Minsel, BeritaManado.com – Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) angkat bicara terkait kabar yang menyebutkan Bupati Minsel Franky Wongkar melarang penghayat Lalang Rondor Malesung (Laroma) untuk melakukan ritual bulan purnama.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Minsel Roy Mandey kepada BeritaManado.com mengatakan, Bupati Minsel Franky Wongkar tidak pernah mengeluarkan pernyataan melarangan komunitas Laroma untuk menjalankan ritual keagamaan pada Rabu (13/7/2022) malam.
“Tidak pernah ada pernyataan semacam itu. Itu opini sesat dan terlalu mengada-ngada,” tegas Mandey, Jumat (15/7/2022).
Justru menurut Mandey, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan di bawah kepemimpinan Bupati Franky Wongkar dan Wakil Bupati Petra Rembang memiliki visi pengayom dan melindungi segenap masyarakat Minahasa Selatan apapun golongan agamanya.
“Kami memastikan informasi itu adalah miss leading. Justru Pemkab Minsel baru-baru ini menggelar kegiatan sosialisasi hak-hak warga penghayat kepercayaan Tuhan yang Maha Esa yang menghadirkan Direktorat Kepercayaan TYME Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Dan salah satu pesertanya adalah dari komunitas Laroma. Itu adalah bukti bahwa pemerintah melindungi semua golongan kepercayaan termasuk hak-hak para penghayat TYME seperti Laroma,” terangnya.
Mandey meminta masyarakat untuk tidak termakan dengan informasi-informasi sesat semacam itu.
Sebelumnya diberitakan, usai kegiatan sosialisasi hak-hak warga penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (TYME) yang dilakukan di kantor Bupati Minsel oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap TYME Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi pada Selasa (12/7/2022), terjadi pemanggilan kepada Ketua Umum Laroma Iswan Sual oleh Bupati Minsel yang meminta Laroma agar tidak menjalankan ritual bulan purnama.
“Benar, kami pada malam bulan purnama diminta untuk tidak menjalankan ritual Maso’ Sico’o,” ujar Iswan Sual.
Hal itu menuai kecaman dari Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur Denni Pinontoan.
Menurut Denni, ada paradoks, ambiguitas, atas langkah politis Bupati Minahasa Selatan yang sangat diskriminatif ini.
Pasalnya, banyak organisasi atau komunitas yang di malam purnama Rabu (13/7/2022) mengamalkan tradisi dan ritual Malesung di Watu Pinawetengan secara bebas, tetapi pada waktu yang sama para penghayat dari Lalang Rondor Malesung (Laroma) dilarang melakukan ritual Maso’ Sico’o, tradisi leluhur Minahasa yang sudah eksis diperkirakan antara abad ke-4 dan 7 Masehi.
Di sisi lain, Denni juga mempertanyakan penyelesaian kasus perusakan Wale Paliusan, tempat Laroma rutin mengamalkan ritual Maso’ Sico’o pada Juni lalu.
Baginya, pembiaran aparat penegak hukum terhadap pelaku yang sejak 21 dan 22 Juni lalu melakukan penghancuran Wale Paliusan di Tondei Dua adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pembiaran polisi dan aparat hukum lainnya terhadap penghancuran tersebut di atas sama artinya negara melakukan kejahatan HAM (crime by omission).
(Finda Muhtar)