oleh Dr. Bert Adriaan Supit, Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu kenyataan sejarah yang bersandar pada terbentuknya Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Ideologi bersama Pancasila Bhineka Tunggal Ika yang merupakan kesepakatan sukarela berupa sebuah kontrak politik bangsa-bangsa yang mendiami sebuah kepulauan Nusantara yang sangat luas di kawasan Asia Tenggara melawan kolonialisme Belanda demi kesejahtraan semua bangsa-bangsa tsb bersama seluruh rakyatnya.
Namun, setelah hampir 66 tahun Indonesia merdeka, bangsa dan negara Indonesia terus saja mengalama bermacam-macam masalah yang sangat mendasar yang mengarah kepada kegagalan kontrak politik yang disepakati bersama. Apa kiranya kegagalan-kegagalan Indonesia (NKRI) selama hampir 66 tahun merdeka, yang perlu kita bersama telusuri untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih jelas tentang situasi jaman reformasi sekarang, sambil memikirkan terobosan2 alternatip kedepan demi mencapai suatu keadilan dan kesejahtraan daerah dan rakyatnya diseluruh Indonesia yang lebih merata dan bertanggung jawab?
Masalah Pertama dan terutama adalah realitas kegagalan idiologi dan politik Pancasila versus idiologi dan politik Islam yang sampai sekarang tetap mengambang dan menyelimuti asumsi keberhasilan para penguasa dan elit politik Indonesia / NKRI. Ada tanda2 kecenderungan bahwa idiologi agama Islam tetap sedang mengimbangi ideologi Pancasila Republik ini. Sejak hampir 66 tahun Republik Indonesia terbentuk, pertarungan tersebut sudah mulai berlangsung ketika terjadi konfrontasi antara kedua idiologi tersebut dalam panitia 9 BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang dilanjutkan dalam sidang pleno BPUPKI tsb.
Pertarungan antara kedua ideologi tsb kemudian dilanjutkan ke sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945 hari pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI dimana tuntutan delegasi Indonesia Timur yang dipelopori oleh DR. Sam Ratulangi akhirnya didengar untuk menolak ideologi yang berdasarkan agama (Islam) dengan disetujuinya Kontrak Politik Bangsa dan Negara Indonesia yakni Pancasila dan UUD Republik Indonesia yang bebas dari ideologi agama demi penyelamatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Generasi politik dan pemerintah NKRI yang sedang berkuasa sekarang nampaknya tidak menghiraukan lagi sejarah terbentuknya ’bangsa’ dan ’negara’ (nation-state) Indonesia di tahun 1945 yang berasal dari ’bangsa-bangsa’, ’budaya-budaya’ dan ’agama-agama’ yang sangat majemuk (plural) yang menduduki kepulauan Nusantara. Dari latar belakan kemajemukan itulah maka Ideologi Pancasila disetujui oleh PPKI di tahun 1945 untuk dijadikan landasan yang kokoh bagi Indonesia Merdeka. Distorsi interpretasi sejarah Gerakan ’Boedi Oetomo’ di tahun 1908 yang seakan-akan adalah suatu gerakan nasionalisme Indonesia, harus diluruskan generasi Indonesia sekarang karena Gerakan ’Budi Utomo di tahun 1908 tsb pada dasarnya adalah suatu gerakan pendidikan untuk kepentingan bangsa Jawa dan bukan untuk kepentingan bangsa-bangsa di seluruh kepulauan Nusantara; karena falsafah idiologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah Jatidiri bangsa Indonesia yang harus dilestarika dan diselamatkan.
Sebagai contoh bahwa Gerakan yang muncul di tahun 1908 adalah sebagai Gerakan ’Budi Oetomo’ Nasionalisme Jawa; maka bangsa Minahasa memulaikan Gerakan Nasionalisme Minahasa dengan membentuk ’Perserikatan Minahasa’ pada tahun 1909 yang merupakan benih nasionalisme bangsa Minahasa yang di tahun 1918 menuntut suatu ’zelfbestuur’ (otonomi sempura/merdeka) dari Belanda. Namun setahun kemudian di tahun 1919, sebagai reaksi tuntutan ’zelfbestuur’ untuk Minahasa, akhirnya terbentuklah ’Minahasa Raad’ (Dewan Minahasa) yang disetujui Belanda sebagai Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat Minahasa untuk pertama kali diseluruh kepulauan Indonesia.
