“Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio Jakarta”
Manado – Banyak program televisi yang bermasalah, terutama yang bergenre hiburan, umumnya cenderung melecehkan akal sehat dan mengeksploitasi tubuh (khususnya) perempuan. Hari-hari ini yang sedang ramai dibicarakan adalah program berjudul Kakek-kakek Narsis (KKN), yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta nasional. Menurut penelitian Remotivi, lembaga pemantau program televisi, acara itu dinilai lebih mengedepankan tubuh perempuan ketimbang menggali kualitas intelektualitas.
Program KKN telah memperoleh perhatian khusus dari Komnas Perempuan dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), selain berkat laporan Remotivi, program seperti KKN juga representasi dari program sejenis pada stasiun televisi di Tanah Air. Soal program KKN inilah yang menjadi tema perbincangan Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini mengundang dua narasumber, yaiti Roy Thaniago (Kordinator Remotivi), dan Azima (Komisioner KPI Pusat).
Roy Thaniago melihat, program KKN yang ditayangkan Transtv merupakan puncak gunung es dari bentuk pelecehan di televisi. Roy mengakui, Remotivi memiliki keterbatasan dalam melihat semua program, untuk sementara diprioritaskan pada difabilitas, transgender dan perempuan, sebagai pihak yang sering dilecehkan. Intinya, Remotivi sedang mengadvokasi opini publik, untuk menolak segala bentuk pelecehan di televisi. Roy menyebut contoh, pertandingan sepak bola atau talkshow di mana kameramen seringkali menyorot perempuan-perempuan cantik, fenomena ini membuktikan bahwa televisi memang dibangun berdasar persepsi laki-laki. “Kita melihat kekerasan yang kita pahami selama ini sebatas kekerasan fisik, tapi yang kita lihat di televisi, juga terjadi kekerasan secara psikologis, ironisnya, pemirsa pada umumnya menganggap itu bukan masalah,” jelas Roy.
Menurut Azima, sejak awal program KKN sebenarnya sudah dipantau KPI, saat pertama kali tayang bulan Oktober 2011, kemudian pada 9 November, KKN mendapat teguran pertama. Pada 9 Januari 2012 memperoleh teguran kedua, untuk tayangan 26 Desember 2011, di mana terdapat adegan perempuan yang berfungsi sebagai pemancing tawa atau penarik perhatian penonton dengan pakaian minim. Ditambah laporan dari Remotivi, semakin mendorong KPI mengevaluasi program ini.”Sudah dua kali memperoleh teguran, selanjutnya ada sanksi penghentian sementara atau pengurangan durasi,” jelas Azima.
Roy menegaskan, kepedulian Remotivi lebih dari sekadar perdebatan bagaimana model pakaian perempuannya, tapi bagaimana konsep acara dalam melihat perempuan. Roy berpendapat bahwa ada ketidaksetaraan relasi gender, tubuh perempuan dijadikan obyek, ada stereotipe dan kekerasan verbal, dan itu masuk kategori pelanggaran HAM berbasis gender. Roy mengajak membedakan dulu, mana yang gender, mana yang seksual. Seksual adalah bawaan dari lahir, seperti fungsi reproduksi dan seterusnya, sementara gender adalah peran atau konstruksi sosial yang diemban oleh perempuan. “Nah dalam masyarakat kita, relasi gender ini tidak setara, perempuan seringkali dianggap kelas dua, hingga tak mendapat hak semestinya,” tegas Roy.
Azima berpendapat senada, masih banyak program televisi kita, yang menempatkan perempuan sebagai penarik perhatian, melalui tubuhnya. KPI memandang, ada upaya pihak televisi untuk menarik perhatian dengan menyentuh alam bawah sadar para pemirsa, dalam hal ini kebutuhan akan seksual. “Karena citra perempuan dibentuk seperti itu, maka ketika ditemukan di angkot, di jalan, enak saja laki-laki main colek, media ikut berperan dalam membentuk persepsi. Nah, itu yang jadi concern kami di KPI,” tegas Azima. (is/*)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio Jakarta”
Manado – Banyak program televisi yang bermasalah, terutama yang bergenre hiburan, umumnya cenderung melecehkan akal sehat dan mengeksploitasi tubuh (khususnya) perempuan. Hari-hari ini yang sedang ramai dibicarakan adalah program berjudul Kakek-kakek Narsis (KKN), yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta nasional. Menurut penelitian Remotivi, lembaga pemantau program televisi, acara itu dinilai lebih mengedepankan tubuh perempuan ketimbang menggali kualitas intelektualitas.
