Manado – Pengucapan terkesan dipaksakan dan keluar dari substansi pengucapan untuk mengucap syukur atas hasilpanen. Seharusnya pengucapan ditetapkan oleh gereja bukan pemerintah, pemerintah sebatas memfasilitasi.
Demikian pendapat tokoh masyarakat, Jeffry R. Montolalu, menyikapi tradisi pengucapan yang rutin dilaksanakan masyarakat Minahasa raya yang waktu pelaksanaannya diatur oleh pemerintah.
“Pengucapan lahir murni dari iman orang percaya, mengucap syukur atas hasil panen raya, tapi hasil panen jangan dipaksakan secara serentak karena tidak semua wilayah panen bersamaan, kemudian dipaksakan hingga mengutang di mana-mana, di mana makna pengucapan itu? Seremoni pengucapan syukur dikembalikan ke masing-masing jemaat, biarlah jemaat yang menentukan bukan pemerintah,” ujar Jeffry Montolalu kepada BeritaManado.com, Jumat (11/8/2017).
Hal lainnya yang disorot dari pengucapan syukur, lanjut Jeffry Montolalu, yakni kenyamanan masyarakat yang bepergian ke pengucapan, pemerintah harus menjamin kelancaran lalulintas, terutama di titik-titik tertentu ruas rawan macet.
“Jangan sampai hanya menggelar pengucapan tapi tidak ada petugas dinas perhubungan yang melakukan penjagaan di ruas-ruas tertentu yang rawan macet. Jadi, dari banyak sisi pengucapan syukur telah keluar dari substansi mengucap syukur,” tukas Jeffry Montolalu. (JerryPalohoon)