Dalam dialog terbuka tentang perkembangan situasi aktual politik, hukum dan keamanan, di chanel Youtube Universitas Gajah Mada, 5 Juni 2021, Menkopolhunkam Prof. Dr. Mahfud MD menyatakan bahwa korupsi semakin meluas, lebih meluas dari zaman orde baru.
Sekarang ini saja korupsi itu jauh lebih gila dari zaman orde baru. Para koruptor bersatu untuk menghantam KPK.
Koruptor-koruptor yang dendam dan koruptor yang belum ketahuan tetap takut akan ketahuan, sekarang ini bersatu untuk hantam KPK. Korupsi sudah meluas disemua lembaga dari pusat sampai daerah. Bahkan APBN belum jadi/disahkan, sudah dikorupsi.
Pernyataan dari Prof.Dr. Mahfud M.D. ini menarik untuk kita telusuri dalam upaya pemberantasan korupsi di Republik tercinta ini yang hari ini berusia 76 tahun.
Rezim Orde Baru dicap sebagai rezim korup bahkan lebih dari itu sebagai rezim Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang popular disingkat KKN.
Setelah rezim Orde Baru berhasil dihentikan oleh Gerakan Reformasi yang dipelopori oleh K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Amien Rais dan Sultan Hamengkubuwono, maka MPR hasil Pemilu 1997, menetapkan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.
Adapun alasan terbitnya Tap MPR ini dirumuskan dalam Konsideran menimbang dari Tap tersebut yang antara lain dikutib beberapa butir sbb.:
b. bahwa dalam penyelenggaraan Negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
c. bahwa tuntutan hati nurani rakyat mmenghendaki adanya penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasilguna;
d. bahwa dalam penyelengaraan Negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat Negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan Negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional;
e. bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui melalui usaha pemeriksanan harta kekayaan para pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penjabaran dari Tap MPR tersebut, muncul UU No 31 tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pasal 2 ayat 1 dari UU ini antara berbunyi:
(1). Setiap orang yang secara melawan hokum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah);
(2). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 ini kemudian dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 tahun 1999 dengan alasan sebagaimana bunyi dalam Konsideran butir a dan b yang bunyi lengkapnya sbb.:
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Perubahan tersebut antara lain pasal 2 ayat 2 dimana substansinya tetap, tapi penjelasannya berubah yang bunyi selengkapnya sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penaggulangan tindak pidana korupsi.
Masih terkait dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka khusus untuk penyelenggara, diatur dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.
Ada 3 alasan sehingga Undang-undang ini perlu dibuat sebagaimana tercantum dalam konsideran Menimbang yang bunyi lengkapnya sbb.:
a. bahwa Penyelenggara mempunyai peranan yang sangat menentukan untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang dasar 1945;
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sunguh-sunggh dan penuh tanggung-jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggara Negara;
c. bahwa praktek korupis, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggara Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi Negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya.
Dalam Undang-undang ini, juga dibentuk KOMISI PEMERIKSA yang pengaturannya antara lain berbunyi:
Pasal 10: Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa.
Pasal 11: Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 12: (1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara. Namun sebelum berfungsi, Komisi Pemeriksa ini dihapus dan diganti dengan KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembentarasan Korupsi.
Dari berbagai Peraturan Per Undang-undanganan diatas, maka ada harapan pemberantasan korupsi berjalan lancar dan mencapai tujuan, apalagi dengan terbentuknya Komisi Pemberantasa Korupsi.
Yang menarik dan memberi harapan bagi keberhasilan KPK ini ialah dalam pasal 2 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi KPK adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan.
Dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan kepemimpinan KPK sejak pimpinan Taufiequrahman Ruki cs tahun 2003 s/d pimpinan Agus Rahardja pada 2019, banyak kasus korupsi yang dijerat walaupun belum sepenuhnya memuaskan masyarakat.
Dalam berita CNN Indonesia, 9 Juni 2021, data korupsi KPK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap rinciannya sbb.:
- Anggota DPR/DPRD – 274, Kepala Lembaga/Menteri – 28, Gubernur – 21, Walikota/Bupati/Wakil – 122, Hakin – 22, Jaksa – 10, Polisi – 2, Pengacara – 12, Duta Besar – 4, Komisioner – 7, Eselon I/II/III – 230, Swasta – 308, Korporasi – 6, Lainnya 157.
Kasus korupsi ini meliputi berbagai hal yaitu pengadaan barang, perizinan, penyuapan, pungutan/pemerasan, penyalahgunaan anggaran, TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dan merintangi proses penyidikan.
