Jakarta, BeritaManado.Com – Pekan lalu saya diundang dalam sebuah Forum Nasional di Jakarta. Entah siapa yang merekomendasi, tapi disana saya bertemu Bung Ichan Loulembah, aktor penting pada forum itu, sahabat dekat, mantan anggota DPD RI dan kini sebagai analis politik nasional yang setiap Sabtu namanya mengudara di seantero nusantara memandu acara Perspektif Indonesia kerja sama Populi Center dan Smart FM itu sepertinya yang mendaulat saya pada forum itu.
Demikian dijelaskan pengamat politik juga akademisi UNSRAT, Dr Ferry Daud Liando, dalam bentuk testimoni kepada BeritaManado.Com, Senin (30/10/2017).
Diceritakan, Ferry Liando, kegiatan dibuka Wakil Presiden, Moh. Jusuf Kalla, dihadiri oleh sejumlah tokoh dan kaum pemikir seperti mantan Ketua MK dan DKPP RI, Prof Dr Jimlly Asshiddiqie, Ketua MPR RI Zulkifli Hassan, mantan Menteri ESDM Sudirman Said, Ekonom Faisal Basri, analis politik Dr Sri Nuryantidan analis hukum Dr. Refly Harun.
Persoalan bangsa yang sepertinya kian mencekam dan menakutkan menjadi bahan diskusi. Hal-hal yang sempat terungkap adalah kesenjangan ekonomi, kemiskinan, kerusuhan, radikalisme hingga korupsi.
Peserta forum yang berasal dari perwakilan 45 perguruan tinggi se-Indoensia secara bergantian, memperkaya gagasan mengurai faktor penyebab persoalan tadi. Rekomendasi mengungkapkan beberapa kesimpulan dan yang paling banyak disorot adalah masalah kepemimpinan politik yang dianggap sebagai penyebab carut marutnya persoalan bangsa. Politik sepertinya telah kehilangan visi.
Anggaran terbesar APBN salah satunya berkaitan dengan seleksi kepemimpinan. Mulai pembuatan UU, rekrutmen dan tunjangan penyelengara, birokrasi penyelenggara, penyelengaraan, hingga penguatan partai politik. Selain biaya yang tidak sedikit, proses ini juga menguras banyak energi dan konflik.
Tapi hasil dari proses ini ternyata banyak melahirkan pemimpin yang korup, amoral dan miskin inovasi. Tidak setimpal dengan biaya dan resiko saat pemimpin ini terpilih.
Kontestasi politik baik pilkada maupun pilcaleg melahirkan dua karakter aktor politik; negarawan dan pemain. Persamaan dari dua aktor ini adalah keduanya menyandang predikat sebagai politisi. Namun yang membedakan adalah visi politik, baik dalam mendapatkan maupun dalam menjalankan kekuasaan.
Bagaimana kekuasaan itu diperoleh? Proses mendapatkan kekuasaan baik dalam jabatan eksekutif maupun legislatif, negarawan menjadikan kewibawaan, prestasi dan dedikasi sebagai sumber kekuasaan. Bagi pemilih rasional, ketiga hal itu menjadi pertimbangannya dalam memilih. Bagi seorang pemain, kekuasaan itu diperoleh secara paksa meski dengan cara licik sekalipun, menyogok pemilih, dan menjelekan reputasi lawan-lawan politik.
Politisi negarawan akan menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya untuk menguatkan sekitarnya, sementara pemain memanfaatkan kekuatannya untuk melemahkan orang lain. Tidak memaksa namun menawarkan diri, seorang negarawan dalam proses mendapatkan kekuasaan telah mempersiapkan dengan melatih diri, bekerja sosial, berdedikasi dan berpihak pada kepentingan banyak orang jauh sebelum tahapan pilkada atau pemilu dimulai.
