Manado, BeritaManado.com — Kemungkinan Sistem Proporsional Daftar Tertutup (SPDTt) di Pemilu 2024 kian ramai dibicarakan.
Dosen dan Peneliti Isu-isu Kepemiluan, Ferry Liando, turut memberikan penjelasan perihal untung-rugi andaikan Pemilu 2024 memakai SPDTt.
Ferry menerangkan, jika SPDTt yang berlaku, maka pemilih tidak akan mencoblos nama orang tetapi hanya logo partai politik.
Secara teknis, kata Ferry, sistem ini memang lebih mudah baik dari segi pencetakaan surat suara, pendistribusian, pencoblosan, penghitungan hingga rekapitulasi.
Ia mengakui, SPDTt akan efektif jika semua parpol peserta pemilu memiliki kelembagaan yang kuat.
“Pertama parpol harus memiliki sistim kandidasi yang tersistematis, prosedur dan selektif. Parpol dengan sistem rekrutmen, kaderisasi dan seleksi yang tertata rapi sangat efektif mendukung SPDTt,” jelas Ferry.
Dikatakan, selama ini belum banyak parpol melakukan sistem kaderisasi yang baik serta proses seleksi objektif.
Calon parpol baru ditunjuk pada saat tahapan pencalonan DPR/DPRD dibuka.
Harusnya, kata Ferry, jauh sebelum tahapan pencalonan, parpol sudah menyeleksi dan wajib melalui proses uji publik sebagaimana tuntutan Undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang Parpol.
“Tanpa seleksi terbuka maka membuka peluang terjadinya jual beli kartu tanda anggota (KTA), mahar dan politik dinasti/kerabat elit parpol,” terangnya.
Menurut Ferry, di masa orde baru, Golkar menerapkan syarat calon wajib memiliki prestasi, loyalitas, dedikasi dan tidak tercelah (PLDT).
“Cara ini masih relevan diadopsi,” bebernya.
Kedua, lanjut Ferry, SPDTt efektif jika kemampuan finansial parpol sudah mapan.
Jika belum, maka parpol akan memanfaatkan imbalan bagi calon sebagai kompensasi kursi.
“Ketiga SPDTt cocok kalau tradisi oligarki dan politik kekerabatan dapat dikendalikan. Jika parpol masih dikendalikan oleh pemilik modal, maka bisa jadi calon yang terpilih merupakan titipan,” tegas Ferry.
Di sisi lain, SPDTt membuat KPU tidak perlu melakukan sortir nama calon secara ketat.
Tak perlu khawatir surat suara tertukar dapil, sulit dibuka, dicoblos, dan dilipat karena ukurannya tidak terlalu panjang dan lebar.
“Serta mekanisme rekapitulasi yang mudah karena penghitungannya bukan per caleg tapi cukup parpol saja,” katanya.
Ia mengatakan, pada Pemilu 2019, banyak KPPS meninggal karena kelelahan dalam melakukan penghitungan suara.
Dari aspek pembiayaan, pengadaan surat suara tentu lebih efesien karena materi yang termuat lebih simpel.
Namun, ujar Ferry, jika SPDTt yang dipakai, maka sangat beresiko bagi parpol itu sendiri.
Kata Ferry, selama ini proses politik yang terjadi di internal sebagian parpol adalah kebiasaan mewajibkan imbalan bagi siapa saja yang hendak membutuhkan posisi.
Ia mencontohkan, dalam hal suksesi ketua parpol di daerah, ada kewajiban uang setoran bagi masing-masing calon.
Siapa yang menawar dengan nominal tertinggi maka jabatan akan diberikan kepadanya.
“Musyawarah daerah atau musda hanyalah formalitas belaka bahkan telah terpilih jauh sebelum musda. Tidak heran jika pasca musda banyak parpol konflik karena kader parpol merasa terkhianati karena yang terpilih bukanlah kader yang ikut berkeringat membesarkan parpol,” bebernya
Kewajiban imbalan juga kerap dilakukan parpol pada saat suksesi kepala daerah.
Parpol mewajibkan mahar (candidatie buying) bagi siapa saja yang hendak dicalonkan.
Ferry menjelaskan, di momentum pemilu, sebagian parpol juga kerap memperjualbelikan KTA kepada siapa saja yang ingin menjadi caleg.
UU Pemilu menyebutkan bahwa syarat caleg harus memiliki KTA.
Meski bukan kader parpol, tapi jika seseorang memiliki KTA maka memungkinkan baginya memenuhi syarat menjadi caleg.
Pemilu 2019 dan pemilu sebelumnya, meski telah menggunakan sistim proporsional daftar terbuka (SPDTb), namun terdapat parpol membatalkan penetapan calon yang memiliki suara terbanyak dan menggantikannya dengan calon peraih suara lebih sedikit.
“Modusnya adalah membatalkan KTA,” terang Ferry.
Dijelaskan, SPDTt berpotensi makin menjadikan parpol makin korup.
Jika parpol memiliki kewenangan absolut menentukan siapa yang berhak menjadi anggota DPR/DPRD bisa jadi akan ditentukan oleh setoran tertinggi.
“Ada semacam sistem lelang. Pemenangnya ditentukan oleh tawaran tertinggi,” tutur Ferry.
SPDTt, ujar Ferry, sebetulnya sangat efektif membendung pemilih pragmatis dan calon yang kerap terbiasa menyuap pemilih pada setiap kali pemilu.
Dasar pemilih dalam memilih kerap ditentukan oleh imbalan dari calon, sehingga sebagian yang terpilih jauh dari standar yang diharapkan.
“SPDTt juga dapat mencegah persaingan tidak sehat antar calon dalam satu parpol yang sama serta SPDTt dapat menghindari adanya politisasi SARA dan konflik sosial akibat politik adu domba tim sukses calon,” jelasnya.
Terlepas dari itu, sistem mana yang baik, tambah Ferry, sangat ditentukan oleh kelembagaan parpol.
“Jika semua parpol memiliki kelembagaan baik, maka sistem apapun sama baiknya,” tandasnya.
(Alfrits Semen)