Ditengah keberhasilan KPK mengungkap kasus-kasus korupsi tersebut, namun masih ada juga kekecewaan masyarakat, dimana ada kasus-kasus korupsi besar yang belum tuntas diselesaikan.
Catatan ICW (Indonesia Corruption Watch) dan TII (Transparency International Indonesia) 12 Mei 2019, ada 18 kasus dan catatan Liputan6.com ada 6 kasus besar antara lain kasus Bank Century, Kasus BLBI, kasus PT Garuda, kasus E-KTP, kasus TPPU Tubagus Chaeri Wardana, kasus Dirut Pelindo II, kasus Hambalang, kasus pembangunan wisma atlit, dll.
Bahkan tidak ada yang dijatuhi hukuman mati, sebagaimana yang sudah diatur dalam UU No 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 2 yang kemudian sudah dipertegas oleh UU No 20 tahun 2001.
Mengenai belum tuntasnya beberapa kasus korupi tersebut diatas, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengaku masih terdapat kasus-kasus besar KPK di era kepemimpinannya yang belum terselesaikan.
“Penanganan kasus besar seperti itu memerlukan penyelidikan dan penyidikan yang jauh lebih kompleks,” kata Agus usai menghadiri acara peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, di Gedung KPK, Senin, 9 Desember 2019.
Agus mengatakan, selain hambatan itu, penanganan kasus-kasus besar itu berhubungan dengan banyak lembaga, bahkan hingga lintas negara.
“Jadi masalahnya di situ, hanya masalah waktu, bahwa nanti mungkin sepeninggal saya akan diteruskan,” ujar dia.
Agus mengatakan, terkait kasus BLBI, pihaknya telah memulainya. “Mudah-mudahan nanti akan diteruskan, memang itu memerlukan waktu yang panjang,” ungkap Agus.
Wakil Presiden Maruf Amin berjanji pemberantasan korupsi ke depannya akan lebih baik lagi. Pasalnya, Pemerintah telah membuat Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2018 tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi (stranas PK).
Stranas PK 2019-2020 memiliki 3 fokus diantaranya terkait perizinan dan tata niaga, keuangan negara, reformasi birokrasi, dan penegakan hukum.
Pemerintah berharap, KPK terus menjalin kerjasama dengan otoritas pemberantasan korupsi dari negara lain. Sebab, korupsi merupakan kejahatan serius yang bisa saja melewati lintas negara.
Kerjasama ini tidak hanya dalam penanganan kasus, tetapi juga menjadi media tukar pengalaman dan pendidikan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Ditengah keprihatinan dan harapan dalam pemberantasan korupsi sesuai dengan ungkapan pihak-pihak tersebut diatas, maka terjadi kehebohan lagi dengan dirubahnya UU No 30 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No 1 tahun 2015, menjadi UU No 19 tahun 2019.
Adapun alasan perubahan tersebut, dijelaskan secara rinci dalam konsideran Menimbang yag bunyi lengkapnya sbb.:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme;
b. bahwa Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
c. bahwa pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu terus ditingkatkan melalui strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang komprehensif dan sinergis tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. bahwa beberapa ketentuan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diubah.
Dari berbagai reaksi masyarakat atas UU No 19 tahun 2019, Penulis kutip catatan dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia sbb.:
- Perubahan Kedua UU KPK Tidak Melalui Proses Perencanan dalam Prolegnas Prioritas 2019
- Menggunakan Naskah Akademik Fiktif;
- Melanggar Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik;
- Pembahasan Perubahan Kedua UU KPK Berjalan Cepat dan Penuh Kejanggalan;
- Pembahasan Perubahan Kedua UU KPK Tidak Partisipatif
- Sidang Paripurna DPR Tidak Kuorum Saat Pengambilan Keputusan;
- Paripurna Mengabaikan Pernyataan Persetujuan dan Penolakan dari FraksiFraksi.
- Cacat Materiil Perubahan Kedua Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi;
- Runtuhnya Independensi Lembaga;
- Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas KPK;
- Hilangnya Status Penyidik dan Penuntut pada Pimpinan KPK;
- Tertutup Kemungkinan KPK Membuka Kantor Perwakilan;
- Persoalan Alih Status Kepegawaian KPK.
Munculnya UU No 19 tahun 2019 tersebut, didalam masyarakat telah terbagi dalam kelompok pro dan kontra.
