Oleh: Suriani Mappong
Ketika rencana subsidi bahan bakar minyak akan dicabut, sontak aksi menentang terjadi di mana-mana. Belum lagi kenaikan harga sembako dan kebutuhan rumah tangga membonceng isu kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, dan hingga kini dampaknya masih terasa.
Akibatnya, data bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat mencatat inflasi yang tidak sedikit sebagai imbas dari pergerakan kenaikan harga barang di pasaran.
Kini, pemerintah kembali ingin mengaktifkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 2 tahun 2008 tentang Penghematan Energi dan Air.
Kendati sebelumnya, presiden berencana mengeluarkan Inpres pada Mei 2012 untuk mendukung Gerakan Penghematan Nasional (GPN).
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof Dr Deddy Tikson mengatakan, berapaun Inpres yang diterbitkan itu tidak akan efektif, jika tidak didukung dengan perubahan perilaku dan sikap di lingkup pemerintah daerah dan masyarakat.
Dia mengatakan, tujuan Inpres nomor 2 tahun 2008 itu agar lingkup Pemda dapat menghemat energi listrik dan air yang digunakan di kantor-kantor instansi pemerintah.
Kondisi itu diharapkan juga diikuti oleh perusahaan swasta atau lembaga publik lainnya, termasuk masyarakat selaku pengguna energi dan air tingkat rumah tangga.
Namun harus diakui, lanjut dia, tidaklah mudah mengubah kebiasaan masyarakat ataupun yang bekerja di instansi pemerintah untuk melakukan penghematan energi dan air.
“Padahal dengan penghematan itu, akan mengurangi beban subsidi pemerintah, bukan hanya pada sektor energi listrik dan air, tetapi juga BBM,” katanya.
Hanya saja untuk program penghematan tersebut, lanjut dia, perlu didukung dengan survei atau analisis tentang upaya atau cara penghematan energi itu.
Sebagai gambaran, harus ada kejelasan energi apa yang harus dihemat dan bagaimana langkah-langkah penghematan itu.
“Apakah mencarikan energi alternatif atau lainnya,” katanya
Menurut dia, pengematan energi misalnya untuk tenaga listrik secara makro, pemerintah harus menekankan agar perkantoran, perusahaan pemerintah dan swasta yang berskala besar untuk melakukan penghematan energi.
Termasuk kedepan, kata dia, harus dipikirkan penggunaan energi listrik yang cukup besar pada stasiun-stasiun televisi swasta yang beroperasi 24 jam.
“Mungkin dengan pembatasan jam tayang untuk menghemat energi, termasuk pertimbangan pemirsa yang menonton televisi pada dini hari itu juga kurang,” kata staf pengajar Fisip Unhas ini.
Sementara itu, GPN dari sisi anggaran, Deddy mengatakan, upaya membatasi perjalanan dinas pejabat ke luar negeri juga dapat menjadi salah satu upaya penghematan.
Butuh keseriusan
Upaya penghematan energi dan air sesuai roh Inpres nomor 2 tahun 2008, butuh keseriusan dari semua pihak, baik pembuat kebijakan maupun yang mengaplikasikan di lapangan.
“Tanpa keseriusan dari pemerintah mulai di tingkat pusat hingga daerah, Inpres itu hanya akan menjadi pajangan belaka,” kata Badan Pekerja Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Makassar Salma Ruslan di Makassar.
Menurut dia, kebijakan yang tidak dikawal dengan pemantauan dan pemberian sanksi tegas bagi yang melanggar, maka peraturan itu akan sia-sia.
Sebagai gambaran, imbauan pemerintah agar pengendara mobil mewah menggunakan BBM non subsidi yakni Pertamax, hingga kini masih banyak yang mengabaikan, karena tidak ada kejelasan peraturan yang mengaturnya.
Sementara untuk mengharapkan kesadaran para pemilik kendaraan mewah untuk menggunakan BBM nonsubsidi, masih sangat jauh.
Tidak mengherankan, jika konsumsi BBM jenis Premium masih dominan dibandingkan Pertamax di Makassar.