Bagi pemain, cara mempersiapkan diri merebut kekuasaan adalah uang untuk mahar atau menyogok pemilih, mengkliping dosa-dosa lawan politik sebagai bahan fitnah saat kampanye dan memanfatkan jabatan kepala daerah yang diemban suami, isteri, anak, kakak mengitimidasi pemilih terutama dalam pemilihan legislatif. Tidak heran, dibeberapa lembaga legisltif lebih tampak kumpulan kelompok arisan keluarga kepala daerah ketimbang sebagai lembaga politik.
Lantas, bagaimana kekuasaan itu dijalankan?
Bagi negarawan, kekuasaan itu bukan tujuan politik, namun baginya kekuasaan itu hanya sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang. Namun bagi politisi pemain, kekuasaan itu jelas adalah tujuan politik yang dianggap berkah baginya memperkaya diri, meningkatkan status sosial dan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Dengan kekuasaan yang melekat, politisi pemain ini bisa secara leluasa mempermainkan SPPD, menguasai proyek atau mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mengembangkan bisnisnya.
Negarawan selalu konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Apa yang katakan benar dari hasil pikiran dan apa yang dilakukan selaras dengan apa yang dikatakan. Bedanya dengan pemain, apa yang dikatakan kerap menyimpang dari pikiran (logika) sedangkan apa yang dikatakan kerap tidak seperti yang dilakukannya.
Politisi negarawan mengakui prestasi anak buah dan berujung reward, namun bagi politisi pemain, prestasi anak buah dimanfatkan untuk pencitraan diri dengan mengklaim bahwa itu usahanya dan berusaha menyingkirkan pejabat berprestasi secara perlahan-lahan agar tidak menyaingi dirinya kelak.
Jika disogok, negarawan meminta penyogok itu untuk memperbanyak iman, takwa dan keteleadanan dengan meminta tidak mengulanginya kembali, sementara pemain ketika disogok, ia mengingatkan memperbanyak jumlah dan memintahnya untuk melakukanya kembali.
Kalau ada investasi, negarawan meminta investor untuk tidak merusak lingkungan. Sementara pemain memastikan berapa fee yang akan ia peroleh atas kompensasi ijin. (***/JerryPalohoon)
Jakarta, BeritaManado.Com – Pekan lalu saya diundang dalam sebuah Forum Nasional di Jakarta. Entah siapa yang merekomendasi, tapi disana saya bertemu Bung Ichan Loulembah, aktor penting pada forum itu, sahabat dekat, mantan anggota DPD RI dan kini sebagai analis politik nasional yang setiap Sabtu namanya mengudara di seantero nusantara memandu acara Perspektif Indonesia kerja sama Populi Center dan Smart FM itu sepertinya yang mendaulat saya pada forum itu.
Demikian dijelaskan pengamat politik juga akademisi UNSRAT, Dr Ferry Daud Liando, dalam bentuk testimoni kepada BeritaManado.Com, Senin (30/10/2017).
Diceritakan, Ferry Liando, kegiatan dibuka Wakil Presiden, Moh. Jusuf Kalla, dihadiri oleh sejumlah tokoh dan kaum pemikir seperti mantan Ketua MK dan DKPP RI, Prof Dr Jimlly Asshiddiqie, Ketua MPR RI Zulkifli Hassan, mantan Menteri ESDM Sudirman Said, Ekonom Faisal Basri, analis politik Dr Sri Nuryantidan analis hukum Dr. Refly Harun.
Persoalan bangsa yang sepertinya kian mencekam dan menakutkan menjadi bahan diskusi. Hal-hal yang sempat terungkap adalah kesenjangan ekonomi, kemiskinan, kerusuhan, radikalisme hingga korupsi.
Peserta forum yang berasal dari perwakilan 45 perguruan tinggi se-Indoensia secara bergantian, memperkaya gagasan mengurai faktor penyebab persoalan tadi. Rekomendasi mengungkapkan beberapa kesimpulan dan yang paling banyak disorot adalah masalah kepemimpinan politik yang dianggap sebagai penyebab carut marutnya persoalan bangsa. Politik sepertinya telah kehilangan visi.
