MINSEL – Dalam sebuah diskusi di grup Facebook, seorang member bernama Andi melempar wacana pentingnya warga Minahasa Selatan (Minsel) memilih calon bupati yang mapan kehidupan ekonominya.
“Pilih yang cerdas, religius. Cerdas intelektual dan cerdas emosional. Dan, tentu harus mapan juga ekonominya agar kesejahteraan rakyat tidak akan terabaikan, hanya karena si bupati sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Pilih Christiany Eugenia Tetty Paruntu tegas Andi.
“Ingat! Banyak orang sangat ambisi untuk menjadi kepala daerah hanya karena ingin memperkaya diri sendiri. Saat ini sudah sangat banyak bukti. Pilih saja yang sudah mapan ekonominya,” tambah Andi yang acapkali melemparkan topik-topik diskusi menarik di wall Facebook Tetty Paruntu.
Wacana yang digulirkan Andi tersebut seolah hendak menangkis wacana lain dalam konteks pilkada Minsel yang menyatakan bahwa sebaiknya pemimpin tidak dipilih karena uangnya, tetapi karena kemampuan, pengalaman, dan bukti perbuatannya. Soal pengalaman, kemampuan, dan track record memang tak terbantahkan bahwa itu mutlak diperlukan. Namun, soal wacana “jangan pilih karena uang” itu, diakui atau tidak, seolah diarahkan pada upaya pendelegitimasian kiprah Tetty Paruntu yang berlatar belakang pengusaha serta mandiri secara finansial.
Tetty Paruntu, yang sudah resmi dicalonkan Partai Golkar di pilkada Minsel, menekankan pentingnya kemandirian finansial bagi seseorang yang ingin menjadi politisi tangguh. Terlebih lagi kalau politisi tersebut berniat maju sebagai kandidat kepala daerah. Semua pihak pastilah sudah mafum bahwa rangkaian kegiatan menuju pemilihan kepala daerah bukan saja menguras tenaga fisik dan pikiran, tetapi juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan, sebuah partai besar di Sulut pun pernah mewacanakan, untuk bisa diusung sebagai calon bupati/walikota/gubernur, seorang kandidat minimal harus memiliki dana taktis 6 hingga 25 miliar rupiah.
Tetapi, mengapa dalam konteks pemilihan kepala daerah soal kemandirian finansial itu sangat penting di mata Tetty? “Kalau tidak mandiri finansial, dikhawatirkan akan terjadi ‘penggadaian’ kepentingan politik,” kata Tetty, putri Prof. Dr. Jopie Paruntu (mantan rektor Unsrat) dan Dra. Jennie J. Tumbuan (Ketua DPD PG Minsel) ini
Tetty memberi ilustrasi misalnya seorang kandidat—demi memenuhi kebutuhan operasional pencalonannya—kemudian meminta dukungan finansial atau sponsor dari pihak-pihak lain dengan menjanjikan; kalau nanti yang bersangkutan terpilih sebagai kepala daerah, pihak sponsorlah yang akan mendapatkan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBD.
“Dalam konteks di atas bisa kita lihat, bahwa calon-calon yang secara finansial tidak mapan, besar peluangnya secara leadership mereka juga tidak mapan. Kalau mereka terpilih, mereka ini akan lebih berpotensi untuk menyelewengkan dana APBD. Dibandingkan dengan calon yang secara finansial sudah mapan atau tidak membutuhkan dana sponsor dengan imbalan proyek APBD, misalnya!” tegas Tetty Paruntu yang juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan ini.
Namun, Tetty juga memahami bahwa ketidakmapanan maupun ketidakmandirian finansial tidak serta merta menjustifikasi bahwa sang calon pemimpin tersebut sudah pasti akan menyalahgunakan wewenangnya dalam pengelolaan keuangan suatu daerah. “Tidak selalu seperti itu, tetapi di sini kita bicara soal kemungkinan dan kecenderungan dalam politik. Sebab, pemilihan kepala daerah membutuhkan dukungan dana yang sangat besar. Dan, tidak jarang ada penilaian masyarakat tentang adanya pejabat-pejabat yang hanya berusaha memperkaya diri melalui jabatannya,” tegas Tetty.
Tetty yang menyelesaikan studinya di Inggris ini menambahkan, di negara-negara yang maju secara demokrasi kelembagaan dan kepemimpinan, masyarakatnya pun terkondisikan untuk lebih mengutamakan seorang calon pemimpin yang sudah mapan secara finansial. Contohnya di benua Amerika adalah USA. Kalau di benua Asia, contoh utamanya adalah Jepang atau Singapura.
“Kemapanan atau kemandirian finansial itu penting bagi masyarakat negara maju tersebut. Paling tidak hal itu akan memberikan jaminan atau memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat. Bahwa, anggaran pendapatan atau dana yang peruntukannya untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan suatu daerah tidak akan disalahfungsikan oleh pemimpin tersebut. Bisa kita bayangkan, bilamana seseorang yang akan dipilih sebagai pemimpin itu tidak mapan secara ekonomi, dan juga tidak mandiri secara finansial…,” jelas Tetty panjang lebar.
Itulah salah satu pembelajaran politik modern yang diusung Tetty Paruntu, calon bupati Minsel termuda saat ini. Tetty jelas mendukung wacana kemapanan ekonomi dan kemandirian finansial dalam kandidasi kepala daerah demi meminimalisir efek-efek negatif dari praktik ‘penggadaian’ kepentingan politik. Secara tersirat ini juga menandakan motivasi Tetty Paruntu untuk membawa Minsel dalam kemajuan dan kemandirian pembangunan ekonomi, agar kabupaten Minsel yang masih muda usianya ini mampu berkiprah maksimal di tingkat propinsi, nasional, bahkan internasional.