Hal itu diakui Sales Representative BBM Retail Pertamina Region VII Makassar Iswahyudi.
Dia mengatakan, konsumsi Premium di wilayah Makassar dan sekitarnya rata-rata 600 – 700 Kiloliter per hari, sedangkan Pertamax hanya enam hingga 10 KL per hari.
Disparitas harga yang sangat mencolok antara Pertamax dengan harga eceran Rp10.300 per liter dan Premium yang hanya Rp4.500 per liter, menjadi pemicu pengguna kendaraan mewah masih tetap menggunakan Premium.
Fenomena itu dikemukakan salah seorang staf penjualan SPBU di Jalan Masjid Raya, Makassar Syamsuddin.
Dia mengatakan, karena tidak aturan yang melarang pengguna mobil mewah membeli Premium, maka hingga saat ini masih tetap melayani siapa saja yang ingin membeli Premium.
“Memang sudah ada spanduk yang isinya meminta kalangan yang mampu menggunakan Pertamax, namun semenjak kenaikan Pertamax, banyak yang kembali ke Premium,” katanya.
Mencermati fenomena tersebut, Gerakan Penghematan Nasional yang diidam-idamkan selain dibutuhkan kesadaran untuk menggunakan energi dan air seperlunya, juga dibutuhkan kejujuran dari pihak yang
seharusnya tidak menggunakan BBM bersubsidi lagi.
Berdasarkan data PDAM Makassar diketahui, sekitar Rp121,3 miliar tunggakan air bersih di kota berjulukan “Anging Mammiri” ini, sebagian diantaranya adalah tunggakan perkantoran yang nota bene adalah kantor pemerintah.
Begitu pula dengan tunggakan listrik yang dikelola PT PLN wilayah Sulsel, Sultra dan Sulbar, masih terdapat tunggakan sektor perkantoran yang diakibatkan pemborosan energi listrik.
Kondisi itu sekaligus menunjukkan bahwa upaya penghematan energi dan air itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun justeru ibarat jalan panjang yang membutuhkan waktu lama untuk menempuhnya. (*)
Oleh: Suriani Mappong
Ketika rencana subsidi bahan bakar minyak akan dicabut, sontak aksi menentang terjadi di mana-mana. Belum lagi kenaikan harga sembako dan kebutuhan rumah tangga membonceng isu kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, dan hingga kini dampaknya masih terasa.
Akibatnya, data bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat mencatat inflasi yang tidak sedikit sebagai imbas dari pergerakan kenaikan harga barang di pasaran.
Kini, pemerintah kembali ingin mengaktifkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 2 tahun 2008 tentang Penghematan Energi dan Air.
Kendati sebelumnya, presiden berencana mengeluarkan Inpres pada Mei 2012 untuk mendukung Gerakan Penghematan Nasional (GPN).
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof Dr Deddy Tikson mengatakan, berapaun Inpres yang diterbitkan itu tidak akan efektif, jika tidak didukung dengan perubahan perilaku dan sikap di lingkup pemerintah daerah dan masyarakat.
Dia mengatakan, tujuan Inpres nomor 2 tahun 2008 itu agar lingkup Pemda dapat menghemat energi listrik dan air yang digunakan di kantor-kantor instansi pemerintah.
Kondisi itu diharapkan juga diikuti oleh perusahaan swasta atau lembaga publik lainnya, termasuk masyarakat selaku pengguna energi dan air tingkat rumah tangga.
Namun harus diakui, lanjut dia, tidaklah mudah mengubah kebiasaan masyarakat ataupun yang bekerja di instansi pemerintah untuk melakukan penghematan energi dan air.
“Padahal dengan penghematan itu, akan mengurangi beban subsidi pemerintah, bukan hanya pada sektor energi listrik dan air, tetapi juga BBM,” katanya.
Hanya saja untuk program penghematan tersebut, lanjut dia, perlu didukung dengan survei atau analisis tentang upaya atau cara penghematan energi itu.
Sebagai gambaran, harus ada kejelasan energi apa yang harus dihemat dan bagaimana langkah-langkah penghematan itu.
