Oleh: Dr ML Denny Tewu SE MM (DT). Akademisi (Universitas Kristen Indonesia, Jakarta). Politisi (Mantan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera). Pemimpin Politik Kristen (Majalah Narwastu). Pemimpin Pancasila (Yayasan Indonesia Satu). Profesional (Presiden Komisaris Kresna Insurance Tbk & Kresna Ventura Kapital).
Manado, BeritaManado.com – Kota yang memiliki sekolah-sekolah yang berkualitas tentu berdampak kepada output sumber daya manusia yang berkualitas pula, dampaknya tentu kepada kemajuan dan kesejahteraan kota itu sendiri. Seperti motto University of San Francisco (USF) di Amerika, ‘Change the world from here’. Persoalannya bagaimana mewujudkannya tanpa menghilangkan makna sila ke-5 dalam Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbicara tentang sekolah berarti bicara tentang pendidikan. Dan bicara tentang pendidikan di Indonesia sekarang ini tentunya menjadi penting dan menarik. Karena banyak orangtua dihadapkan pada pendidikan yang mahal. Mahal memang relatif, tapi jika sudah lebih banyak orangtua yang mengeluh susahnya memasukkan anak ke sekolah, baik itu di SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi, masalahnya bukan lagi hanya karena penerapan berbagai peraturan baru, tapi lebih kepada biaya yang tinggi. Peraturan baru bisa saja dimunculkan kalau tujuannya untuk kebaikan pendidikan di Indonesia, tapi jika sudah sampai membebani masyarakat hal ini seharusnya menjadi kajian ulang untuk memberi solusi yang terbaik.
Mahalnya biaya pendidikan telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ada benarnya jika dikatakan, pendidikan yang bermutu itu mahal. Tapi jika kita mengaminkan saja ucapan ini bagaimana dengan dunia pendidikan kita ke depannya? Apakah anak bangsa yang tidak mampu tidak berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu padahal mereka adalah anak-anak yang pandai?
Bukankah tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang ditulis dalam Pembukaan UUD 1945? Bagaimana bisa mencapai tujuan tersebut jika pendidikan masih menjadi masalah di negara ini karena biaya pendidikan yang tinggi? Dan pendidikan yang bermutu hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu secara financial.
Kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) di satu sisi, itu baik, tapi menjadi tidak tepat pada realitanya. Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS mensyaratkan adanya unsur pengusaha. Dan mereka yang duduk dalam Komite Sekolah ini adalah mereka yang menerapkan peraturan-peraturan yang bisa saja memberatkan siswa. Sebab kemampuan mengenali kemampuan para orangtua dan kebutuhan siswa bisa jadi tidak menjadi prioritas utama ketika membuat peraturan.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun tampaknya tetap menjadi masalah jika masing-masing pihak berlindung pada berbagai alasan. Dan daripada berdebat dengan alasan-alasan, sebaiknya berpulang pada diri kita, sejauhmana kita dapat berkontribusi untuk menyelesaikan biaya pendidikan yang mahal tersebut.
Dalam firman Tuhan tertulis :”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Yeremia 29:7). Ini artinya adalah bahwa kita, bahwa gereja harus bisa berperan aktif untuk ikut menyelesaikan masalah yang ada di sekitarnya. Berdoa itu baik, sungguh sangat baik, tapi akan menjadi lengkap kebaikannya jika kita melakukan tindakan nyata.
Terkait masalah pendidikan, kita bisa bertindak untuk masuk dalam Komite Sekolah. Atau bisa menghimpun pandangan dari para orangtua murid bagaimana agar biaya pendidikan tidak memberatkan siswa yang kurang mampu. Himpunan pandangan itu bisa dimasukkan pada komite sekolah, atau lebih jauh lagi pada pihak-pihak terkait.
Kepada masing-masing orang, Tuhan telah memberikan talenta. Talenta yang tidak hanya untuk disimpan sendiri atau untuk keluarganya saja, tetapi juga untuk masyarakat. Jika dalam satu kota masyarakat terdidiknya lebih banyak, maka sejahtera lah kota itu, tapi sebaliknya jika lebih banyak anak-anak yang tidak mendapat pendidikan, dan kalau pun mendapat pendidikan, itu seadanya, maka bersiaplah kita mendapati sebuah kota yang tidak aman. Jika kota kita tidak sejahtera dampaknya kita pun akan mengalami ketidaksejahteraan.
Kata mengusahakan dalam firman Tuhan di atas, itu mengharuskan kita bergerak. Mungkin memang tidak langsung berurusan dengan sekolah, tapi kita bisa mengadakan “sekolah” untuk anak-anak jalanan, keluarga pra sejahtera dan sebagainya. Dan jika nantinya saya duduk dalam DPD RI periode 2019-2024, saya berharap dapat memberikan kontribusi pemikiran tentang pendidikan di Indonesia, yang seharusnya merata untuk seluruh anak bangsa. Pemikiran-pemikiran yang mendorong lahirnya kebijakan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, tanpa diskriminasi.
