PILAR DEMOKRASI
Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Dalam pemilu presiden 2014 yang akan dilakukan 9 Juli mendatang ada lebih dari 190 juta pemilih akan menggunakan suaranya. Sekitar 10 juta pemilih adalah kaum disabilitas atau berkebutuhan khusus. Sementara angka pemilih marginal juga terus bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang. Suara difabel dan marginal kerap tidak tersalurkan dan terancam disalahgunakan. Bagaimana menjamin hak politik keduanya ?
Di perbincangan KBR, Pilar Demokrasi, ada hal yang mengemuka soal jaminan hak-hak kaum disabilitas dan marginal dalam pemilu 2014. Perbincangan yang dipandu oleh Nanda Hidayat bersama narasuber Ketua KPU DIY Hamdan Kurniawan dan Joni Yulianto dari Komunitas Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Yuli Kusworo Koordinator Arsitek Komunitas Yogyakarta itu berlangsung hangat dan penuh informasi.
Ketua KPUD Provinsi Yogyakarta Hamdan Kurniawan menjelaskan, KPUD DIY sudah melakukan inisiasi dengan membuat template khusus untuk masyarakat disabilitas. Menurut Hamdan, inisiasi itu merupakan kebijakan yang pertama di Indonesia jika dibandingkan dengan KPU tingkat provinsi. Hamdan menjelaskan, dana yang digunakan untuk membuat template berasal dari dana internal KPU. Mengapa? Menurut Hamdan, sebagai regulator dan pelaksana pemilu, KPU harus memberikan hak kepada masyarakat penyandang disabilitas dalam menyalurkan aspirasi politik. “Kita menggunakan dana sendiri untuk menginisiasi pembuatan template untuk penyandang disabilitas. Kita tahu masih banyak kekurangan, kami sadar karena keterbatasan kami belum semua penyandang disabilitas terpenuhi hak politiknya,” ungkapnya dalam perbincangan di Rumah Budaya Tembih, Bantul, Yogyakarta.
KPUD DIY sendiri sudah melakukan pendataan jumlah dan jenis difabel di masyarakat yang mempunyai hak pilih. Menurut Hamdan jumlah masyarakat difabel ada sekitar 5864 orang yang memiliki hak pilih, “Kami melakukan pendataan saat pemilu legislatif yang lalu, kami menyediakan template sekitar 516 template, padahal KPU pusat hanya memberikan template untuk DPD, untuk DPR Pusat, DPR Provinsi tidak ada templatenya, akhirnya kita buat sendiri tempelatenya khusus untuk surat suara DPR RI, ini inisiatif kita, saya lihat KPUD lain tidak membuat,” jelas Hamdan.
KPUD DIY juga menggandeng kelompok difabel dan marginal untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Permintaan itu karena ada keterbatasan dari KPUD untuk masuk ke komunitas kelompok difabel dan marginal.”Itu variatif sekali bantuan yang diberikan, kami sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada pemilih dan menggandeng kelompok untuk melayani masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya,” ucap Hamdan.
Sementara itu, Joni Yulianto dari Komunitas SIGAB, dalam pemilu legislatif 2014, komunitasnya melakukan pemantauan di empat provinsi yaitu DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Menurut dia, tidak ada kemajuan untuk aksesibilitas pemilih kelompok difabel dalam memberikan hak pilih, “ Daerah-daerah di luar Yogyakarta hanya template DPD yang tersedia, akhirnya asas kerahasiaan dalam pemilu tidak terpenuh. Kami mengapresiasi inisiasi dari KPUD Yogyakarta untuk membuat template (alat bantu pencoblosan), KPU Kota juga menginisiasi untuk membuat template DPR Tingkat II Yogyakarta. Namun banyak hal yang belum disempurnakan dengan anggaran dan petunjuk teknis, seharusnya daerah-daerah lain bisa mengikuti inisiasi KPUD DIY,” jelas Joni.
