Manado, BeritaManado.com — Indonesia masih berkomitmen mencapai target yang ditetapkan pada Paris Agreement 2015 lalu, apalagi Indonesia memiliki semua potensi energi terbarukan. Dari data Kementerian ESDM, sumber energi terbarukan di Indonesia berdasarkan potensinya dari yang terbesar hingga terkecil yaitu tenaga surya, air, angin, panas bumi dan bioenergi mencakup mini dan micro hidro hingga arus laut.
Hal itu pernah dibahas oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat menjadi pembicara pada forum diskusi internasional, United States Power Working Group for Indonesia (PWG) bertema Oppurtunities In Renewable Energy, Including The Draft Of The New Predential Decree And The Omnibus Bill Impact On Renewable Energy Sector, secara virtual di awal tahun 2021.
Sebagai daerah dengan iklim tropis, maka tidak mengherankan jika tenaga Surya memiliki potensi terbesar karena Indonesia memang mendapat asupan cahaya matahari sepanjang tahun.
Bicara soal transisi energi dari konvensional ke energi baru terbarukan, Indonesia menjadi negara yang baru memulai, jika dibandingkan dengan negara lain, sebut saja Jerman yang sudah terlihat perubahannya.
Agus Praditya Tampubolon selaku Project Manager Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia mengungkapkan betapa pentingnya transisi energi di Indonesia, diantaranya untuk memastikan ketahanan energi jangka panjang, memenuhi target perubahan iklim, mengantisipasi terjadinya potensi aset yang terdampar (stranded asset) dari pembangkit fosil serta mengukur dan mengelola potensi pengurangan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dari sumber-sumber energi fosil di tingkat nasional dan daerah.
“Untuk itu, transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia perlu disiapkan dengan baik,” ujar Agus dalam pelatihan jurnalistik transisi energi yang digelar CASE-IESR-SIEJ di kuarter 3 tahun 2021.
Agus pun mengingatkan 3 hal yang harus dilakukan dalam mewujudkan transisi energi di Indonesia, seperti mendorong perubahan kebijakan energi yang diterapkan oleh Kementerian ESDM yang merupakan dasar untuk implementasi aktual, agenda politik yang harus difokuskan pada pentingnya transisi energi terutama untuk kebijakan publik dan tentu saja meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat tentang pentingnya transisi energi.
Namun, masih ada kendala yang ditemui diantaranya yaitu soal harga, di mana semakin besar panel maka semakin besar pula energi yang dihasilkan. Lokasi dipasangnya panel solar Cell harus sesuai, terutama tingkat kemiringan, bukan daerah hutan, rawa dan sebagainya.
Selain itu, soal pemerintahan yang terkesan belum memberi perhatian besar kepada yang namanya transisi energi.
Sementara, terkait permasalahan dan kendala yang dihadapi, Agus mengatakan, tetap harus dari pemerintah sendiri dibutuhkan political Will, dan itu bukan sesuatu yang bisa diatur dari luar.
“Yang bisa lakukan adalah kita memperlengkapi pengetahuan mereka, kita berikan advokasi dan mungkin lewat media, selalu dibombardir. Jadi diarahkan pemikirannya bahwa yang seperti ini loh, harus kita ganti ke energi terbarukan. Dengan sesuatu yang terstruktur mungkin bisa dapat berpengaruh di political Will. Itu kita gak tahu juga karena ini bukan seperti soal 1+1=2. Tapi yang bisa juga kita lakukan adalah terus mendorong pemerintah untuk mulai melihat energi terbarukan ini,” jelas Agus.
(srisurya)