Program KKN telah memperoleh perhatian khusus dari Komnas Perempuan dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), selain berkat laporan Remotivi, program seperti KKN juga representasi dari program sejenis pada stasiun televisi di Tanah Air. Soal program KKN inilah yang menjadi tema perbincangan Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini mengundang dua narasumber, yaiti Roy Thaniago (Kordinator Remotivi), dan Azima (Komisioner KPI Pusat).
Roy Thaniago melihat, program KKN yang ditayangkan Transtv merupakan puncak gunung es dari bentuk pelecehan di televisi. Roy mengakui, Remotivi memiliki keterbatasan dalam melihat semua program, untuk sementara diprioritaskan pada difabilitas, transgender dan perempuan, sebagai pihak yang sering dilecehkan. Intinya, Remotivi sedang mengadvokasi opini publik, untuk menolak segala bentuk pelecehan di televisi. Roy menyebut contoh, pertandingan sepak bola atau talkshow di mana kameramen seringkali menyorot perempuan-perempuan cantik, fenomena ini membuktikan bahwa televisi memang dibangun berdasar persepsi laki-laki. “Kita melihat kekerasan yang kita pahami selama ini sebatas kekerasan fisik, tapi yang kita lihat di televisi, juga terjadi kekerasan secara psikologis, ironisnya, pemirsa pada umumnya menganggap itu bukan masalah,” jelas Roy.
Menurut Azima, sejak awal program KKN sebenarnya sudah dipantau KPI, saat pertama kali tayang bulan Oktober 2011, kemudian pada 9 November, KKN mendapat teguran pertama. Pada 9 Januari 2012 memperoleh teguran kedua, untuk tayangan 26 Desember 2011, di mana terdapat adegan perempuan yang berfungsi sebagai pemancing tawa atau penarik perhatian penonton dengan pakaian minim. Ditambah laporan dari Remotivi, semakin mendorong KPI mengevaluasi program ini.”Sudah dua kali memperoleh teguran, selanjutnya ada sanksi penghentian sementara atau pengurangan durasi,” jelas Azima.
Roy menegaskan, kepedulian Remotivi lebih dari sekadar perdebatan bagaimana model pakaian perempuannya, tapi bagaimana konsep acara dalam melihat perempuan. Roy berpendapat bahwa ada ketidaksetaraan relasi gender, tubuh perempuan dijadikan obyek, ada stereotipe dan kekerasan verbal, dan itu masuk kategori pelanggaran HAM berbasis gender. Roy mengajak membedakan dulu, mana yang gender, mana yang seksual. Seksual adalah bawaan dari lahir, seperti fungsi reproduksi dan seterusnya, sementara gender adalah peran atau konstruksi sosial yang diemban oleh perempuan. “Nah dalam masyarakat kita, relasi gender ini tidak setara, perempuan seringkali dianggap kelas dua, hingga tak mendapat hak semestinya,” tegas Roy.
Azima berpendapat senada, masih banyak program televisi kita, yang menempatkan perempuan sebagai penarik perhatian, melalui tubuhnya. KPI memandang, ada upaya pihak televisi untuk menarik perhatian dengan menyentuh alam bawah sadar para pemirsa, dalam hal ini kebutuhan akan seksual. “Karena citra perempuan dibentuk seperti itu, maka ketika ditemukan di angkot, di jalan, enak saja laki-laki main colek, media ikut berperan dalam membentuk persepsi. Nah, itu yang jadi concern kami di KPI,” tegas Azima. (is/*)