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan sektor-sektor swasta yang sangat-sangat didukung melalui berbagai fasilitas dan insentif.
RUU Ormas harus di tolak, harus dicabut dan bukan di revisi. DPR RI harus menghentikan pembahasan RUU Ormas dan lebih baik mendorong RUU Perkumpulan yang lebih memiliki kerangka hukum yang benar dan lebih positif dalam pengembangan kehidupan berbangsa di Republik Indonesia. (oke)