
Manado, BeritaManado.com — Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 adalah tonggak perjuangan rakyat Sulawesi Utara dalam mengusir penjajah Belanda.
Perebutan kekuasaan yang ditandai dengan dikuasainya tangsi militer Belanda di Teling dan dinaikkannya bendera Merah Putih.
Hal itu mempertegas bahwa Sulawesi Utara adalah bagian dari bangsa Indonesia yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945.
“Makanya Presiden Soekarno pada peringatan Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 pada tanggal 10 Maret 1965 di Istana Negara mengatakan peristiwa ini harus menjadi Hari Sulawesi Utara,” kata Tenni Assa.
Tenni Assa diketahui menulis biografi Ch Ch Taulu dalam tugas akhirnya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra sekarang Fakultas Ilmu Budaya Unsrat.
Tidak itu saja, Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Sulut menambahkan, Presiden Soeharto pada apel siaga memperingati Hari Pramuka pada 18 Agustus 1984 di Bumi Perkemahan Cibubur mengatakan, peristiwa 14 Februari 1946 adalah peristiwa Merah Putih di Sulawesi Utara yang sejajar dengan pertempuran Krawang-Bekasi, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang dijadikan Hari Pahlawan, pertempuran Bandung Lautan Api, Perang Puputan Margarana di Bali dan perang Rakyat Aceh.
“Pengakuan dua Presiden Indonesia ini setidaknya bisa menjadi acuan bahwa Manado layak ditetapkan menjadi Kota Pejuang,” tegas Tenni Assa yang juga anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulawesi Utara.
Sulawesi Utara dalam hal ini Manado dalam catatan sejarah mempunyai andil yang sangat besar dalam usaha memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tercatat tokoh seperti Gerungan Saul Samuel Jakob Ratulangi atau dikenal Sam Ratulangi, Mr AA Maramis, LN Palar, Arnold Mononutu, dr Tumbelaka dan tokoh lainnya, peran mereka sangat besar.
“Mereka adalah putra-putra terbaik Sulawesi Utara,” tegas Tenni.
Begitu juga dengan Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 yang dipimpin Charlis Choezj Taulu dari kalangan militer dan Bernard Wilhem Lapian dari kalangan sipil.
Peristiwa ini langsung mematahkan propaganda Belanda bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Ir Soekarno pada 17 Agustus 1945 hanya di Jawa dan Sumatera.
“Peristiwa heroik ini menegaskan bahwa Sulawesi Utara dan Indonesia Timur adalah bagian dari Bangsa Indonesia yang telah merdeka,” tambah Tenni.
Penegasan lainnya dalam peristiwa ini mematahkan tudingan miring daerah-daerah lain di Indonesia bahwa Minahasa atau Sulawesi Utara adalah ‘Anak Emas’ Belanda.
“Bahkan sempat disebut-sebut bahwa Minahasa adalah Provinsi ke 12 dari Belanda,” tambahnya.
Selain itu lanjutnya, Peristiwa 14 Februari 1946 menunjukkan betapa solidnya kerja sama yang dibangun.
Ch Ch Taulu, SD Wuisan dan kalangan militer mampu membangun komunikasi yang baik dengan kalangan sipil atau politisi seperti BW Lapian, OH Pantouw, PM Tangkilisan dan lain-lain.
Termasuk juga dari kalangan pemuda yang tergabung dalam Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BNPI) pimpinan John Rahasia dan kawan-kawan.
Sinergitas antara militer, sipil dan pemuda menjadi satu kekuatan yang besar.
Bayangkan, persiapan perebutan kekuasaan ini, dimatangkan pada 7 Februari 1946 dan target perebutan kekuasaan pada 14 Februari 1946 pukul 04.00 Wita dan bila terjadi masalah dimajukan pukul 01.00 Wita.
“Dan sejak saat itu semua diberikan tugas baik anggota militer di tangsi Teling. Dan sejarah mencatat sebelum Hari H, terjadi penangkapan di kalangan tentara KNIL pribumi, termasuk Ch Ch Taulu yang menjadi pemimpin dan SD Wuisan yang menjadi wakil komandan pada 13 Februari 1946,” ungkap Tenni.
Namun, karena sudah diantisipasi, rencana perebutan tidak berubah.
Bahkan Ch Ch Taulu dalam tulisannya mengatakan, ini lebih memudahkan mereka melakukan aksi karena Belanda menjadi lengah.
“Makanya Kota Manado sangat layak dijadikan Kota Pejuang. Tentu diharapkan adanya dukungan politik dari Gubernur Sulut Olly Dondokambey untuk menyampaikan aspirasi ini ke DPRD Sulut dan kepada Presiden Joko Widodo untuk dikeluarkannya keputusan presiden,” kata Tenni.
(srisurya)