SEMANGAT Tjahaja Siang sebagai pioner koran milik Sulawesi Utara adalah sebuah nafas ketika pertengahan 1987 muncul koran lokal bernama sama: Cahaya Siang.
Kemunculan Cahaya Siang, seperti diungkapkan Wilson B. Lumi, salah satu wartawannya di blog pribadi, pada masa itu sangat berpengaruh. Tiras Cahaya Siang mencapai 25 ribu eksemplar per hari. Media cetak ini menjadi bacaan wajib bagi warga Kawanua. Cahaya Siang adalah koran pertama dari jaringan JPNN, tapi di 1990 dia lepas dan diambil alih grup Media Indonesia.
Seperti pendahulunya Tjahaja Siang, Cahaya Siang versi modern juga memiliki sumber daya wartawan berpengaruh. Yang aktif dengan dunia jurnalisme pasti tak asing dengan nama-nama senior, seperti Renata Ticonuwu, Jongky Palandeng, Samuel Muhaling atau Ferdinan Abram serta pemimpin redaksi Lanny Politon. Masa sekarang, nama-nama ini juga punya peran besar pada media-media cetak yang terbit di era 2000-an.
Koran Cahaya Siang bertahan 7 tahun. Seiring masa paceklik media serta pembreidelan yang terus menghantui di jaman ore baru, Cahaya Siang akhirnya menampakkan terbitan terakhir pada 1994 menyusul pencabutan Surat Izin Penerbitan Pers (SIPP).
Apapun nama, visi dan bentuknya, Tjahaja Siang ataupun Cahaya Siang telah menjadi sebuah penanda kalau jurnalisme dari Bumi Nyiur Melambai pernah menjadi penerang bagi masyarakatnya.
Misinya sebagai penyebar bahasa kasih yang memihak kepentingan publik, harusnya adalah nafas bagi puluhan media yang tumbuh saat ini di Sulawesi Utara. Dengan begitu, seperti halnya Tjahaja Siang, media akan terus diingat —kendati dia telah dikubur— karena integritasnya, bukan karena kekuatan finansialnya.(ady/habis)