Jakarta, BeritaManado.com – Webinar yang diadakan dengan kolaborasi antara Kantor Berita Radio (KBR), Cekfakta.com, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), menyatakan seruan kolaborasi media dan masyarakat yang memiliki etika serta religiusitas.
Acara tersebut berlangsung pada Senin (20/12/2021) dengan tema Indonesia Fact Checking Summit 2021, “Mengukur Dampak Cek Fakta di Indonesia: Sejauh Mana Media Berhasil Menangkal Hoaks?”.
Webinar dibagi menjadi dua sesi, dengan narasumber-narasumber, seperti Septiaji Eko Nugroho (Ketua Presidium Mafindo), Wanda Inanda (Redaktur Medcom.id), Elin Yunita Kristianti (Deputi Chief Editor Liputan6.com), Donny Budi Utoyo (Tenaga Ahli Menkominfo), Wahyu Dhyatmika (Sekretaris Jenderal AMSI), Novi Kurnia (Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital), Citra Dyah Prastuti (Badan Pengawas dan Pertimbangan AMSI), Ismail Fahmi (Pendiri Drone Empirit), Wijayanto (Dosen Universitas Diponegoro).
Hadir juga para penanggap dari unsur rohaniwan, yaitu Antonius Benny Susetyo, Mustofa W. Hasyim dari Muhammadiyah, dan H. Sholahuddin Aly sebagai Ketua GP Ansor Jawa Tengah.
Media dan aliansi masyarakat menyatakan perjuangan para pihak untuk dapat memberikan berita yang sesuai dan benar adanya kepada masyarakat.
Septiaji Eko Nugroho mengatakan, banyak aliansi, termasuk MAFINDO, terbentuk karena adanya kelompok masyarakat yang resah dengan berita hoaks yang sering berlangsung.
“Jumlah dan kecepatan berita hoaks dengan berita klarifikasi sangat tidak seimbang. Karena itu, semua elemen yang ada, baik media dan masyarakat, mari rapatkan barisan agar berita hoaks tidak menyebar massif,” ujar Septiaji.
Pengecekan berita yang ada dengan fakta secara mandiri juga harus dilakukan oleh semua pihak.
Ditambahkan juga, edukasi literasi digital juga harus diberikan kepada masyarakat secara luas.
“Cek fakta, training, dan edukasi harus diberikan. Semakin banyak dilakukan, semakin banyak (masyarakat) yang melek,” seru Citra Dyah Astuti.
Kolaborasi antar semua pihak juga dikumandangkan oleh narasumber.
“Ayo, kolaborasi dengan media dan warga. Dan masyarakat bisa berpartisipasi, jangan hanya diam dan apatis,” kata Novia Kurnia.
Dalam sesi tanggapan, Antonius Benny Susetyo, atau yang biasa disapa dengan nama Benny, menyatakan bahwa persepsi dalam pikiran seseorang menentukan kebenaran yang absolut, sehingga verifikasi tidak lagi dilakukan.
“Hal ini merupakan persoalan besar; masyarakat percaya dengan bayang-bayang pikirannya sendiri,” ujarnya.
Benny pun menyerukan semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, harus menjadi komunitas pemutus kata.
“Ini tanggung jawab kita semua. Kita semua harus jadi komunitas pemutus kata. Apa itu? Itu adalah komunitas yang lebih cerdas, lebih selektif, dan lebih hati-hati dalam memilih berita yang disebarkan,” ucap Benny.
Penguatan dalam iman dan akhlak, menurut Benny, menjadi kunci dari masyarakat yang selektif dalam membaca berita.
“Kita hidup dalam kebebasan, tetapi harus memakai nilai-nilai etis dan akhlak. Tidak cukup hanya ada regulasi, (kita) harus punya kepatuhan etika dan kepada religiusitas. Hal-hal ini harus menjadi habituasi masyarakat kita,” ujar Benny.
Mustofa W. Hasyim, dalam tanggapannya menambahkan, masyarakat Indonesia harus dewasa dalam beragama.
“Masyarakat harus dewasa saat beragama. Bukan kekanak-kanakkan dan menunjukkan ketidakdewasaan dalam menjalankan,” kata Mustofa.
Sholahuddin Aly pun menutup sesi tanggapan dengan seruan kolaborasi.
“Tidak boleh (kita) berhenti menggalang sekutu untuk counter berita hoaks. Tidak boleh menyerah,” tutup Aly.
Dalam acara yang sama, dikumandangkan juga rumusan koordinasi yang diserukan oleh penyelenggara, antara lain rekomendasi etik pengecekan fakta dan hoaks, rekomendasi pemeriksa fakta, dan rekomendasi membersihkan iklan digital untuk meminimalisir potensi misinformasi.
(***/srisurya)