“Apakah mencarikan energi alternatif atau lainnya,” katanya
Menurut dia, pengematan energi misalnya untuk tenaga listrik secara makro, pemerintah harus menekankan agar perkantoran, perusahaan pemerintah dan swasta yang berskala besar untuk melakukan penghematan energi.
Termasuk kedepan, kata dia, harus dipikirkan penggunaan energi listrik yang cukup besar pada stasiun-stasiun televisi swasta yang beroperasi 24 jam.
“Mungkin dengan pembatasan jam tayang untuk menghemat energi, termasuk pertimbangan pemirsa yang menonton televisi pada dini hari itu juga kurang,” kata staf pengajar Fisip Unhas ini.
Sementara itu, GPN dari sisi anggaran, Deddy mengatakan, upaya membatasi perjalanan dinas pejabat ke luar negeri juga dapat menjadi salah satu upaya penghematan.
Butuh keseriusan
Upaya penghematan energi dan air sesuai roh Inpres nomor 2 tahun 2008, butuh keseriusan dari semua pihak, baik pembuat kebijakan maupun yang mengaplikasikan di lapangan.
“Tanpa keseriusan dari pemerintah mulai di tingkat pusat hingga daerah, Inpres itu hanya akan menjadi pajangan belaka,” kata Badan Pekerja Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Makassar Salma Ruslan di Makassar.
Menurut dia, kebijakan yang tidak dikawal dengan pemantauan dan pemberian sanksi tegas bagi yang melanggar, maka peraturan itu akan sia-sia.
Sebagai gambaran, imbauan pemerintah agar pengendara mobil mewah menggunakan BBM non subsidi yakni Pertamax, hingga kini masih banyak yang mengabaikan, karena tidak ada kejelasan peraturan yang mengaturnya.
Sementara untuk mengharapkan kesadaran para pemilik kendaraan mewah untuk menggunakan BBM nonsubsidi, masih sangat jauh.
Tidak mengherankan, jika konsumsi BBM jenis Premium masih dominan dibandingkan Pertamax di Makassar.
Hal itu diakui Sales Representative BBM Retail Pertamina Region VII Makassar Iswahyudi.
Dia mengatakan, konsumsi Premium di wilayah Makassar dan sekitarnya rata-rata 600 – 700 Kiloliter per hari, sedangkan Pertamax hanya enam hingga 10 KL per hari.
Disparitas harga yang sangat mencolok antara Pertamax dengan harga eceran Rp10.300 per liter dan Premium yang hanya Rp4.500 per liter, menjadi pemicu pengguna kendaraan mewah masih tetap menggunakan Premium.
Fenomena itu dikemukakan salah seorang staf penjualan SPBU di Jalan Masjid Raya, Makassar Syamsuddin.
Dia mengatakan, karena tidak aturan yang melarang pengguna mobil mewah membeli Premium, maka hingga saat ini masih tetap melayani siapa saja yang ingin membeli Premium.
“Memang sudah ada spanduk yang isinya meminta kalangan yang mampu menggunakan Pertamax, namun semenjak kenaikan Pertamax, banyak yang kembali ke Premium,” katanya.
Mencermati fenomena tersebut, Gerakan Penghematan Nasional yang diidam-idamkan selain dibutuhkan kesadaran untuk menggunakan energi dan air seperlunya, juga dibutuhkan kejujuran dari pihak yang
seharusnya tidak menggunakan BBM bersubsidi lagi.
Berdasarkan data PDAM Makassar diketahui, sekitar Rp121,3 miliar tunggakan air bersih di kota berjulukan “Anging Mammiri” ini, sebagian diantaranya adalah tunggakan perkantoran yang nota bene adalah kantor pemerintah.
Begitu pula dengan tunggakan listrik yang dikelola PT PLN wilayah Sulsel, Sultra dan Sulbar, masih terdapat tunggakan sektor perkantoran yang diakibatkan pemborosan energi listrik.
Kondisi itu sekaligus menunjukkan bahwa upaya penghematan energi dan air itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun justeru ibarat jalan panjang yang membutuhkan waktu lama untuk menempuhnya. (*)