Melihat kenyataan pemberantasan korupsi sampai saat ini dengan segala kelemahannya, ada desakan dari berbagai pihak agar rancangan UU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang sudah dikonsepkan sejak tahun 2012 segera dibahas, karena sejak pemerintahan Presiden SBY sampai sekarang masih terkatung-katung.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Willy Aditya menilai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana layak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas.
Sebab, RUU ini telah memenuhi persyaratan teknis untuk diusulkan sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas. DPR akan senang bila menerima Surat Presiden atas pengusulan RUU tersebut secara formil.
Meski Prolegnas Prioritas 2021 telah diputuskan di tingkat Baleg bersama pemerintah dengan 33 RUU, namun masih ada peluang bila adanya keinginan pemerintah dan DPR memasukan RUU tersebut dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021.
Anggota Komisi XI DPR ini menilai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa menjadi terobosan dalam upaya menekan angka kejahatan keuangan untuk tujuan memperkaya diri, kerabat, dan institusi.
Menurutnya, negara membutuhkan aturan perampasan aset hasil tindak pidana/kejahatan tertentu demi rasa keadilan publik. Dia yakin berlakunya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana secara formil dapat menjawab permasalahan publik terkait kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Baginya, perampasan harta hasil tindak pidana jauh lebih penting dan berkeadilan ketimbang mengkonstruksi hukuman mati.
Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu yakin seluruh fraksi partai di DPR bakal mendukung RUU tersebut untuk dibahas agar mekanisme perampasan aset dapat dilakukan terhadap harta hasil kejahatan tanpa kendala aturan hukum acara yang belum memadai.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto berharap Presiden Jokowi dan seluruh pemangku kepentingan bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) mendukung RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Kepala Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengaku telah melakukan pertemuan dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly pertengahan Februari lalu.
Pertemuan ini dalam rangka menyamakan persepsi tentang pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini yang telah berproses di sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahkan, pembahasan di internal pemerintah telah rampung diharmonisasi pada November 2010 silam.
Selanjutnya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011.
RUU Perampasan aset kami nilai sangat urgent untuk perbaikan kinerja pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia, ujar Dian Ediana dalam keterangannya, Rabu 25/2/2021.
Bagi Dian Ediana, terdapat enam alasan penting dan mendesaknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk dapat segera dibahas dan diundangkan, yaitu:
- Tingkat pemberantasan tindak pidana ekonomi, seperti korupsi, narkoba, perpajakan, tindak pidana di bidang keuangan, dan lainnya relatif rendah ditinjau dari tingkat keberhasilannya. Penyebabnya, antara lain faktor efek jera dan pencegahan yang sangat rendak dan tidak memadai. Seharusnya, dalam hal tindak pidana ekonomi, perampasan aset hasil tindak pidana menjadi salah satu faktor efek jera bagi pelaku. Bila dibiarkan, aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman (penjara);
- Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan canggih atau sophisticated. Kejahatan dengan berbagai bentuk rekayasa keuangan atau financial engineering dan rekayasa hukum legal engineering. Langkah itu ditempuh para pelaku kejahatan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan konvensional;
- Pengembalian aset (recovery asset) kerugian negara ataupun kerugian sosial-ekonomi dari sejumlah kejahatan ekonomi terbilang masih amat rendah. Atau belum cukup membantu pengembalian keuangan negara secara optimal dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
- Dalam hal penindakan kejahatan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyertai tindak pidana ekonomi dapat dilakukan secara progresif berdasarkan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Tapi praktiknya, terkendala disebabkan kurang progresifnya peraturan perundangan-undangan terkait penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana;
- Ruang lingkup RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menangani persoalan aset tindak pidana lantaran tersangka/terdakwa meninggal dunia; melarikan diri; sakit permanen; atau tidak diketahui keberadaannya. Bahkan mungkin terdakwa diputus lepas dari segala tuntuan hukuman;
- Salah satu ketentuan penting dari RUU Perampasan Aset Tindak Pidana adalah perampasan aset tidak bergantung pada penjatuhan pidana (penjara) terhadap pelaku.
Dengan adanya desakan serta alasan-alasan tsb diatas, kita menunggu sikap dan tindak lanjut dari DPR-RI sendiri, apakah segera membahasnya atau mengesampingkannya, karena tersandera atau disandra dengan berbagai kepentingan walaupun merugikan rakyat.