Hidup sejahtera berkeadilan itu pada kenyataannya tidak datang dengan sendirinya, tapi harus diusahakan. Indonesia sudah memiliki peraturan UU nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini dikatakan anak berusia 7-15 tahun berhak untuk mendapatkan pendidikan minimal pada jenjang dasar tanpa adanya pungutan biaya karena seluruh biaya ditanggung pemerintah. Dengan undang-undang ini sudah kah bisa dikatakan rakyat mendapat kesejahteraan? Iya, jika implementasinya tidak ada pungutan lain yang dilakukan sekolah. Tapi realitanya, tetap ada pungutan yang memberatkan.
Tidak sampai di situ saja, pendidikan yang bermutu harus diusahakan antara sekolah yang tidak memungut bayaran, dan sekolah berbayar, artinya sekolah swasta. Azas keadilan harus bisa dirasakan oleh seluruh siswa di sekolah. Jangan sampai siswa pintar dan berprestasi tapi tidak mampu, tidak bersekolah. Kalau sampai hal ini yang terjadi, maka SDM kita akan kalah bersaing dengan tenaga asing, dan hal ini akan berdampak pula pada perekonomian.
Yang tidak kalah pentingnya adalah agar siswa juga bisa berlanjut ke Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri. (PTN). Jangan biarkan PTN yang sudah berubah status menjadi BHMN dibiarkan berjalan sendiri, karena tanpa subsidi operasional dari pemerintah, BHMN mencari pendanaan operasionalnya dari mahasiswa. Dan ini yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan.
Kesejahteraan yang berkeadilan tetap harus melibatkan semua pihak yang terkait. Tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah maupun kampus untuk masalah biaya pendidikan dan mutu pendidikan. Turut campur tangan pemerintah, legislatif dan masyarakat tetap dibutuhkan agar hidup sejahtera berkeadilan dapat berjalan. Kuncinya adalah, kita tidak hidup hanya untuk diri sendiri dan kelompok dan golongan saja. Kontribusi bersama agar pendidikan dapat merata, dan kota dapat sejahtera, harus menjadi tanggung jawab kita. Harusnya Universitas di Sulut atau Kota Manado bisa juga punya quote seperti : ‘Pusat Studi / Kota Bhineka Tunggal Ika’ sebagai ikon Pluralisme.
(***/PaulMoningka)
Oleh: Dr ML Denny Tewu SE MM (DT). Akademisi (Universitas Kristen Indonesia, Jakarta). Politisi (Mantan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera). Pemimpin Politik Kristen (Majalah Narwastu). Pemimpin Pancasila (Yayasan Indonesia Satu). Profesional (Presiden Komisaris Kresna Insurance Tbk & Kresna Ventura Kapital).
Manado, BeritaManado.com – Kota yang memiliki sekolah-sekolah yang berkualitas tentu berdampak kepada output sumber daya manusia yang berkualitas pula, dampaknya tentu kepada kemajuan dan kesejahteraan kota itu sendiri. Seperti motto University of San Francisco (USF) di Amerika, ‘Change the world from here’. Persoalannya bagaimana mewujudkannya tanpa menghilangkan makna sila ke-5 dalam Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbicara tentang sekolah berarti bicara tentang pendidikan. Dan bicara tentang pendidikan di Indonesia sekarang ini tentunya menjadi penting dan menarik. Karena banyak orangtua dihadapkan pada pendidikan yang mahal. Mahal memang relatif, tapi jika sudah lebih banyak orangtua yang mengeluh susahnya memasukkan anak ke sekolah, baik itu di SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi, masalahnya bukan lagi hanya karena penerapan berbagai peraturan baru, tapi lebih kepada biaya yang tinggi. Peraturan baru bisa saja dimunculkan kalau tujuannya untuk kebaikan pendidikan di Indonesia, tapi jika sudah sampai membebani masyarakat hal ini seharusnya menjadi kajian ulang untuk memberi solusi yang terbaik.
Mahalnya biaya pendidikan telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ada benarnya jika dikatakan, pendidikan yang bermutu itu mahal. Tapi jika kita mengaminkan saja ucapan ini bagaimana dengan dunia pendidikan kita ke depannya? Apakah anak bangsa yang tidak mampu tidak berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu padahal mereka adalah anak-anak yang pandai?
Bukankah tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang ditulis dalam Pembukaan UUD 1945? Bagaimana bisa mencapai tujuan tersebut jika pendidikan masih menjadi masalah di negara ini karena biaya pendidikan yang tinggi? Dan pendidikan yang bermutu hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu secara financial.
Kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) di satu sisi, itu baik, tapi menjadi tidak tepat pada realitanya. Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS mensyaratkan adanya unsur pengusaha. Dan mereka yang duduk dalam Komite Sekolah ini adalah mereka yang menerapkan peraturan-peraturan yang bisa saja memberatkan siswa. Sebab kemampuan mengenali kemampuan para orangtua dan kebutuhan siswa bisa jadi tidak menjadi prioritas utama ketika membuat peraturan.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun tampaknya tetap menjadi masalah jika masing-masing pihak berlindung pada berbagai alasan. Dan daripada berdebat dengan alasan-alasan, sebaiknya berpulang pada diri kita, sejauhmana kita dapat berkontribusi untuk menyelesaikan biaya pendidikan yang mahal tersebut.
Dalam firman Tuhan tertulis :”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Yeremia 29:7). Ini artinya adalah bahwa kita, bahwa gereja harus bisa berperan aktif untuk ikut menyelesaikan masalah yang ada di sekitarnya. Berdoa itu baik, sungguh sangat baik, tapi akan menjadi lengkap kebaikannya jika kita melakukan tindakan nyata.
Terkait masalah pendidikan, kita bisa bertindak untuk masuk dalam Komite Sekolah. Atau bisa menghimpun pandangan dari para orangtua murid bagaimana agar biaya pendidikan tidak memberatkan siswa yang kurang mampu. Himpunan pandangan itu bisa dimasukkan pada komite sekolah, atau lebih jauh lagi pada pihak-pihak terkait.
Kepada masing-masing orang, Tuhan telah memberikan talenta. Talenta yang tidak hanya untuk disimpan sendiri atau untuk keluarganya saja, tetapi juga untuk masyarakat. Jika dalam satu kota masyarakat terdidiknya lebih banyak, maka sejahtera lah kota itu, tapi sebaliknya jika lebih banyak anak-anak yang tidak mendapat pendidikan, dan kalau pun mendapat pendidikan, itu seadanya, maka bersiaplah kita mendapati sebuah kota yang tidak aman. Jika kota kita tidak sejahtera dampaknya kita pun akan mengalami ketidaksejahteraan.
Kata mengusahakan dalam firman Tuhan di atas, itu mengharuskan kita bergerak. Mungkin memang tidak langsung berurusan dengan sekolah, tapi kita bisa mengadakan “sekolah” untuk anak-anak jalanan, keluarga pra sejahtera dan sebagainya. Dan jika nantinya saya duduk dalam DPD RI periode 2019-2024, saya berharap dapat memberikan kontribusi pemikiran tentang pendidikan di Indonesia, yang seharusnya merata untuk seluruh anak bangsa. Pemikiran-pemikiran yang mendorong lahirnya kebijakan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, tanpa diskriminasi.
Hidup sejahtera berkeadilan itu pada kenyataannya tidak datang dengan sendirinya, tapi harus diusahakan. Indonesia sudah memiliki peraturan UU nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini dikatakan anak berusia 7-15 tahun berhak untuk mendapatkan pendidikan minimal pada jenjang dasar tanpa adanya pungutan biaya karena seluruh biaya ditanggung pemerintah. Dengan undang-undang ini sudah kah bisa dikatakan rakyat mendapat kesejahteraan? Iya, jika implementasinya tidak ada pungutan lain yang dilakukan sekolah. Tapi realitanya, tetap ada pungutan yang memberatkan.
Tidak sampai di situ saja, pendidikan yang bermutu harus diusahakan antara sekolah yang tidak memungut bayaran, dan sekolah berbayar, artinya sekolah swasta. Azas keadilan harus bisa dirasakan oleh seluruh siswa di sekolah. Jangan sampai siswa pintar dan berprestasi tapi tidak mampu, tidak bersekolah. Kalau sampai hal ini yang terjadi, maka SDM kita akan kalah bersaing dengan tenaga asing, dan hal ini akan berdampak pula pada perekonomian.
Yang tidak kalah pentingnya adalah agar siswa juga bisa berlanjut ke Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri. (PTN). Jangan biarkan PTN yang sudah berubah status menjadi BHMN dibiarkan berjalan sendiri, karena tanpa subsidi operasional dari pemerintah, BHMN mencari pendanaan operasionalnya dari mahasiswa. Dan ini yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan.
Kesejahteraan yang berkeadilan tetap harus melibatkan semua pihak yang terkait. Tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah maupun kampus untuk masalah biaya pendidikan dan mutu pendidikan. Turut campur tangan pemerintah, legislatif dan masyarakat tetap dibutuhkan agar hidup sejahtera berkeadilan dapat berjalan. Kuncinya adalah, kita tidak hidup hanya untuk diri sendiri dan kelompok dan golongan saja. Kontribusi bersama agar pendidikan dapat merata, dan kota dapat sejahtera, harus menjadi tanggung jawab kita. Harusnya Universitas di Sulut atau Kota Manado bisa juga punya quote seperti : ‘Pusat Studi / Kota Bhineka Tunggal Ika’ sebagai ikon Pluralisme.
(***/PaulMoningka)