Kerjasama antara Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Setiap menjelang Lebaran, masalah THR (tunjangan hari raya) selalu mengemuka, karena ada tradisi pulang kampung yang (sebenarnya) khas Indonesia. Dengan demikian ada biaya tambahan yang cukup besar, bagi umumnya masyarakat kita. Tradisi ini menjadi beban tersendiri bagi kalangan buruh, yang sehari-seharinya sudah hidup dengan gaji pas-pasan.
Lebih rentan lagi adalah buruh alih daya (outsourcing), yang biasanya akan di-PHK menjelang Lebaran, untuk kemudian dipekerjakan kembali usai lebaran. Karena sudah di-PHK, maka tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberi THR bagi buruh alih daya. Soal THR yang selalu muncul inilah, menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV. Perbincangan kali ini mengundang tiga narasumber, masing-masing adalahDjimanto (Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia, APINDO), Said Iqbal (Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dan Dita Indah Sari (Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI)
Said Iqbal membenarkan, pekerja di tempat usaha padat karya, buruh kontrak dan alih daya adalah golongan yang paling terancam tidak menerima THR. Pada H-7 para pekerja dipecat dan dijanjikan akan kembali dikontrak setelah lebaran. Jika mereka melaporkan sengketa THR, mereka takut tidak akan dipekerjakan kembali”. “Sistem alih daya merupakan akar masalah banyaknya pekerja tidak mendapat THR,” jelas Said.
Djimanto menjelaskan, bahwa THR adalah bagian dari ongkos biaya personel. Dan dia dihitung sepanjang tahun jadi sebetulnya beban juga, ongkos juga, karena nanti dibebankan harga jual produk. Tapi memang bisnis adakalanya menurun, pada waktu menurun, tentu ada masalah-masalah yang timbul kemudian. “Kebanyakan perusahaan adalah pengguna, soal pekerja alih daya sebetulnya yang wajib membayar THR itu adalah penyalurnya, bukan penggunanya karena kami sudah membayar kepada agen penyalurnya,” tambah Djimanto
Sementara Dita Indah Sari berpandangan, untuk setiap kasus, sebetulnya didorong untuk komunikasi dulu, kecuali kalau komunikasinya macet. Sementara perusahaan tidak semua sama kondisinya, ada industri besar yang mapan, ada juga industri menengah yang marginnya sedang-sedang saja. “Nah disinilah komunikasi menjadi penting agar pengusaha betul-betul bisa menjelaskan pada buruh secara transparan kondisi perusahaan,” imbuh Dita.
Djimanto menerangkan, perusahaan memperlakukan THR sebagai salah satu sarana menciptakan hubungan yang harmonis dengan pekerja. Jadi sesungguhnya para pengusaha itu mau membayarkan THR, karena dianggap menciptakan hubungan yang harmonis. “Untuk memutuskan pekerja atau PHK, untuk karyawan kontrak itu tidak mudah, kalau kontraknya belum habis, pengusaha harus membayar sisa dari kontrak itu sampai habis, kalau memang di PHK. Jadi tidak sesederhana itu,” tegas Djimanto.
Said menegaskan, bahwa THR sebenarnya bukan merupakan labour cost atau biaya produksi di awal. THR sebenarnya upaya pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan buruh dikarenakan budaya yang disebut lebaran itu. Bahkan di beberapa negara Islam itu sebenarnya THR itu tidak ada. Maka keluarlah SK Menteri Tenaga Kerja yang mengatur tentang pembayaran THR yang sifatnya sebenarnya himbauan. “Karena dalam SK Menteri itu tidak mengatur tentang sanksi, maka perusahaan tidak ada kewajiban yang mengikat untuk membayarkan THR kepada buruhnya,” tegas Said. (*)
Kerjasama antara Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Setiap menjelang Lebaran, masalah THR (tunjangan hari raya) selalu mengemuka, karena ada tradisi pulang kampung yang (sebenarnya) khas Indonesia. Dengan demikian ada biaya tambahan yang cukup besar, bagi umumnya masyarakat kita. Tradisi ini menjadi beban tersendiri bagi kalangan buruh, yang sehari-seharinya sudah hidup dengan gaji pas-pasan.
Lebih rentan lagi adalah buruh alih daya (outsourcing), yang biasanya akan di-PHK menjelang Lebaran, untuk kemudian dipekerjakan kembali usai lebaran. Karena sudah di-PHK, maka tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberi THR bagi buruh alih daya. Soal THR yang selalu muncul inilah, menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV. Perbincangan kali ini mengundang tiga narasumber, masing-masing adalahDjimanto (Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia, APINDO), Said Iqbal (Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dan Dita Indah Sari (Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI)
Said Iqbal membenarkan, pekerja di tempat usaha padat karya, buruh kontrak dan alih daya adalah golongan yang paling terancam tidak menerima THR. Pada H-7 para pekerja dipecat dan dijanjikan akan kembali dikontrak setelah lebaran. Jika mereka melaporkan sengketa THR, mereka takut tidak akan dipekerjakan kembali”. “Sistem alih daya merupakan akar masalah banyaknya pekerja tidak mendapat THR,” jelas Said.
Djimanto menjelaskan, bahwa THR adalah bagian dari ongkos biaya personel. Dan dia dihitung sepanjang tahun jadi sebetulnya beban juga, ongkos juga, karena nanti dibebankan harga jual produk. Tapi memang bisnis adakalanya menurun, pada waktu menurun, tentu ada masalah-masalah yang timbul kemudian. “Kebanyakan perusahaan adalah pengguna, soal pekerja alih daya sebetulnya yang wajib membayar THR itu adalah penyalurnya, bukan penggunanya karena kami sudah membayar kepada agen penyalurnya,” tambah Djimanto
Sementara Dita Indah Sari berpandangan, untuk setiap kasus, sebetulnya didorong untuk komunikasi dulu, kecuali kalau komunikasinya macet. Sementara perusahaan tidak semua sama kondisinya, ada industri besar yang mapan, ada juga industri menengah yang marginnya sedang-sedang saja. “Nah disinilah komunikasi menjadi penting agar pengusaha betul-betul bisa menjelaskan pada buruh secara transparan kondisi perusahaan,” imbuh Dita.
Djimanto menerangkan, perusahaan memperlakukan THR sebagai salah satu sarana menciptakan hubungan yang harmonis dengan pekerja. Jadi sesungguhnya para pengusaha itu mau membayarkan THR, karena dianggap menciptakan hubungan yang harmonis. “Untuk memutuskan pekerja atau PHK, untuk karyawan kontrak itu tidak mudah, kalau kontraknya belum habis, pengusaha harus membayar sisa dari kontrak itu sampai habis, kalau memang di PHK. Jadi tidak sesederhana itu,” tegas Djimanto.
Said menegaskan, bahwa THR sebenarnya bukan merupakan labour cost atau biaya produksi di awal. THR sebenarnya upaya pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan buruh dikarenakan budaya yang disebut lebaran itu. Bahkan di beberapa negara Islam itu sebenarnya THR itu tidak ada. Maka keluarlah SK Menteri Tenaga Kerja yang mengatur tentang pembayaran THR yang sifatnya sebenarnya himbauan. “Karena dalam SK Menteri itu tidak mengatur tentang sanksi, maka perusahaan tidak ada kewajiban yang mengikat untuk membayarkan THR kepada buruhnya,” tegas Said. (*)