Manado – Bank Indonesia melalui Deputy Directur BI, A. Jusnang menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu menguatirkan peredaran koin rupiah. UU No. 7/2011 ttg mata uang dan Peraturan BI No 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di NKRI.
Menurutnya, pedoman ini jelas mengamanatkan kepada seluruh warga negara Indonesia harus menghargai nilai rupiah Indonesia sekecil apapun itu sebab koin rupiah ini sah sebagai alat transaksi yang sah.
“Jadi, tidak perlu kuatir karena undang-undang melindungi penggunaan koin rupiah mulai dari nominal 50, 100, 200, 500, 1000 masih berlaku sampai saat ini. Kan hanya oknum tertentu saja yang mungkin merasa tidak nyaman mengantongi koin-koin tersebut seolah koin rupiah mengganggu kenyamanannya masuk dalam kantong,” kata Jusnang ketika diwawancarai BeritaManado.com, akhir pekan ini.
Jusnang mengajak masyarakat apabila memiliki koin rupiah yang terkumpul di rumah bawalah ke bank terdekat atau ke mobil kas keliling Bank Indonesia perwakilan Sulawesi Utara. Masyarakat akan dilayani melalui unit layanan penukaran uang lusuh dan logam.
Jusnang berharap hal tersebut perlu perhatian mengingat biaya produksi yang sangat tinggi dan lebih jauh peran uang Rupiah berapapun nilainya sebagai alat pembayaran yang sah dan menjadi simbol kedaulatan bangsa Indonesia.
“NKRI harga mati, jika pola perilaku masyarakat Indonesia dalam memperlakukan uang logam rupiah sampai saat ini terus bertahan, patutlah Bank Indonesia akan terus melakukan produksi uang logam rupiah, tutup Jusnang.
Berikut informasi uang logam Rupiah yang masih berlaku: pecahan Rp.1000 tahun emisi 1993, Rp. 1000 tahun 2010, Rp. 500 tahun 2003, Rp. 200 tahun 2003, Rp. 100 tahun 1999 dan pecahan Rp. 50 tahun 1999.
Sebelumnya diberitakan, keberadaan uang logam pecahan Rp. 100 mulai ditolak masyarakat.
Seperti yang terpantau wartawan BeritaManado.com di terminal Karombasan, Jumat (6/1/2017) siang, seorang penumpang yang baru turun dari angkutan kota mikrolet jurusan Paal Dua – Karombasan menolak uang pengembalian seribu rupiah dalam bentuk pecahan 100 rupiah dari sopir angkot.
“Oh logam seratusan kote, ambe for ngana jo,” tutur penumpang tersebut dengan dialeg khas Manado.
Kepada wartawan BeritaManado.com, sang sopir mengaku sikap penumpang seperti itu sudah sering dialaminya.
Menurutnya, penumpang angkot cenderung tidak mau lagi menerima uang pengembalian pecahan 100 rupiah.
“Sudah sering seperti itu, sekitar 60 persen penumpang menolak, mungkin sudah saatnya pemerintah memikirkan apakah masih bisa uang pecahan 100 rupiah itu beredar,” harap sang sopir. (KarelSupit)