Kelompok SIGAB juga melakukan survei terhadap masyarakat dalam pemilu legislatif 2014, hasilnya hanya sekitar 2-3% calon anggota legislatif yang berani memperjuangkan suara kelompok difabel. Menurut Joni, calon anggota legislatif belum menganggap kelompok difabel sebagai bagian dari masyarakat, “Menjadi pekerjaan rumah sendiri, kalau calon anggota legislatif harus diberikan pemahaman lebih dalam melihat dan memperjuangan kelompok difabel,” jelas Joni.
Sedangkan dari kelompok Arsitek Komunitas Yogyakarta (ARKOM) yang merupakan kelompok marginal perkotaan dan hidup di pinggiran rel dan sungai. Bahkan, dari segi administrasi kependudukan komunitas tersebut mengalami diskriminasi, mereka tidak diberikan identitas. Menurut Yuli Kusworo, Koordinator Asitem Komunitas (ARKOM) Yogyakarta, komunitas marginal perkotaan ini merupakan kelompok pendatang ilegal. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 15 ribu pemilih, jaminan hak memiliki masyarakat marginal masih belum terpenuhi,” Kami sering membuat pertemuan dan meminta pengalaman masyarakat dari pemilu legislatif lalu, banyak yang tidak bisa memilih karena sosialisasi dari pemerintah daerah tidak sampai. Kita harapkan dalam pemilu presiden ini hak memilih dan hak mendapatkan informasi bisa cepat dan terjamin,”
jelas Yuli.
Dari segi aturan dan jaminan kepada kelompok disabilitas dan marginal, KPUD sudah mengeluarkan standar operasi (SOP) bagi PPK dan PPS di tingkat bawah untuk melaksanakan aturan, misalnya membuat TPS yang mudah diakses oleh kelompok difabel. Namun, menurut Ketua KPUD Yogyakarta Hamdan Kurniawan masih ada kekurangan di tingkat bawah dalam menjalankan SOP tersebut, masih banyak yang tidak mengerti, “Banyak PPK dan PPS yang tidak mengerti SOP untuk difabel. Mereka tidak mengerti bagaimana menangani kelompok difabel dalam memberikan hak pilih,” jelas Hamdan.
Namun, banyak juga kelompok difabel yang kesulitan membaca huruf braile dalam melaksanakan hak pilihnya. Menanggapi hal itu, Ketua KPUD Yogyakarta Hamdan Kurniawan mengaku akan melakukan koordinasi dengan kelompok pendamping difabel, “Dari pengalaman pemilu legislatif 2014 lalu masih banyak kelompok disabilitas yang tidak mengerti huruf braile, nah nanti dalam pemilu presiden kita akan meminta kelompok pendamping untuk mengajarkan huruf braile dan melakukan pendampingan di dalam TPS. Namun, pendampingan ini perlu kehati-hatian agar prinsip rahasia dalam pemilu bisa terjamin,” jelas Hamdan.
Hamdan juga menyayangkan kurangnya perhatian partai politik peserta pemilu untuk memberikan edukasi kepada kelompok disabilitas. Padahal kata dia, kelompok disabilitas juga merupakan bagian dari masyarakat yang hak pilihnya dijamin oleh perundangan, “Sosialiasi bukan hanya tugas KPU, melainkan juga kelompok masyarakat serta partai politik. Kita menyayangkan tidak ada sosialisasi dari partai politik dalam memberikan edukasi kepada kelompok difabel. Mereka seharusnya jangan hanya kampanye,” jelas Hamdan.