Kesadaran Minahasa sebagai satu bangsa Indonesia yang senasib menghadapi penjajahan Belanda yang bersatu dari berbagai latar belakang bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara sebenarnya baru muncul di tahun 1928 oleh pemuda/i Indonesia yang disatukan di pulau Jawa oleh dorongan mencari pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, yang dikenal sebagai ’Sumpah Pemuda’. Kulminasi dari ’Sumpah Pemuda’ 1928 adalah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17/08/1945 yang disahkan sebagai suatu ’Kontrak Politik pada tanggal 18/08/1945 oleh PPKI. Dalam Kontrak Politik 1945 tsb yang didasarkan pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika semua golongan di Indonesia dipandang sama tinggi dan sama rendah dan tidak ada golongan yang dilindungi maupun yang melindungi golongan yang lain. Semua WNI kedudukannya sama dihadapan hukum negara. Tidak ada Hukum Islam dan Hukum Non Islam dalam Hukum Dasar Republik Indonesia. Dari aspek idiologis dan filosofis dasar Negara RI tidak mengenal mayoritas dan minoritas secara demokratis. Dan sebenarnya hal ini sudah final sejak tgl 18 Aguntus 1945’.
Namun tragedi dan ironi idiologi Bangsa dan Negara Indonesia berlanjut pada sidang Konstituante RI tahun 1959 yang menghasilkan ’deadlock’ antara golongan Islam yang menuntut idiologi/negara Islam dan golongan kebangsaan yang tetap mempertahankan idiologi negara Pancasila sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan ’Dekrit’ (yang tidak demokratis) pada tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 namun menyimpang dari roh Kontrak Politik 18 Agustus 1945 yang disepakati bersama para founding fathers Republik Indonesia.
Penyimpangan Soekarno dengan Dekritnya di tahun 1959 adalah bahwa UUD 1945 dibentuk berdasarkan jiwa ’Piagam Jakarta’. Dari penyimpangan Dekrit Soekarno inilah maka golongan Islam mulai membangun idiologinya sendiri yang ingin diberlakukan juga diseluruh negara hukum Republik Indonesia. Sejak 66 tahun Indonesia merdeka pertarungan idiologis (Islam atau Kebangsaan) ternyata sudah menelan jutaan korban manusia baik dipihak Islam maupun dipihak non Islam. Dan sampai sekarang sudah ada tidak kurang dari 1 PP dan 9 UU termasuk UU Pornografi yang yang bernuansa Agama Islam dan diberlakukan diseluruh Negara Hukum Indonesia. Bahkan Majalah ’Gatra’ sudah berani memprediksi ditahun 2006 yl bahwa selangkah lagi Negeri Syariah Islam Indonesia sudah akan terwujud. Apakah keadaan Ideologis Negara Republik Indonesia sekarang memang sudah ’deadlock’ lagi? (*/bersambung)
oleh Dr. Bert Adriaan Supit, Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu kenyataan sejarah yang bersandar pada terbentuknya Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Ideologi bersama Pancasila Bhineka Tunggal Ika yang merupakan kesepakatan sukarela berupa sebuah kontrak politik bangsa-bangsa yang mendiami sebuah kepulauan Nusantara yang sangat luas di kawasan Asia Tenggara melawan kolonialisme Belanda demi kesejahtraan semua bangsa-bangsa tsb bersama seluruh rakyatnya.
Namun, setelah hampir 66 tahun Indonesia merdeka, bangsa dan negara Indonesia terus saja mengalama bermacam-macam masalah yang sangat mendasar yang mengarah kepada kegagalan kontrak politik yang disepakati bersama. Apa kiranya kegagalan-kegagalan Indonesia (NKRI) selama hampir 66 tahun merdeka, yang perlu kita bersama telusuri untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih jelas tentang situasi jaman reformasi sekarang, sambil memikirkan terobosan2 alternatip kedepan demi mencapai suatu keadilan dan kesejahtraan daerah dan rakyatnya diseluruh Indonesia yang lebih merata dan bertanggung jawab?
Masalah Pertama dan terutama adalah realitas kegagalan idiologi dan politik Pancasila versus idiologi dan politik Islam yang sampai sekarang tetap mengambang dan menyelimuti asumsi keberhasilan para penguasa dan elit politik Indonesia / NKRI. Ada tanda2 kecenderungan bahwa idiologi agama Islam tetap sedang mengimbangi ideologi Pancasila Republik ini. Sejak hampir 66 tahun Republik Indonesia terbentuk, pertarungan tersebut sudah mulai berlangsung ketika terjadi konfrontasi antara kedua idiologi tersebut dalam panitia 9 BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang dilanjutkan dalam sidang pleno BPUPKI tsb.
