Amurang – Patut menjadi contoh bagi daerah lain, dimana masyarakat Desa Tiniawangko, Kecamatan Sinonsayang, Minahasa Selatan (Minsel) hidup berdampingan antara umat Kristen dan umat Muslim, sejak puluhan tahun hingga kini tetap terjalin tanpa adanya perselisihan.
Desa yang terletak dipedalaman, yang cukup jauh dari jalan utama dengan jalan yang sedang diperbaiki nampak sibuk di pagi dan siang hari. Tapi menariknya ketersediaan listrik sudah ada sejak dahulu, meski akses jalan itu hanya satu-satunya menuju ke Desa Tiniawangko.
Hukum Tua Desa Tiniawangko Rivo Manengkey membenarkan ke dua agama ini hidup rukun dan damai hingga kini sedangkan batasanya hanya jalan utama desa yang membagi kedua agama tersebut.
“Disaat Natal umat Muslim pasiar, begitu pulah sebaliknya saat Idul Fitri umat Kristen pasiar. Sedangkan keamanan saling menjaga antar kedua agama ini,” ujar Manengkey, saat bersua dengan BeritaManado.com belum lama ini.
Desa Tiniawangko diduga banyak menyimpan emas, dimana konon Belanda pernah membuka lahan itu menjadi perkebunan pohon karet, sehingga awalnya penduduk setempat hanya karyawan. Karena jaraknya cukup jauh maka perlahan-lahan mendirikan tempat tinggal sementara.
Untuk itulah orang Belanda menamakan Tiniawangko yang berarti tanah/perkebunan besar dan awalnya tanah Erpak yang sekarang beralih status tanah HGU yang luas perkebunannya kurang lebih 300 Hektar.
Menurut cerita masuknya umat muslim ini, yang adalah pekerja Belanda berasal dari Gorontalo yang bekerja memanen getah pohon karet. Bersamaan pulah dengan umat Kristiani yang panen getah dari pohon karet, sambil mendiami lokasi dekat perkebunan.
Sampai lama kelamaan menjadi suatu dusun yang diberi nama Dusun Jauh Ongkaw. Karena sudah cukup banyak masyarakat yang mendiami lokasi itu, sampai menjadi devinitif pada tahun 1975.
“Memang tua-tua kampung sejak dahulu sudah memikirkanya agar tidak menjadi persoalan dikemudian harti ditentukan letak atau lokasi yang masi satu desa dimana khusus umat Kristen dan umat Muslim. Akan hal ini, menjadi kebanggaan masyarakat sekarang ini, dikarenakan sepajang berdirinya desa kami, tidak pernah terjadi konflik agama. Dan ini menjadi suatu kebanggaan bagi saya sebagai pemerintah desa ini sangatlah bangga karena kerukunan umat beragama tetap terpelihara,” papar Hukum Tua yang murah senyum ini. (sanlylendongan)
Amurang – Patut menjadi contoh bagi daerah lain, dimana masyarakat Desa Tiniawangko, Kecamatan Sinonsayang, Minahasa Selatan (Minsel) hidup berdampingan antara umat Kristen dan umat Muslim, sejak puluhan tahun hingga kini tetap terjalin tanpa adanya perselisihan.
Desa yang terletak dipedalaman, yang cukup jauh dari jalan utama dengan jalan yang sedang diperbaiki nampak sibuk di pagi dan siang hari. Tapi menariknya ketersediaan listrik sudah ada sejak dahulu, meski akses jalan itu hanya satu-satunya menuju ke Desa Tiniawangko.
Hukum Tua Desa Tiniawangko Rivo Manengkey membenarkan ke dua agama ini hidup rukun dan damai hingga kini sedangkan batasanya hanya jalan utama desa yang membagi kedua agama tersebut.
“Disaat Natal umat Muslim pasiar, begitu pulah sebaliknya saat Idul Fitri umat Kristen pasiar. Sedangkan keamanan saling menjaga antar kedua agama ini,” ujar Manengkey, saat bersua dengan BeritaManado.com belum lama ini.
Desa Tiniawangko diduga banyak menyimpan emas, dimana konon Belanda pernah membuka lahan itu menjadi perkebunan pohon karet, sehingga awalnya penduduk setempat hanya karyawan. Karena jaraknya cukup jauh maka perlahan-lahan mendirikan tempat tinggal sementara.
Untuk itulah orang Belanda menamakan Tiniawangko yang berarti tanah/perkebunan besar dan awalnya tanah Erpak yang sekarang beralih status tanah HGU yang luas perkebunannya kurang lebih 300 Hektar.
Menurut cerita masuknya umat muslim ini, yang adalah pekerja Belanda berasal dari Gorontalo yang bekerja memanen getah pohon karet. Bersamaan pulah dengan umat Kristiani yang panen getah dari pohon karet, sambil mendiami lokasi dekat perkebunan.
Sampai lama kelamaan menjadi suatu dusun yang diberi nama Dusun Jauh Ongkaw. Karena sudah cukup banyak masyarakat yang mendiami lokasi itu, sampai menjadi devinitif pada tahun 1975.
“Memang tua-tua kampung sejak dahulu sudah memikirkanya agar tidak menjadi persoalan dikemudian harti ditentukan letak atau lokasi yang masi satu desa dimana khusus umat Kristen dan umat Muslim. Akan hal ini, menjadi kebanggaan masyarakat sekarang ini, dikarenakan sepajang berdirinya desa kami, tidak pernah terjadi konflik agama. Dan ini menjadi suatu kebanggaan bagi saya sebagai pemerintah desa ini sangatlah bangga karena kerukunan umat beragama tetap terpelihara,” papar Hukum Tua yang murah senyum ini. (sanlylendongan)