Manado, BeritaManado.com — Fenomena bacaleg ‘impor’ yang menghiasi daftar caleg sementara (DCS) DPR RI Dapil Sulut, terus mendatangkan kritik dari berbagai kalangan.
Hal ini dinilai sebuah kemunduran dalam demokrasi.
Pengamat Sosial dan Politik, Mahyudin Damis, sangat heran dengan dominasi bacaleg ‘impor’ itu.
Mahyudin mengaku bingung, bagaimana pertimbangan parpol sehingga dengan gampangnya memakai orang luar yang notabene tidak dikenali warga Sulut.
“Ini pesta demokrasi, perintah konstitusi bukan sekadar ikut-ikutan. Bagaimana rakyat mau pilih kalau calegnya impor,” kata Mahyudin, Rabu (23/8/2023).
Lebih parah lagi, kata dia, bacaleg ‘impor’ itu tidak punya kontribusi sama sekali bagi pembangunan Sulut, namun tiba-tiba hadir.
Mahyudin tidak yakin kedepan bacaleg ‘impor’ bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat Sulut, sebab persoalan di dapilnya sendiri tidak dipahami.
“Bagaimana mau suarakan keluh kesah warga kalau tidak pernah datang di Sulut. Ini bahaya,” tegas Dosen Antropologi Fisipol di Universitas Sam Ratulangi Manado ini.
Mahyudin prihatin dengan fenomena tersebut.
Ia melihat permasalahannya karena parpol semakin banyak.
Padahal, lanjut Mahyudin, dalam sistem presidensial tidak cocok dibarengi dengan membludaknya peserta pemilu.
“Dampak negatifnya ya begini. Parpol kesusahan cari figur caleg, apalagi harus memenuhi kuota perempuan,” kritiknya.
Mahyudin juga menyinggung bacaleg orang Sulut, namun berdomisili di tempat lain.
Dikatakan, sah-sah saja jika ingin membangun daerah lewat jalur legislatif.
Apalagi untuk mereka yang punya kontribusi nyata dalam pembangunan Sulut meskipun lama tinggal di luar.
“Tapi jangan nanti ingat Sulut, pas ada kepentingan di Pileg saja. Pencitraan sana-sini, tapi dahulu kala entah ada di mana,” bebernya.
Hal senada juga diungkapnya Dosen Kepemiluan Unsrat Manado, Ferry Liando.
Menurut Ferry, jika ada warga Sulut tapi sudah lama menetap di luar daerah dan menjadi calon, masih dimungkinkan walaupun sebenarnya bermasalah, apalagi minim reputasi.
“Tapi yang disayangkan dengan ada calon yang bukan lahir dan besar di daerah ini dan sama sekali tidak memiliki hubungan baik genetik, sosiologis maupun historis,” ujar Ferry.
Padahal, di satu sisi, kata Ferry, dibentuknya daerah pemilihan atau dapil agar pemilih dengan calon memiliki hubungan secara emosional.
Menurutnya, kebutuhan membangun hubungan emosional antara pemilih dengan calon, dimaksudkan agar calon lebih mengenal dan memahami kebutuhan dari pemilih jika ia akan terpilih.
Kata Ferry, sejumlah parpol yang mengimpor caleg dari luar daerah ditemukan antara lain di parpol Ummat dan Partai Garda Republik Indonesia, begitu juga PSI.
Dari jumlah 6 caleg Partai Ummat, terdapat 5 caleg berasal dari Sleman dan satu dari Kota Yogyakarta.
Untuk Partai Garda Republik Indonesia merupakan kiriman caleg dari Jakarta Timur, Kutai Timur, Kubu Raya, Kota Tanggerang Selatan, Bekasi dan Jakarta Barat.
Begitu halnya PSI yang hanya menyertakan satu putra daerah.
“Meski menjadi caleg merupakan hak politik setiap warga negara, namun tidaklah masuk akal jika caleg yang terpilih tidak merepresentasikan daerah yang mengutusnya,” tegasnya.
Liando menambahkan, memilih adalah hak politik setiap warga negara.
Ia pun menyarankan kepada pemilih untuk berhati-hati dalam menentukan pilihan.
“Sebab bisa jadi akan ada caleg yang akan terpilih tapi tidak akan benar-benar mewakili aspirasi masyarakat Sulut,” tandasnya.
(Alfrits Semen)