Dari uraian diatas, maka ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan yaitu:
- Lembaga Demokrasi/DPR hasil gerakan reformasi yang diharapkan membawa angin segar bagi Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme melalui berbagai peraturan per-undang2an yang dihasilkannya, gagal untuk mengawasi pelaksanaannya, karena didalam tubuhnya sendiri terlibat para anggota dari hampir semua fraksi(atau mungkin semua Fraksi) dalam kasus korupsi termasuk Ketua DPR sendiri yang masuk penjara;
- Merekrut aparatur penyelenggara Negara yang bersih dari KKN tidak jalan sebagaimana mestinya karena kepentingan dan intervensi politik;
- Para pemimpin gerakan reformasi dan pimpinan partai politik yang berdiri sesudah reformasi, gagal memenuhi amanat pemberantasan korupsi, karena hampir semua partai ada anggota Pimpinannya di-pusat maupun di-daerah, termasuk Ketua Umumnya terjaring kasus korupsi dan masuk penjara;
- Lembaga penegak hukum belum berfungsi maksimal dan mampu mengontrol dan menjaga dirinya, sehingga ada pimpinan dan anggotanya terlibat kasus korupsi dan menjadi penghuni penjara, mulai dari Ketua Makhkamah Konstitusi, Menteri Hukum dan Ham, pimpinan Mahkamah Agung, Jaksa, hakim dan polisi. Disamping itu adanya intervensi politik dari dari berbagai pihak;
- Penanganan kasus korupsi terkesan masih ada pilih kasih, dimana mereka yang dekat dengan kekuasaan, ada yang lolos dari jeratan hukum;
- Ancaman hukuman bagi koruptor selama ini, tidak ada yang divonis hukuman mati, sedangkan dimungkinkan oleh UU, contoh terakhir,kasus korupsi dana Bansos yang melibatkan berbagai pihak, ada yang sudah divonis, tapi tidak ada putusan hukuman mati, sedangkan kasus ini sudah memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No 31 tahun 1999 junto UU No 20 tahun 2001 pasal 2 ayat 2 dan penjelasannya, memenuhi syarat dihukum mati karena korupsi itu dilakukan saat Indonesia dalam keadaan darurat (covid 19 dan keadaan kesulitan ekonomi).
Bertolak dari keprihatinan kita bersama terhadap upaya pemberantasan korupsi, dalam suasana Peringatan ke-76 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka dengan jiwa dan semangat Merdeka, semua kmponen bangsa harus mawas diri, tidak terlibat secara berkesinambungan saling menyalahkan satu sama lain, tetapi secara bersama-sama dan sungguh-sungguh mencari jalan keluar yang terbaik.
Kita sebagai bangsa yang besar, bertekad bersama untuk membangun bangsa ini kedepan menjadi bangsa yang Merdeka, Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, serta berbagai kejahatan lainnya.
Upaya ini harus dimulai dengan teladan dari para pemimpin dalam segala struktur dan strata masyarakat dari pusat sampai daerah.
Usaha ini pasti berat bahkan mungkin disikapi sinis. Tetapi sebagai warga bangsa yang ber-Tuhan, dihadapan Tuhan kita masing-masing, hal yang tidak mungkin, jadi munkin bahkan pasti terjadi.
Asal kita ada tekad, keberanian dengan sikap yang jujur dan tulus demi memenuhi Amanat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: ADIL BERKEMAKMURAN, MAKMUR BERKEADILAN.
Disisi lain sudah saatnya menerapkan Hukuman Mati bagi para Koruptor serta penjahat lainnya dalam kasus-kasus yang sangat merugikan Negara dan rakyat Indonesia yang berdaulat atas bangsa ini.
Bangsa besar ini, saat kini memerlukan pemimpin-pemimpin panutan seperti Jenderal Sudirman, Jenderal Nasution, Jenderal M. Jusuf, Jenderal (Pol). Drs. Hoegeng Imam Santoso, J. Leimena, Ir. Sutami, Baharuddin Lopa SH, yang Kepemimpinannya tampil sederhana, tegas, berani dan tidak kompromi dengan berbagai kejahatan yang melanggar hukum Negara.
Presiden Jokowi ada banyak kesamaan dengan para pemimpin panutan tersebut diatas, hanya untuk pemberantasan korupsi, perlu keberanian yang luar biasa, disamping dukungan yang kuat dari rakyat dan penegak hukum, termasuk TNI dan POLRI.
Kalau perlu dengan jalan pintas, walau tidak popular tapi demi keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di-Indonesia memenuhi harapan rakyat.
MERDEKA! DIRGAHAYU INDONESIA.
Jakarta, 17 Agustus 2021.
Penulis: MARKUS WAURAN.