Medan, BeritaManado.com — Gini Ratio (Rasio Gini) adalah rasio yang dipakai untuk mengukur perbedaan atau kesenjangan tingkat pendapatan yang diperoleh oleh kelompok masyarakat dalam satu daerah/negara.
Gini Rasio ini di perlihatkan dalam bentuk angka dari 0-1, dimana jika 0 maka terjadi pemerataan penghasilan yang sempurna dan jika 1, berarti terjadi Ketimpangan yang sempurna.
Rasio Gini pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Italia, bernama Ricardo Gini dan dikembangkan oleh ahli lainnya yaitu Max Lorenz (terkenal dengan Kurva Lorenz).
Menurut pengusaha bidang pertanian asal Sulut Pieter Tangka, secara sederhana, Rasio Gini itu menggambarkan bahwa dalam Civil Society akan selalu ada gap/ceruk/jarak antara si kaya dengan si miskin.
Walaupun secara filosofis prinsip Rasio Gini ini sebenarnya bukan melulu mengenai soal kemiskinan, akan tetapi ini lebih berbicara soal ketimpangan, jurang atau jarak dari pendapatan yang diperoleh pada setiap kelas-kelas di masyarakat.
Menurut pandangannya, Pieter Tangka menyebutkan hanya karena di Indonesia kata “miskin” masih melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka Rasio Gini juga dipakai sebagai Indikator tentang kemiskinan.
“Jika kita bicara mengenai angka kemiskinan, maka lebih tepat jika kita memakai Poverty Line (Garis Kemiskinan) sebagai acuan, bukan Rasio Gini,” jelasnya.
Dalam Debat kedua Paslon Gubernur dan Wakik Gubernur Sulut, isue tentang Rasio Gini pun menjadi bahan pertanyaan yang dilontarkan oleh paslon nomor urut 3.
Hal itu dijawab oleh paslon momor urut 1 dengan menjabarkan program-program unggulan mereka untuk menekan angka Gini Rasio.
Demikian juga oleh paslon nomor urut 2, yang secara tegas menyinggung soal property rights sebagai kewajiban pemerintah.
Akan tetapi paslon nomor urut 3 kembali mementahkan jawaban-jawaban tersebut tanpa menjabarkan apa itu Rasio Gini.
Meski demikian, di akhir tanggapannya, sempat terucap kalimat bahwa untuk menekan Gini Rasio, paslon nomor urut 3 mengatakan bahwa mereka akan membuka kesempatan berusaha bersama dan makmur bersama.
Menjadi agak sedikit konyol, dalam debat kedua tersebut, karena setiap jawaban yang di lontarkan oleh paslon nomor urut 1 dan nomor urut 2 selalu ditanggapi dengan ‘agak nyinyir’ oleh paslon nomor urut 3 dengan bahasa bahwa paslon nomor urut 1 dan 2 tidak paham substansi.
Padahal, ketika ditanya soal Equator Principles dalam hal investasi pun, paslon nomor urut 3 pun tidak bisa menjawab (karena tidak paham substansi juga) dan masih lebih baik paslon nomor urut 2 yang mengakui tidak tahu.
Pieter Tangka yang beberapa tahun lalu sukses melambungkan nama Tanah Toar Lumimuut dengan Cabe Minahasanya hingga ke wilayah ibukota negara Jakarta menyoroti mengenai Gini Rasio.
“Jika membaca dan memahami dengan jujur maka kita akan sepakat bahwa seluruh visi, misi dan program kerja CEP-SEHAN, dalam perspektif kognitif memiliki arah dan tujuan serta nuansa yang sangat kuat untuk mensejahterakan rakyatnya,” katanya.
Dalam hal ini khususnya dalam pengentasan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, penguatan ekonomi desa dan peningkatan produktivitas berbasis kearifan lokal, serta berujung pada pertumbuhan ekonomi yang positif (termasuk PDRB).
Hal itu juga berdampak pada optimalisasi dari fungsi APBD sebagai uang rakyat yang diperuntukkan bagi rakyat melalui pos belanja sosialnya.
Beberapa program unggulan jelas sekali arahnya untuk mencerdaskan rakyat Sulut, baik lewat bea siswa, Kartu Cerdas dan pembangunan infrastruktur serta adanya usaha/program diseminasi tekhnologi berbasis digital bagi dunia pendidikan di Sulut.
Program unggulan lainnya adanya perlindungan bagi rakyat Sulut, termasuk perlindungan dan jaminan kesehatan, perlindungan pada warga Lansia dan perlindungan terhadap petani, peternak, nelayan dan hasil-hasil produksinya.
Ini tergambar jelas dengan Program BUMP/BUMD yang tentunya akan memberikan Kemudahan-kemudahan akses (akses pasar, akses modal, akses tekhnologi dan akses kepada faktor-faktor produksi lainnya) bagi petani, peternak dan nelayan, dengan cara business as usual.
(***/Frangki Wullur)