Pilar Demokrasi (Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Gagasan kesetaraan gender mencuat kembali sejalan dengan pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) di DPR RI. Perlu diketahui RUU ini merupakan bagian dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2012. Sempat muncul kabar bahwa draf RUU telah beredar di masyarakat, yang menjadi pangkal pro-kontra. Kalangan aktivis perempuan menilai RUU ini diperlukan untuk melawan ketertindasan kaum perempuan. Sementara kalangan konservatif,tegas menolak RUU ini lantaran dianggap menyalahi etika agama.
Sejauh mana perkembangan pembahasan RUU KKG di DPR? Inilah yang menjadi tema perbincangan prorgram Pilar Demokrasi, dari KBR68H dan Tempo TV. Perbincangan kali ini bersama tiga narasumber, masing-masing adalah Ida Fauziah (Ketua Komisi VIII DPR RI, Fraksi PKB), Ledia Hanifa Amaliah (Anggota Komisi VIII DPR RI, dari Fraksi PKS), dan Tati Krisnawati (aktivis perempuan).
Ida Fauziah menjelaskan, secara umum pihak yang menyetujui keberadaan RUU ini, berpandangan negara berkomitmen untuk membangun keadilan dan kesetaraan gender. Merujuk pada UUD 1945, yang memberikan jaminan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. “Komitmen yang seperti itu dirasa tidak cukup hanya berupa komitmen dalam UUD, tapi harus dielaborasi lebih dalam lagi, mengingat kenyataan masih dijumpai banyak ketimpangan gender,” jelas Ida.
Ledia Hanifa menuturkan, terkait proses legislasi RUU, pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa proses demokratisasi itu harus melibatkan masyarakat, termasuk pendidikan politik masyarakat. Perkara bahwa kemudian ada pro-kontra terhadap satu atau dua pasal adalah hal biasa, dan itu jadi masukan berharga bagi anggota DPR. “Kalau kemudian dinilai ada multitafsir soal pernikahan sejenis dan sebagainya, kita tidak bicara sampai sedalam itu, karena RUU masih draf sementara,” tambah Ledia
Tati Krisnawati menyayangkan polemik yang muncul di masyarakat seringkali di luar proporsi yang sebenarnya bukan esensi, seperti soal lebianisme, soal pilihan dalam berkeluarga, soal pilihan perempuan untuk menentukan pasangannya. Ini bentuk kegaduhan akibat cara melihat Rancangan UU ini dalam perspektif yang sangat sempit. “Padahal RUU ini memang dibutuhkan karena akan melengkapi dan menegaskan perlindungan negara terhadap keadilan dan kesetaraan seluruh warganya, laki-laki dan perempuan,” tambah Tati.
Ida menegaskan kembali soal realitas ketidakadilan gender, karenanya dibutuhkan payung hukum untuk memberikan kepastian terjaminnya keadilan dan kesetaraan gender. Ida memberi ilustrasi, angka melek huruf antara laki-laki dan perempuan itu masih tinggi laki-laki, akses terhadap kesehatan masih lebih tinggi laki-laki, dan seterusnya. “Berangkat dari masih banyaknya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, diperlukannya payung hukum untuk menjamin kepastian hukum bahwa tidak ada ketidakadilan gender,” tambah Ida.
Tati menandaskan, RUU harus dilihat secara komprehensif, tidak bisa mengkritisi pasal demi pasal, dan dilepaskan begitu saja dari dasar pikirannya, konsiderannya, dan tujuannya. Tentang perkawinan, menurut Tati, memang sudah ada UU Perkawinan, meski masih diskriminatif, masih ada multitafsir yang merendahkan perempuan dihadapan institusi perkawinan, di mana yang menjadi kepala keluarga hanya lelaki. (oke)
Pilar Demokrasi (Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Gagasan kesetaraan gender mencuat kembali sejalan dengan pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) di DPR RI. Perlu diketahui RUU ini merupakan bagian dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2012. Sempat muncul kabar bahwa draf RUU telah beredar di masyarakat, yang menjadi pangkal pro-kontra. Kalangan aktivis perempuan menilai RUU ini diperlukan untuk melawan ketertindasan kaum perempuan. Sementara kalangan konservatif,tegas menolak RUU ini lantaran dianggap menyalahi etika agama.
Sejauh mana perkembangan pembahasan RUU KKG di DPR? Inilah yang menjadi tema perbincangan prorgram Pilar Demokrasi, dari KBR68H dan Tempo TV. Perbincangan kali ini bersama tiga narasumber, masing-masing adalah Ida Fauziah (Ketua Komisi VIII DPR RI, Fraksi PKB), Ledia Hanifa Amaliah (Anggota Komisi VIII DPR RI, dari Fraksi PKS), dan Tati Krisnawati (aktivis perempuan).
Ida Fauziah menjelaskan, secara umum pihak yang menyetujui keberadaan RUU ini, berpandangan negara berkomitmen untuk membangun keadilan dan kesetaraan gender. Merujuk pada UUD 1945, yang memberikan jaminan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. “Komitmen yang seperti itu dirasa tidak cukup hanya berupa komitmen dalam UUD, tapi harus dielaborasi lebih dalam lagi, mengingat kenyataan masih dijumpai banyak ketimpangan gender,” jelas Ida.
Ledia Hanifa menuturkan, terkait proses legislasi RUU, pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa proses demokratisasi itu harus melibatkan masyarakat, termasuk pendidikan politik masyarakat. Perkara bahwa kemudian ada pro-kontra terhadap satu atau dua pasal adalah hal biasa, dan itu jadi masukan berharga bagi anggota DPR. “Kalau kemudian dinilai ada multitafsir soal pernikahan sejenis dan sebagainya, kita tidak bicara sampai sedalam itu, karena RUU masih draf sementara,” tambah Ledia
Tati Krisnawati menyayangkan polemik yang muncul di masyarakat seringkali di luar proporsi yang sebenarnya bukan esensi, seperti soal lebianisme, soal pilihan dalam berkeluarga, soal pilihan perempuan untuk menentukan pasangannya. Ini bentuk kegaduhan akibat cara melihat Rancangan UU ini dalam perspektif yang sangat sempit. “Padahal RUU ini memang dibutuhkan karena akan melengkapi dan menegaskan perlindungan negara terhadap keadilan dan kesetaraan seluruh warganya, laki-laki dan perempuan,” tambah Tati.
Ida menegaskan kembali soal realitas ketidakadilan gender, karenanya dibutuhkan payung hukum untuk memberikan kepastian terjaminnya keadilan dan kesetaraan gender. Ida memberi ilustrasi, angka melek huruf antara laki-laki dan perempuan itu masih tinggi laki-laki, akses terhadap kesehatan masih lebih tinggi laki-laki, dan seterusnya. “Berangkat dari masih banyaknya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, diperlukannya payung hukum untuk menjamin kepastian hukum bahwa tidak ada ketidakadilan gender,” tambah Ida.
Tati menandaskan, RUU harus dilihat secara komprehensif, tidak bisa mengkritisi pasal demi pasal, dan dilepaskan begitu saja dari dasar pikirannya, konsiderannya, dan tujuannya. Tentang perkawinan, menurut Tati, memang sudah ada UU Perkawinan, meski masih diskriminatif, masih ada multitafsir yang merendahkan perempuan dihadapan institusi perkawinan, di mana yang menjadi kepala keluarga hanya lelaki. (oke)