Manado – Praktisi Hukum, Maximus Watung SH mengatakan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers perlu direvisi untuk menegaskan kembali perlindungan terhadap kerja para jurnalis. Karena pasal-pasal dalam UU tersebut tidak secara tegas mengamanatkan hal tersebut, melainkan hanya pada perusahaan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado secara tegas menyerukan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis.
“Ada persoalan dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Ini perlu direvisi, karena tidak secara tegas mengatur tentang perlindungan terhadap wartawan,” ujar Watung dalam obrolan pagi dengan topik Kekerasan dan Perlindungan Terhadap Jurnalis yang digelar AJI Manado, belum lama ini, di Cafe Leeci Jalan Sam Ratulangi Nomor 178 Manado.
Watung memaparkan, dalam Bab III Wartawan, Pasal 8 disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Selanjutnya dalam VIII Ketentuan Pidana Pasal 18 ayat (1) disebutkan orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
“Persoalannya dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) berbicara tentang pers nasional, dan bukan pribadi wartawan. Sehingga perlindungan terhadap wartawan dalam UU Nonor 40 ini tidak tegas. Pasal 8 saya sebut sebagai pasal banci,” tegas pengacara muda ini.
Sementara itu akademisi dari Unsrat Manado, Mahyudin Damis mengatakan, kekerasan yang terjadi pada wartawan juga dipicu oleh ulah oknum-oknum yang selama ini mengaku sebagai wartawan yang tindak-tanduknya meresahkan masyarakat. Akibat ulah mereka, lanjut Mahyudin, dampaknya diterima oleh kawan-kawan yang memang berprofesi sebagai wartawan.
“Tindakan kekerasan ini bisa jadi merupakan akumulasi dari ulah oknum tertentu yang mengaku wartawan yang selama ini meresahkan masyarakat. Untuk itu wartawan perlu untuk meningkatkan profesionalisme dan etika dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik,” papar Mahyudin.
Terhadap kekerasan terhadap jurnalis apapun alasannya, baik Watung maupun Mahyudin secara tegas menolaknya. “Kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun di negeri Pancasila ini tidak dibenarkan,” tegas Watung.
Pembicara terakhir, Ketua AJI Manado Yoseph E Ikanubun menegaskan kembali, pentingnya jurnalis menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugas-tugasnya. “Kode etik ini sebagai perisai yang melindungi kerja jurnalis, sehingga patut dijunjung tinggi. Jika toh masih ada pengaduan dari pihak tertentu terkait produk jurnalistik, silahkan menempuh mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40. Meski UU Pers ini masih memiliki kekurangan, namun cantolan hukum ini harus digunakan sebagai acuan dalam setiap sengketa yang melibatkan jurnalis,” papar Ikanubun yang didampingi Sekretaris AJI Manado, Ishak Kusrant.
Obrolan pagi yang dipandu Koordinator Divisi Advokasi AJI Manado, Budi Susilo ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang intinya komitmen untuk melindungi jurnalis dari aksi kekerasan.(*/gnf)
Manado – Praktisi Hukum, Maximus Watung SH mengatakan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers perlu direvisi untuk menegaskan kembali perlindungan terhadap kerja para jurnalis. Karena pasal-pasal dalam UU tersebut tidak secara tegas mengamanatkan hal tersebut, melainkan hanya pada perusahaan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado secara tegas menyerukan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis.
“Ada persoalan dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Ini perlu direvisi, karena tidak secara tegas mengatur tentang perlindungan terhadap wartawan,” ujar Watung dalam obrolan pagi dengan topik Kekerasan dan Perlindungan Terhadap Jurnalis yang digelar AJI Manado, belum lama ini, di Cafe Leeci Jalan Sam Ratulangi Nomor 178 Manado.
Watung memaparkan, dalam Bab III Wartawan, Pasal 8 disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Selanjutnya dalam VIII Ketentuan Pidana Pasal 18 ayat (1) disebutkan orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
“Persoalannya dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) berbicara tentang pers nasional, dan bukan pribadi wartawan. Sehingga perlindungan terhadap wartawan dalam UU Nonor 40 ini tidak tegas. Pasal 8 saya sebut sebagai pasal banci,” tegas pengacara muda ini.
Sementara itu akademisi dari Unsrat Manado, Mahyudin Damis mengatakan, kekerasan yang terjadi pada wartawan juga dipicu oleh ulah oknum-oknum yang selama ini mengaku sebagai wartawan yang tindak-tanduknya meresahkan masyarakat. Akibat ulah mereka, lanjut Mahyudin, dampaknya diterima oleh kawan-kawan yang memang berprofesi sebagai wartawan.
“Tindakan kekerasan ini bisa jadi merupakan akumulasi dari ulah oknum tertentu yang mengaku wartawan yang selama ini meresahkan masyarakat. Untuk itu wartawan perlu untuk meningkatkan profesionalisme dan etika dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik,” papar Mahyudin.
Terhadap kekerasan terhadap jurnalis apapun alasannya, baik Watung maupun Mahyudin secara tegas menolaknya. “Kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun di negeri Pancasila ini tidak dibenarkan,” tegas Watung.
Pembicara terakhir, Ketua AJI Manado Yoseph E Ikanubun menegaskan kembali, pentingnya jurnalis menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugas-tugasnya. “Kode etik ini sebagai perisai yang melindungi kerja jurnalis, sehingga patut dijunjung tinggi. Jika toh masih ada pengaduan dari pihak tertentu terkait produk jurnalistik, silahkan menempuh mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40. Meski UU Pers ini masih memiliki kekurangan, namun cantolan hukum ini harus digunakan sebagai acuan dalam setiap sengketa yang melibatkan jurnalis,” papar Ikanubun yang didampingi Sekretaris AJI Manado, Ishak Kusrant.
Obrolan pagi yang dipandu Koordinator Divisi Advokasi AJI Manado, Budi Susilo ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang intinya komitmen untuk melindungi jurnalis dari aksi kekerasan.(*/gnf)