Menutup perbincangan, Yuli Kusworo, Koordinator Arsitek Komunitas (ARKOM) DIY meminta agar sosialisasi pemilu presiden ini bisa berjalan dari atas hingga tingkatan masyarakat terendah. Begitu juga dengan harapan Joni Yulianto dari Komunitas SIGAB, diperlukan kesadaran dari masyarakat tidak hanya penyelenggara pemilu dalam menjamin hak politik kelompok difabel. (*)
PILAR DEMOKRASI
Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Dalam pemilu presiden 2014 yang akan dilakukan 9 Juli mendatang ada lebih dari 190 juta pemilih akan menggunakan suaranya. Sekitar 10 juta pemilih adalah kaum disabilitas atau berkebutuhan khusus. Sementara angka pemilih marginal juga terus bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang. Suara difabel dan marginal kerap tidak tersalurkan dan terancam disalahgunakan. Bagaimana menjamin hak politik keduanya ?
Di perbincangan KBR, Pilar Demokrasi, ada hal yang mengemuka soal jaminan hak-hak kaum disabilitas dan marginal dalam pemilu 2014. Perbincangan yang dipandu oleh Nanda Hidayat bersama narasuber Ketua KPU DIY Hamdan Kurniawan dan Joni Yulianto dari Komunitas Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Yuli Kusworo Koordinator Arsitek Komunitas Yogyakarta itu berlangsung hangat dan penuh informasi.
Ketua KPUD Provinsi Yogyakarta Hamdan Kurniawan menjelaskan, KPUD DIY sudah melakukan inisiasi dengan membuat template khusus untuk masyarakat disabilitas. Menurut Hamdan, inisiasi itu merupakan kebijakan yang pertama di Indonesia jika dibandingkan dengan KPU tingkat provinsi. Hamdan menjelaskan, dana yang digunakan untuk membuat template berasal dari dana internal KPU. Mengapa? Menurut Hamdan, sebagai regulator dan pelaksana pemilu, KPU harus memberikan hak kepada masyarakat penyandang disabilitas dalam menyalurkan aspirasi politik. “Kita menggunakan dana sendiri untuk menginisiasi pembuatan template untuk penyandang disabilitas. Kita tahu masih banyak kekurangan, kami sadar karena keterbatasan kami belum semua penyandang disabilitas terpenuhi hak politiknya,” ungkapnya dalam perbincangan di Rumah Budaya Tembih, Bantul, Yogyakarta.
KPUD DIY sendiri sudah melakukan pendataan jumlah dan jenis difabel di masyarakat yang mempunyai hak pilih. Menurut Hamdan jumlah masyarakat difabel ada sekitar 5864 orang yang memiliki hak pilih, “Kami melakukan pendataan saat pemilu legislatif yang lalu, kami menyediakan template sekitar 516 template, padahal KPU pusat hanya memberikan template untuk DPD, untuk DPR Pusat, DPR Provinsi tidak ada templatenya, akhirnya kita buat sendiri tempelatenya khusus untuk surat suara DPR RI, ini inisiatif kita, saya lihat KPUD lain tidak membuat,” jelas Hamdan.
KPUD DIY juga menggandeng kelompok difabel dan marginal untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Permintaan itu karena ada keterbatasan dari KPUD untuk masuk ke komunitas kelompok difabel dan marginal.”Itu variatif sekali bantuan yang diberikan, kami sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada pemilih dan menggandeng kelompok untuk melayani masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya,” ucap Hamdan.
Sementara itu, Joni Yulianto dari Komunitas SIGAB, dalam pemilu legislatif 2014, komunitasnya melakukan pemantauan di empat provinsi yaitu DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Menurut dia, tidak ada kemajuan untuk aksesibilitas pemilih kelompok difabel dalam memberikan hak pilih, “ Daerah-daerah di luar Yogyakarta hanya template DPD yang tersedia, akhirnya asas kerahasiaan dalam pemilu tidak terpenuh. Kami mengapresiasi inisiasi dari KPUD Yogyakarta untuk membuat template (alat bantu pencoblosan), KPU Kota juga menginisiasi untuk membuat template DPR Tingkat II Yogyakarta. Namun banyak hal yang belum disempurnakan dengan anggaran dan petunjuk teknis, seharusnya daerah-daerah lain bisa mengikuti inisiasi KPUD DIY,” jelas Joni.