Pertarungan antara kedua ideologi tsb kemudian dilanjutkan ke sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945 hari pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI dimana tuntutan delegasi Indonesia Timur yang dipelopori oleh DR. Sam Ratulangi akhirnya didengar untuk menolak ideologi yang berdasarkan agama (Islam) dengan disetujuinya Kontrak Politik Bangsa dan Negara Indonesia yakni Pancasila dan UUD Republik Indonesia yang bebas dari ideologi agama demi penyelamatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Generasi politik dan pemerintah NKRI yang sedang berkuasa sekarang nampaknya tidak menghiraukan lagi sejarah terbentuknya ’bangsa’ dan ’negara’ (nation-state) Indonesia di tahun 1945 yang berasal dari ’bangsa-bangsa’, ’budaya-budaya’ dan ’agama-agama’ yang sangat majemuk (plural) yang menduduki kepulauan Nusantara. Dari latar belakan kemajemukan itulah maka Ideologi Pancasila disetujui oleh PPKI di tahun 1945 untuk dijadikan landasan yang kokoh bagi Indonesia Merdeka. Distorsi interpretasi sejarah Gerakan ’Boedi Oetomo’ di tahun 1908 yang seakan-akan adalah suatu gerakan nasionalisme Indonesia, harus diluruskan generasi Indonesia sekarang karena Gerakan ’Budi Utomo di tahun 1908 tsb pada dasarnya adalah suatu gerakan pendidikan untuk kepentingan bangsa Jawa dan bukan untuk kepentingan bangsa-bangsa di seluruh kepulauan Nusantara; karena falsafah idiologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah Jatidiri bangsa Indonesia yang harus dilestarika dan diselamatkan.
Sebagai contoh bahwa Gerakan yang muncul di tahun 1908 adalah sebagai Gerakan ’Budi Oetomo’ Nasionalisme Jawa; maka bangsa Minahasa memulaikan Gerakan Nasionalisme Minahasa dengan membentuk ’Perserikatan Minahasa’ pada tahun 1909 yang merupakan benih nasionalisme bangsa Minahasa yang di tahun 1918 menuntut suatu ’zelfbestuur’ (otonomi sempura/merdeka) dari Belanda. Namun setahun kemudian di tahun 1919, sebagai reaksi tuntutan ’zelfbestuur’ untuk Minahasa, akhirnya terbentuklah ’Minahasa Raad’ (Dewan Minahasa) yang disetujui Belanda sebagai Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat Minahasa untuk pertama kali diseluruh kepulauan Indonesia.
Kesadaran Minahasa sebagai satu bangsa Indonesia yang senasib menghadapi penjajahan Belanda yang bersatu dari berbagai latar belakang bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara sebenarnya baru muncul di tahun 1928 oleh pemuda/i Indonesia yang disatukan di pulau Jawa oleh dorongan mencari pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, yang dikenal sebagai ’Sumpah Pemuda’. Kulminasi dari ’Sumpah Pemuda’ 1928 adalah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17/08/1945 yang disahkan sebagai suatu ’Kontrak Politik pada tanggal 18/08/1945 oleh PPKI. Dalam Kontrak Politik 1945 tsb yang didasarkan pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika semua golongan di Indonesia dipandang sama tinggi dan sama rendah dan tidak ada golongan yang dilindungi maupun yang melindungi golongan yang lain. Semua WNI kedudukannya sama dihadapan hukum negara. Tidak ada Hukum Islam dan Hukum Non Islam dalam Hukum Dasar Republik Indonesia. Dari aspek idiologis dan filosofis dasar Negara RI tidak mengenal mayoritas dan minoritas secara demokratis. Dan sebenarnya hal ini sudah final sejak tgl 18 Aguntus 1945’.
Namun tragedi dan ironi idiologi Bangsa dan Negara Indonesia berlanjut pada sidang Konstituante RI tahun 1959 yang menghasilkan ’deadlock’ antara golongan Islam yang menuntut idiologi/negara Islam dan golongan kebangsaan yang tetap mempertahankan idiologi negara Pancasila sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan ’Dekrit’ (yang tidak demokratis) pada tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 namun menyimpang dari roh Kontrak Politik 18 Agustus 1945 yang disepakati bersama para founding fathers Republik Indonesia.
Penyimpangan Soekarno dengan Dekritnya di tahun 1959 adalah bahwa UUD 1945 dibentuk berdasarkan jiwa ’Piagam Jakarta’. Dari penyimpangan Dekrit Soekarno inilah maka golongan Islam mulai membangun idiologinya sendiri yang ingin diberlakukan juga diseluruh negara hukum Republik Indonesia. Sejak 66 tahun Indonesia merdeka pertarungan idiologis (Islam atau Kebangsaan) ternyata sudah menelan jutaan korban manusia baik dipihak Islam maupun dipihak non Islam. Dan sampai sekarang sudah ada tidak kurang dari 1 PP dan 9 UU termasuk UU Pornografi yang yang bernuansa Agama Islam dan diberlakukan diseluruh Negara Hukum Indonesia. Bahkan Majalah ’Gatra’ sudah berani memprediksi ditahun 2006 yl bahwa selangkah lagi Negeri Syariah Islam Indonesia sudah akan terwujud. Apakah keadaan Ideologis Negara Republik Indonesia sekarang memang sudah ’deadlock’ lagi? (*/bersambung)