(bagian akhir) – Kalau mau berhasil menjadi seorang pemimpin nasional yang professional, memenangkan hati rakyat dengan pendekatan budaya, religi, kerakyatan dan HAM dalam kondisi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang berwatak kepulauan, kemajemukan serta rentan konflik, kekerasan, dan kehancuran, maka sebaiknya meniti perjalanan karier itu secara zig-zag. Saya masih ingat, ketika Om Johny sampaikan hal itu, saya pernah bertanya, kenapa pendekatan zig-zag itu harus menjadi kritria Om Johny.
Om Johny, menjadikan pengalaman perjalanan kariernya sebagai referensi, bahwa seorang calon pemimpin nasional untuk Indonesia yang berciri kepulauan dan majemuk, sebaiknya pernah menjalani pengalaman karier, baik di wilayah territorial, daerah operasi dan pendidikan secara professional dan tuntas, baik di Jawa maupun daerah terpencil luar Jawa. Bertugas di Jawa dan di luar Jawa mempunyai point/nilai yang berbeda, apalagi di daerah sangat terpencil, daerah konflik dan kekerasan seperti di Papua, Maluku, Tim Tim. Hal mana menurut pengalaman Om Johny, ketika berkunjung ke lapangan sebagai Wakasad, bertemu dengan para panglima kodam, korem, dan kodim misalnya, mereka sering bertanya antara lain: “jenderal, kenapa saya belum bisa mengikuti pendidikan di Sekso ABRI atau Lemhanas?” Bahwa untuk menjadi peserta pendidikan di Lemhanas, harus menyelesaikan dan menuntaskan dulu pengalaman sebagai pemimpin territorial, bertugas di daerah operasi dengan multi dimensi, pernah menjadi dosen/instruktur. Jalur ini harus ditempuh secara zig-zag. Demikian pula untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu perlu dilihat zig-zag pengalamannya. Kalau belum sempurna, itu kewajiban MABES-AD untuk menatanya.
Menarik dari kiprah Om Johny mengelola profesionalisme keprajuritan bernafas kultural, religi, kerakyatan dan HAM di tingkat kepemimpinan nasional tersebut adalah, kecenderungan prajurit untuk terjebak dalam menggunakan isu atau alasan-alasan yang bersifat primordialistik seperti agama, etnis, dan sebagainya, termasuk kedekatan dengan pejabat pemimpin sebagai alasan menjustifikasi seseorang prajurit dalam pertaruhan meniti karier, tersingkir dengan sendirinya. Artinya, bagi Om Johny, mengelola profesionalisme keprajuritan dengan mengedepankan pertimbangan primordial sebagai alasan menjustifikasi perjalanan karier sama artinya dengan “mengeksploitasi potensi dan kekayaan kemajemukan masyakat, bangsa dan Negara itu demi kepentingan emosional dan menyesatkan sebagai calon pemimpin bangsa.” Tetapi menempatkan posisi dan peran kekayaan kemajemukan kultural, religi, kerakyatan dan aspirasi HAM sebagai modal sosial komunikasi dan dialog dalam mengelola profesionalisme keprajuritan pemimpin nasional merupakan pilihan mendasar dan strategis. (Pieter George Manoppo)
(bagian akhir) – Kalau mau berhasil menjadi seorang pemimpin nasional yang professional, memenangkan hati rakyat dengan pendekatan budaya, religi, kerakyatan dan HAM dalam kondisi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang berwatak kepulauan, kemajemukan serta rentan konflik, kekerasan, dan kehancuran, maka sebaiknya meniti perjalanan karier itu secara zig-zag. Saya masih ingat, ketika Om Johny sampaikan hal itu, saya pernah bertanya, kenapa pendekatan zig-zag itu harus menjadi kritria Om Johny.
Om Johny, menjadikan pengalaman perjalanan kariernya sebagai referensi, bahwa seorang calon pemimpin nasional untuk Indonesia yang berciri kepulauan dan majemuk, sebaiknya pernah menjalani pengalaman karier, baik di wilayah territorial, daerah operasi dan pendidikan secara professional dan tuntas, baik di Jawa maupun daerah terpencil luar Jawa. Bertugas di Jawa dan di luar Jawa mempunyai point/nilai yang berbeda, apalagi di daerah sangat terpencil, daerah konflik dan kekerasan seperti di Papua, Maluku, Tim Tim. Hal mana menurut pengalaman Om Johny, ketika berkunjung ke lapangan sebagai Wakasad, bertemu dengan para panglima kodam, korem, dan kodim misalnya, mereka sering bertanya antara lain: “jenderal, kenapa saya belum bisa mengikuti pendidikan di Sekso ABRI atau Lemhanas?” Bahwa untuk menjadi peserta pendidikan di Lemhanas, harus menyelesaikan dan menuntaskan dulu pengalaman sebagai pemimpin territorial, bertugas di daerah operasi dengan multi dimensi, pernah menjadi dosen/instruktur. Jalur ini harus ditempuh secara zig-zag. Demikian pula untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu perlu dilihat zig-zag pengalamannya. Kalau belum sempurna, itu kewajiban MABES-AD untuk menatanya.
Menarik dari kiprah Om Johny mengelola profesionalisme keprajuritan bernafas kultural, religi, kerakyatan dan HAM di tingkat kepemimpinan nasional tersebut adalah, kecenderungan prajurit untuk terjebak dalam menggunakan isu atau alasan-alasan yang bersifat primordialistik seperti agama, etnis, dan sebagainya, termasuk kedekatan dengan pejabat pemimpin sebagai alasan menjustifikasi seseorang prajurit dalam pertaruhan meniti karier, tersingkir dengan sendirinya. Artinya, bagi Om Johny, mengelola profesionalisme keprajuritan dengan mengedepankan pertimbangan primordial sebagai alasan menjustifikasi perjalanan karier sama artinya dengan “mengeksploitasi potensi dan kekayaan kemajemukan masyakat, bangsa dan Negara itu demi kepentingan emosional dan menyesatkan sebagai calon pemimpin bangsa.” Tetapi menempatkan posisi dan peran kekayaan kemajemukan kultural, religi, kerakyatan dan aspirasi HAM sebagai modal sosial komunikasi dan dialog dalam mengelola profesionalisme keprajuritan pemimpin nasional merupakan pilihan mendasar dan strategis. (Pieter George Manoppo)