Anggaran terbesar APBN salah satunya berkaitan dengan seleksi kepemimpinan. Mulai pembuatan UU, rekrutmen dan tunjangan penyelengara, birokrasi penyelenggara, penyelengaraan, hingga penguatan partai politik. Selain biaya yang tidak sedikit, proses ini juga menguras banyak energi dan konflik.
Tapi hasil dari proses ini ternyata banyak melahirkan pemimpin yang korup, amoral dan miskin inovasi. Tidak setimpal dengan biaya dan resiko saat pemimpin ini terpilih.
Kontestasi politik baik pilkada maupun pilcaleg melahirkan dua karakter aktor politik; negarawan dan pemain. Persamaan dari dua aktor ini adalah keduanya menyandang predikat sebagai politisi. Namun yang membedakan adalah visi politik, baik dalam mendapatkan maupun dalam menjalankan kekuasaan.
Bagaimana kekuasaan itu diperoleh? Proses mendapatkan kekuasaan baik dalam jabatan eksekutif maupun legislatif, negarawan menjadikan kewibawaan, prestasi dan dedikasi sebagai sumber kekuasaan. Bagi pemilih rasional, ketiga hal itu menjadi pertimbangannya dalam memilih. Bagi seorang pemain, kekuasaan itu diperoleh secara paksa meski dengan cara licik sekalipun, menyogok pemilih, dan menjelekan reputasi lawan-lawan politik.
Politisi negarawan akan menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya untuk menguatkan sekitarnya, sementara pemain memanfaatkan kekuatannya untuk melemahkan orang lain. Tidak memaksa namun menawarkan diri, seorang negarawan dalam proses mendapatkan kekuasaan telah mempersiapkan dengan melatih diri, bekerja sosial, berdedikasi dan berpihak pada kepentingan banyak orang jauh sebelum tahapan pilkada atau pemilu dimulai.
Bagi pemain, cara mempersiapkan diri merebut kekuasaan adalah uang untuk mahar atau menyogok pemilih, mengkliping dosa-dosa lawan politik sebagai bahan fitnah saat kampanye dan memanfatkan jabatan kepala daerah yang diemban suami, isteri, anak, kakak mengitimidasi pemilih terutama dalam pemilihan legislatif. Tidak heran, dibeberapa lembaga legisltif lebih tampak kumpulan kelompok arisan keluarga kepala daerah ketimbang sebagai lembaga politik.
Lantas, bagaimana kekuasaan itu dijalankan?
Bagi negarawan, kekuasaan itu bukan tujuan politik, namun baginya kekuasaan itu hanya sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang. Namun bagi politisi pemain, kekuasaan itu jelas adalah tujuan politik yang dianggap berkah baginya memperkaya diri, meningkatkan status sosial dan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Dengan kekuasaan yang melekat, politisi pemain ini bisa secara leluasa mempermainkan SPPD, menguasai proyek atau mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mengembangkan bisnisnya.
Negarawan selalu konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Apa yang katakan benar dari hasil pikiran dan apa yang dilakukan selaras dengan apa yang dikatakan. Bedanya dengan pemain, apa yang dikatakan kerap menyimpang dari pikiran (logika) sedangkan apa yang dikatakan kerap tidak seperti yang dilakukannya.
Politisi negarawan mengakui prestasi anak buah dan berujung reward, namun bagi politisi pemain, prestasi anak buah dimanfatkan untuk pencitraan diri dengan mengklaim bahwa itu usahanya dan berusaha menyingkirkan pejabat berprestasi secara perlahan-lahan agar tidak menyaingi dirinya kelak.
Jika disogok, negarawan meminta penyogok itu untuk memperbanyak iman, takwa dan keteleadanan dengan meminta tidak mengulanginya kembali, sementara pemain ketika disogok, ia mengingatkan memperbanyak jumlah dan memintahnya untuk melakukanya kembali.
Kalau ada investasi, negarawan meminta investor untuk tidak merusak lingkungan. Sementara pemain memastikan berapa fee yang akan ia peroleh atas kompensasi ijin. (***/JerryPalohoon)