Kelompok SIGAB juga melakukan survei terhadap masyarakat dalam pemilu legislatif 2014, hasilnya hanya sekitar 2-3% calon anggota legislatif yang berani memperjuangkan suara kelompok difabel. Menurut Joni, calon anggota legislatif belum menganggap kelompok difabel sebagai bagian dari masyarakat, “Menjadi pekerjaan rumah sendiri, kalau calon anggota legislatif harus diberikan pemahaman lebih dalam melihat dan memperjuangan kelompok difabel,” jelas Joni.
Sedangkan dari kelompok Arsitek Komunitas Yogyakarta (ARKOM) yang merupakan kelompok marginal perkotaan dan hidup di pinggiran rel dan sungai. Bahkan, dari segi administrasi kependudukan komunitas tersebut mengalami diskriminasi, mereka tidak diberikan identitas. Menurut Yuli Kusworo, Koordinator Asitem Komunitas (ARKOM) Yogyakarta, komunitas marginal perkotaan ini merupakan kelompok pendatang ilegal. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 15 ribu pemilih, jaminan hak memiliki masyarakat marginal masih belum terpenuhi,” Kami sering membuat pertemuan dan meminta pengalaman masyarakat dari pemilu legislatif lalu, banyak yang tidak bisa memilih karena sosialisasi dari pemerintah daerah tidak sampai. Kita harapkan dalam pemilu presiden ini hak memilih dan hak mendapatkan informasi bisa cepat dan terjamin,”
jelas Yuli.
Dari segi aturan dan jaminan kepada kelompok disabilitas dan marginal, KPUD sudah mengeluarkan standar operasi (SOP) bagi PPK dan PPS di tingkat bawah untuk melaksanakan aturan, misalnya membuat TPS yang mudah diakses oleh kelompok difabel. Namun, menurut Ketua KPUD Yogyakarta Hamdan Kurniawan masih ada kekurangan di tingkat bawah dalam menjalankan SOP tersebut, masih banyak yang tidak mengerti, “Banyak PPK dan PPS yang tidak mengerti SOP untuk difabel. Mereka tidak mengerti bagaimana menangani kelompok difabel dalam memberikan hak pilih,” jelas Hamdan.
Namun, banyak juga kelompok difabel yang kesulitan membaca huruf braile dalam melaksanakan hak pilihnya. Menanggapi hal itu, Ketua KPUD Yogyakarta Hamdan Kurniawan mengaku akan melakukan koordinasi dengan kelompok pendamping difabel, “Dari pengalaman pemilu legislatif 2014 lalu masih banyak kelompok disabilitas yang tidak mengerti huruf braile, nah nanti dalam pemilu presiden kita akan meminta kelompok pendamping untuk mengajarkan huruf braile dan melakukan pendampingan di dalam TPS. Namun, pendampingan ini perlu kehati-hatian agar prinsip rahasia dalam pemilu bisa terjamin,” jelas Hamdan.
Hamdan juga menyayangkan kurangnya perhatian partai politik peserta pemilu untuk memberikan edukasi kepada kelompok disabilitas. Padahal kata dia, kelompok disabilitas juga merupakan bagian dari masyarakat yang hak pilihnya dijamin oleh perundangan, “Sosialiasi bukan hanya tugas KPU, melainkan juga kelompok masyarakat serta partai politik. Kita menyayangkan tidak ada sosialisasi dari partai politik dalam memberikan edukasi kepada kelompok difabel. Mereka seharusnya jangan hanya kampanye,” jelas Hamdan.
Menutup perbincangan, Yuli Kusworo, Koordinator Arsitek Komunitas (ARKOM) DIY meminta agar sosialisasi pemilu presiden ini bisa berjalan dari atas hingga tingkatan masyarakat terendah. Begitu juga dengan harapan Joni Yulianto dari Komunitas SIGAB, diperlukan kesadaran dari masyarakat tidak hanya penyelenggara pemilu dalam menjamin hak politik kelompok difabel. (*)