Manado – Munculnya statement Kepala BPLH Sulut yang menyatakan bahwa PT. Sumber Energi Jaya (SEJ) yang akan beroperasi di Minsel telah menjalankan bisnisnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dianggap menyesatkan oleh WALHI. Kalau hanya informasi itu yang diberikan, maka itu tidak bisa menjamin bahwa perusahaan tersebut telah berproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga instansi Lingkungan Hidup yang ada di Kabupaten Minsel, harus memberikan informasi yang tepat dan akurat terkait perusahaan tersebut.
Logikanya, tidak mungkin dokumen AMDAL bisa diterbitkan bila masih terjadi penolakan ditingkatan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar yang akan terkena dampak pertambangan tersebut. WALHI ingin mengajak kepada seluruh rakyat Sulut, terutama yang berada di sekitar wilayah yang direncanakan untuk pengoperasian PT. SEJ, bahwa semua pihak termasuk masyarakat WAJIB menerapkan instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup seperti yang termuat pada Pasal
14 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satunya adalah AMDAL, dimana AMDAL ini adalah dokumen yang berisi informasi yang wajib diketahui oleh publik atau masyarakat sekitar kawasan yang dikuasai oleh perusahaan. Termasuk perizinan, wajib diketahui oleh publik. Jika BPLH Sulut dan BPLH Kab. Minsel masih enggan mempublikasikan informasi tersebut, WALHI ingin memberitahukan bahwa di negara kita ada UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan sudah diberlakukan sejak Mei 2009.
Aturan tersebut telah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut seperti yang termuat pada Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 dalam undang-undang keterbukaan informasi publik. Sebaiknya instansi BPLH harus memahami aturan tersebut dan masyarakat juga harus berani meminta informasi tersebut karena itu adalah hak publik dan telah dijamin oleh undang-undang.
WALHI juga belum percaya jika PT. SEJ telah memegang dokumen AMDAL, kecuali jika praktek-praktek “copy paste” dokumen AMDAL masih terus terjadi atau tim penyusun AMDAL tidak memiliki lisensi atau sertifikat yang diakui oleh undang-undang. Ketentuannya adalah, AMDAL yang disusun oleh pemrakarsa harus dinilai oleh Tim Penilai AMDAL kabupaten, jika belum ada maka bisa ke tingkat provinsi. Persoalannya adalah, tim penilai AMDAL belum terbentuk di kabupten dan provinsi. Jika AMDAL yang
dibuat atau disusun secara “copy paste” maka hal ini justru akan melecehkan pihak-pihak yang telah memegang sertifikat atau lisensi sebagai penyusun dokumen AMDAL yang diakui oleh undang-undang di Sulawesi Utara.
Dokumen AMDAL akan cacat hukum atau tidak dapat digunakan apabila implikasi dampak negatifnya masih lebih besar terhadap masyarakat dan lingkungan atau sebagian besar masyarakat masih menolak usaha pertambangan tersebut. Jika dokumen AMDAL cacathukum maka Ijin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten secara otomatis juga “cacat hukum’ dan tidak dapat digunakan. Karena secara jelas telah diatur dalam UU 32/2009 yang menyatakan bahwa dokumen AMDAL adalah dokumen yang akan dijadikan bahan untuk proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha. Setelah itu pemerintah, dalam hal kementrian lingkungan hidup atau BPLH Provinsi Sulut atau BPLH Kabupaten akan mengeluarkan surat keputusan kelayakan lingkungan dan selanjutnya mengeluarkan ijin lingkungan. Atas dasar itu kemudian pihak perusahaan baru kemudian bisa memperoleh Ijin Usaha Pertambangan. WALHI mengkhawatirkan, apabila hal ini atau tata urutan dan sinkronisasi antara kebijakan satu dengan yang lain, tidak dimengerti oleh pihak terkait.
WALHI tetap akan mengkampanyekan penolakan terhadap perusahaan tambang di Sulawesi Utara dan akan mendukung masyarakat Minsel untuk tetap menolak pengoperasian perusahaan PT. SEJ. Komitmen Pemerintah RI adalah untuk focus terhadap kondisi Perubahan Iklim Dunia dan WALHI memiliki tanggung jawab untuk menyelamatakan ekologi terakhir di Sulut. (rilis WALHI Sulut)